![]() |
Sumber pixabay |
Paman Pontang mengayuh sepeda dengan cepat. Pohon-pohon di pinggir jalan seolah ikut berlari. Salip-menyalip, balapan dengan sepeda Paman Pontang. Sesekali, beliau mengangguk bila berpapasan dengan orang lain.
“Klintiiing! Klintiiing! Kriiing!”
Kadang, Paman Pontang juga membunyikan klintingan sepedanya.
Apalagi bila ada anak kecil yang berjalan terlalu ke tengah jalan. Atau nenek
yang menyeberang, dan tidak melihat ada Paman Pontang.
Cieeet!
Paman Pontang mengerem sepedanya. Kayuhannya berhenti. Tiga
ekor ayam berpencar dan lari tunggang-langgang. Beberapa semut terbirit-birit.
Rupanya ada anak kecil yang mengejar bola ke tengah jalan. Hampir saja Paman
Pontang menabraknya.
“Hati-hati, Nak,” tegur Paman Pontang.
Anak itu hanya tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang gupis.
Udara desa terasa hangat. Sekarang baru pukul delapan pagi. Di
boncengan sepeda Paman Pontang ada keranjang bambu. di dalamnya ada seekor
bebek jantan. Moncongnya berwarna hitam.
Bebek itu seolah
berusaha menebak-nebak, di mana dia saat ini? Dari tadi, dia melihat kanan-kiri
melalui celah keranjang. Moncongnya bisa keluar melalui celah itu, tapi
kepalanya tidak.
Paman Pontang sampai ke halaman rumah. Dia menuntun sepeda
melalui samping kiri rumah. Di sana, ada aneka tanaman palawija. Sedang di
bagian kanan rumah Paman Pontang banyak tanaman obat. Halaman rumah Paman
Pontang semarak dengan bunga aneka warna. Ada bunga kertas, sedap malam,
bougenvil, mawar, melati, mandevila, dan lainnya. Saat baru sampai, Paman
Pontang menghela napas panjang-panjang. Semerbak melati membuat wajahnya
terlihat tenang dan senang.
Paman Pontang berhenti saat sampai di halaman belakang. Di dekat
pintu keluar dapur, ada kandang bambu yang besar. Itu adalah kandang Mama Beki,
Weki, Meko, dan Noki.
“Ayo! Keluar! Sekarang, aku menamaimu dengan Poki,” kata Paman
Pontang.
Bebek itu menggoyang-goyangkan kepala. Dia seolah sedang
mengucapkan terima kasih untuk nama pemberian Paman Pontang. Poki. Nama yang
indah. Poki melihat tiga anak ayam yang berjejer di samping pintu kandang. Dia
melihat ke berbagai arah, mungkin mencari ayah atau ibu mereka.
Tiga anak ayam juga melihat ke arah Poki. Mereka lalu saling
tatap, dan kembali melihat bebek di depannya. Weki bergeser ke kanan. Meko dan
Noki ikut bergeser. Mereka terus bergeser hingga menjauh dari Poki.
“Hei! Kalian tak perlu takut. Ini Poki,” kata Paman Pontang.
“Ssst! Meko, apa dia teman kita?” bisik Noki.
“Aku belum tahu,” jawab Meko juga sambil berbisik.
Meko dan Noki menatap Weki.
“Aku pun belum tahu!” ucap Weki tanpa menunggu Meko dan Noki
bertanya.
Mereka masih bertanya-tanya. Mama Beki datang dari belakang.
Mereka belum menyadarinya.
“Kenapa kalian diam semua?” tanya Mama Beki.
Ketiga anak ayam itu terkejut. Mereka kompak mengarahkan sayap
ke arah Poki. Mama Beki menatap Poki. Mereka berdua jalan mendekat. Mereka
seperti sahabat lama yang baru bertemu setelah berpisah lama.
“Hei! Apa Mama Beki adalah temannya?” tanya Noki.
Weki dan Meko kompak menggeleng.
Mereka bertiga berjalan mendekati dua bebek itu.
“Beki, ini adalah Poki. Dia akan tinggal bersama kalian!”
“Weki, Meko, Noki. Ini adalah papa baru kalian,” kata Paman
Pontang.
Tiga anak ayam makin bingung.
“Papa baru?” tanya mereka bersamaan.
Tapi, Paman Pontang tidak dapat mendengar pertanyaan mereka.
Bahkan, saat mereka berteriak, Paman Pontang hanya menoleh saja. Para binatang
hanya bicara dengan sesama binatang. Paman Pontang tidak bisa bicara dengan
mereka. Tapi, Paman Pontang adalah orang yang baik. Dia tahu kapan ternaknya
sedang lapar dan mengantuk.
“Apa kita punya papa lama?” tanya Noki.
Meko kembali menggeleng.
Weki hampir lupa. Di antara mereka bertiga, hanya Weki yang
tahu. Siapa ayah dan ibu kandung mereka. Tiba-tiba, Weki jadi bersedih. Dia
ingat ibunya. Ibunya dulu diambil adik Bibi Talika. Katanya, ibu ayam akan
kembali, tapi sampai saat ini dia belum juga kelihatan.
“Kalau sudah menetas, nanti akan aku kembalikan.”
Begitu kata adik Bibi Talika.
Mungkin, adik Bibi Talika sedang ingin memiliki anak-anak ayam.
Dan ibu ayam yang harus bertelur. Weki juga ingat ayahnya. Dulu, ayahnya
tinggal di rumah ujung jalan. Sekarang, pemilik rumah itu sudah tidak memelihara
ayam. Mereka memelihara ikan lele di kolam. Entah di mana saat ini ayah ayam
berada.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Noki.
Weki buru-buru mengusap ujung matanya.
“Iya, kita punya Papa baru, kenapa sedih?” imbuh Meko.
Weki menggeleng. Dia berjalan gontai menuju kandang. Dia
berhenti di samping pintu, dan duduk menekuk kaki. Meko dan Noki mengikuti
Weki.
“Weki, Meko, Noki. Sekarang kalian punya papa baru. Papa Poki,”
kata Mama Beki.
“Salam, Papa Poki,” ucap tiga anak ayam kompak.
“Salam, Anak-anak manis,” sambut Papa Poki.
“Anak-anak, hari ini kalian boleh main ke ladang bertiga. Mama
Beki ijin mau berenang dulu dengan Papa Poki,” ucap Mama Beki.
Semua diam.
Mereka tahu, mereka tidak bisa berenang. Mungkin, ini wujud
penyambutan untuk Papa Poki. Jadi, mereka akan berenang bersama. Tapi,
ternyata, sejak itu, mereka sangat sering berenang. Anak-anak ayam merasa
diabaikan.
“Kak Weki, Mama Beki apa tidak sayang lagi pada kita?” tanya
Noki.
“Iya, kita sudah lama tidak mendengar Mama Beki mendongeng,”
sahut Meko.
“Mama Beki masih sayang pada kita. Mama Beki hanya sedang
menyambut kehadiran Papa baru,” jawab Weki pelan.
Weki mengucapkan itu sambil melihat
empang. Airnya bergelombang karena ada Mama Beki dan Papa Poki yang sedang
berenang.
Terima kasih sudah singgah dan membaca. Saya tunggu masukannya, ya. Bisa baca cerita sebelumnya di link bawah ini...
Terima kasih sudah singgah dan membaca. Saya tunggu masukannya, ya. Bisa baca cerita sebelumnya di link bawah ini...
Klik Bab 1 untuk membaca kisah sebelumnya
Klik Bab 2 juga, ya.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara