Hari Hampir Petang dan Mereka Belum Pulang


            “Mama, bolehkah sore ini kami jalan-jalan?”
            Weki meminta izin dengan Mama Beki.
            Mama Beki mengepakkan sayap kanannya. Dia melihat Meko dan Noki di sebelah kiri Weki. Sepertinya, mereka sudah merencanakan ini semua. Mama Beki melihat ke barat. Matahari masih bersinar hangat. Sekarang baru pukul empat sore. Mama Beki mendekati Weki.

            “Baiklah. Tapi, jangan jauh-jauh. Ingat, musang bisa datang kapan saja!” nasihat Mama Beki.
            Weki melompat sambil mengepak-ngepakan sayap.
            “Horeee!” seru Meko.
            “Asyiiik!” sahut Noki.
            Weki berputar-putar, lalu mengepakan kedua sayapnya. Itu menunjukkan dia sangat senang.
            “Kami berangkat, Mama,” pamit Weki.
            Anak-anak Mama Beki menyalami Mama Beki satu per satu. Noki, yang paling kecil, mencium Mama Beki.
            “Makasih, Mama. Mama baik deh,” kata Noki.
            Mama Beki memeluk Noki. Noki tersenyum bahagia.
            Tiga anak ayam berjalan berjejer. Kadang mereka beriringan. Mereka melangkah dengan riang. Matahari sore membuat daun-daun juga merasa hangat. Air empang berkilau-kilau. Air irigasi yang mereka lewati juga memantulkan sinar matahari.
            “Kita kejar-kejaran di sini, yuk!” ajak Weki, kemudian berhenti.
            Hamparan sawah mulai menguning. Banyak belalang beterbangan. Ada pohon turi di tengah sawah. Weki menandainya. Nanti, jika mereka pulang, mereka akan melewati jalan itu.
            Tiga anak ayam berhenti. Mereka lalu melakukan hompimpa. Yang kalah menjadi pengejar. Kalau tertangkap, yang tertangkap ganti menjadi pengejar. Kali ini, yang kalah adalah Noki. Anak ayam yang paling kecil.
            Selain berlari, ayam-ayam yang dikejar juga bisa bersembunyi. Ini artinya Weki dan Meko bisa melakukan itu. Sementara Noki akan mencari, lalu mengejar, dan berusaha menyentuhnya.
            “Satu, dua, tiiigaaa!” seru Noki.
            Weki dan Meko lari. Noki mengejar mereka. tubuh mereka melesat di atas pematang. Karena tubuhnya paling kecil, Noki pun langkahnya pendek-pendek. Tapi, dia tetap semangat. Terus berlari dan mengejar.
            Tiba-tiba ada seekor keong memanggil.
            “Hei! Tolong aku. Badanku terbalik, tadi tertendang saudaramu! Katanya.
            Noki mencari-cari sumber suara. Dia menoleh ke kanan, dan ke kiri.
            “Aku di bawahmu. Di sini!” Teriak keong.
            Noki memperhatikan binatang bercangkang itu. Bentuknya sama persis dengan bekicot. Hanya saja, cangkang si keong berwarna kuning keemasan. Keong berusaha membalikkan badan. Tapi, belum berhasil.
            Noki mendekat. Dia berjongkok. Sayapnya mencoba mendorong tubuh keong. Tapi, terlalu berat. Keong masih belum bergerak. Dorongan sayap Noki malah membuatnya geli. Keong tertawa-tawa.
            “Coba kau pakai kakimu!” usul keong.
            Noki menurutinya. Dia mendorong-dorong sampai bersuara, ‘Egh! Egh! Eeegh!’ Rupanya Noki merasa berat. Dia mengerahkan banyak tenaga.
            Akhirnya keong bisa membalikkan badan. Noki tersengal-sengal. Dia berdiri, merentangkan sayap, dan mengatur napas. Menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya.
“Terima kasih, ya? Siapa namamu?” ucap keong.
“Noki. Kalau kamu?”
“Aku Kemas. Si keong mas.”
Mereka pun berteman.
Noki teringat dua kakaknya. Mereka kan sedang main kejar-kejaran.
“Eh, Kemas. Aku pergi dulu, ya. Aku akan mencari kakak-kakakku,” pinta Noki.
Kemas mengangguk.
Noki kembali berlari. Dia sampai ke tepi rawa. Di rawa itulah biasanya Paman Pontang memancing. Tapi, kan ini jauh sekali. Noki menciap. Dia memanggil-manggil nama Weki dan Meko. Tapi, tidak ada jawaban.
Noki mendongak. Matahari sudah hampir tenggelam. Cuaca memang cerah, tapi malam hampir menjelang. Bagaimana jika dia sendirian, dan musang datang? Noki bingung. Dia melompat-lompat.
Mana pohon turinya, ya? tanya Noki pada dirinya sendiri
Setinggi apa pun Noki melompat, pohon turi belum terlihat. Pohon-pohon padi menghalangi penglihatannya.
Sementara di tempat lain, Weki dan Meko berdiri bingung. Mereka ada di bawah pohon turi.
“Nokiii! Nokiii!” teriak mereka berulang-ulang.
Wajah mereka sedih. Bagaimana jika adik mereka hilang?
“Kakak sih, tadi larinya terlalu jauh.”
Meko menyalahkan kakaknya.
“Maaf deh. Aku pikir, Noki akan menemukan kita,” jawab Weki.
Saat sedang bingung itu, mereka mendengar langkah kaki. Suaranya menyibak-nyibak daun padi. Sreek-sreek-sreeek. Weki menajamkan pendengaran. Kalau dalam keadaan begini, mereka hanya memikirkan musang. Jangan-jangan ada musang?
Meko merapatkan tubuh pada kakaknya.
“Wekiii! Mekooo! Nokiii!”
Mereka mengenal suara itu. Ternyata, Paman Pontang dan Bibi Talika. Mereka lega.
“Pak, ini hanya Weki dan Meko. Noki ke mana?”
Bibi Talika mengangkat dua anak ayam. Beliau memasukkannya ke keranjang bambu.
“Kita cari, Bu!” sahut Paman Pontang.
Paman Pontang menyusuri pematang. Matahari sudah terbenam separuh. Belalang dan capung beterbangan. Sayup, terdengar suara ciap. Makin lama makin nyaring. Ternyata Noki sedang menangis sendirian.
“Kamu di sini rupanya?”
Bibi Talika mengngkat Noki, dan memasukkan ke keranjang.
“Hei! Noki! Syukurlah kamu tidak apa-apa,” kata Weki.
Noki tersedu. Dua kakaknya membelai-belainya.
Mereka pun duduk, bergoyang-goyang di dalam keranjang. Untung Paman Pontang dan Bibi Talika datang. Langit mulai berwarna jingga. Mereka sampai ke belakang rumah Paman Pontang. Mama Beki sedang duduk diam di depan kandang. Wajahnya tampak sedih.
“Mamaaa!” teriak Noki.
Mendengar suara Noki, Mama Beki menjadi riang.

Mereka saling berpelukan. Mereka masuk kandang. Selamat petaaang! []

Comments