Judul Buku : BUKU INI TIDAK DIJUAL
Penulis : Henny Alifah
Editor : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Desain Sampul : Naafi Nur Rohma
Terbit : Maret 2015
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-1614-48-8
Harga : Rp. 46.000
Harga : Rp. 46.000
"Gadis itu benar, Bos! Isinya cuma buku!"
"Karung yang ini juga cuma buku!"
Pria utama kecewa dengan kata-kata anak buahnya. Dia berharap lebih dari karung-karung tersebut. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat mangsa empuk untuk menyambung hidupnya. Apakah ini saatnya dia berganti profesi?
Pria utama kecewa dengan kata-kata anak buahnya. Dia berharap lebih dari karung-karung tersebut. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat mangsa empuk untuk menyambung hidupnya. Apakah ini saatnya dia berganti profesi?
"Ya, sudah. Tak apa. Kita jual buku-buku itu!"
"Buku ini tidak dijual!" (Blurb).
Petir kejut menyambar jantung Padi. Dalam sekejap, persendian seolah lolos melarikan diri dari raga. Ya! Saat Mbah Sam--ayahnya, mengatakan bahwa mobil pick up yang baru melintas membawa buku-bukunya. Ada lima karung buku yang berpindah dari rak-rak kosong di hadapannya ke tempat entah. (Bab 1).
Bagi Padi, membaca adalah tugas mulia. Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Hal itu diperintahkan langsung oleh Allah S.W.T melalui Malaikat Jibril kepada Muhammad S.A.W. Rasa kecewa mendera saat teman yang mulia dijual begitu saja tanpa ijinnya. (hal. 7).
Alasan Padi ini menjadi daya tarik pesan tersendiri yang langsung mewarnai bagian awal sebuah cerita. Saya yakin akan banyak pesan lain yang berkilau, hingga enggan beranjak meninggalkan satu aksara pun yang terlewat saat membaca. Novel ini tidak bertele-tele pada bab pertama, seperti seorang penembak, penulis langsung menuju sasaran yang tepat. Mengena.
Dalam ketegangan antara Padi dan Mbah Sam, ada Gading--anaknya sekaligus cucu bagi Mbah Sam. Gading merasa dilematis ketika tahu kekecewaan ayah, dan rasa tak berdosa kakeknya. Dia tidak bisa membela dengan kata-kata kepada ayah, atau membenarkan secara verbal atas tindakan kakek yang merasa membuat ruangan lebih longgar. Tidak sumpek karena buku-buku yang berjejal.
Bersama Kingkin--sepupunya, Gading berencana mencari pembeli lima karung buku milik ayahnya. Dengan semangat penuh, mereka meminjam motor ibunya Kingkin. Pencarian pun dimulai. Ada satu nama yang mereka tuju; Pak Mersudi. Beliau yang membeli buku-buku ayah. (hal. 31-41).
Hidup memang selalu diwarnai dengan masalah, demikian juga jalinan kisah dalam novel ini. Untuk bertemu Pak Mersudi bukan hal sulit, namun mendapatkan lima karung yang dicari tak semudah mengerling pada kekasih hati. Ada sekolah yang membutuhkan buku-buku untuk koleksi perpustakaan. Anak Pak Mersudi yang bernama Doni sudah membawa buku-buku yang dicari dua muda-mudi itu ke sana. (hal. 43-54).
Ketegangan pembaca dinaikkan perlahan melalui jalan cerita. Seperti menikmati angin sepoi, penulis membuat pembaca seolah ikut menikmati apa yang dirisaukan hati Gading dan Kingkin.Bahasa yang dipakai pun sangat mudah dicerna, dalam keadaan lelah sekali pun.
Menapakkan netra pada bab kelima, pembaca sudah bisa merasakan adrenalin petualangan yang terjadi. Gading dan Kingkin segera mengarahkan pencarian ke tempat yang dimaksud. Sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang jauh dari rumah Pak Mersudi. Di sana ada Pak Saidi sebagai tokoh yang menyemarakkan alur perjalanan kisah nan manis.
"Buku ini sudah dibeli dengan menggunakan anggaran sekolah. Kalau Nak Gading mau memintanya kembali, berarti harus membelinya."
Itu lah yang diucapkan Pak Saidi. Gading sepakat, namun. Pak Saidi pun masih agak berat melepas. Ditambah hanya ada dua karung. Anak Pak Mersudi telah membawanya ke tempat lain. Tarikan napas lega pun tertunda. (hal 55-67).
Novel yang ditulis anggota FLP ini memiliki latar belakang hidup orang-orang sederhana. Mereka tinggal di desa. Saat membaca kita bisa menikmati hamparan sawah dengan angin sepoi, gradasi jalan-jalan desa, pun keramahan orang-orang yang tanpa pamrih. Jangan berharap menemukan adegan cinta atau jatuh cinta, bahkan bagi saya, ini adalah novel pertama yang pure mengangkat isu literasi sebagai ide menarik.
Gading dan Kingkin terpaksa berpisah. Kingkin mendapat tugas untuk bernegosiasi dengan Pak Saidi, dan Gading akan mencari alamat yang ditunjukkan demi mengejar karung-karung lain. Ada kalimat yang mencubit saya pada episode ini, "Pendidikan tanpa membaca ibarat ruh tanpa raga." (hal. 73).
Kingkin berhasil dalam negosiasi, Gading pun mendapatkan sisa buku lain. Masalah baru muncul. Hari yang sudah malam mewajibkan keduanya bila akan bertemu harus melewati jalan yang terkenal dengan aksi perampokan. Kingkin bersama beberapa gadis, Gading bersama Doni. Ketegangan disetel dari Kingkin dan teman-teman yang dihadang para rampok di tengah jalan. Saat mereka beraksi, Gading dan Doni baru datang. (Bab. 9-13).
Walaupun keberadaan para perampok dan aksinya terkesan datang tiba-tiba, cerita ini tetap dapat dinikmati. Peristiwa pencegatan dan heroiknya Gading serta Doni agak terkesan mirip sinetron. Yang membuat berbeda adalah pertanyaan lain dalam pikikran Doni, "Ada apa sih sampai pada rela memburu buku-buku yang sudah diloakkan? Pasti ada satu rahasia!" Hal tersebut sudah dituturkan penulis sebelum adegan bertemu rampok. Dan satu jawaban yang ada memang sudah ada lanjaran sejak awal cerita. Hampir tidak bisa ditebak. Lanjaran manis yang strategis.
Memangnya apa sih?
Lima belas bab dalam novel ini akan menjawabnya. Tanpa menggurui, tanpa menuding-nuding siapa pun, dan tetap dengan kalimat yang santun.
Selamat membaca. Anda akan menemukan bahasa kalbu apa yang begitu dalam di tiap lembar terakhir buku-buku Padi. Hal mendasar yang disiratkan dalam pencarian lima karung buku. Novel ini recomended untuk pembaca yang menyukai cara bertutur sederhana. Bisa dibaca sekali duduk, dan selamat menyelam ke dalam anggun pesan-pesan tiap kalimat yang ada.
Alasan Padi ini menjadi daya tarik pesan tersendiri yang langsung mewarnai bagian awal sebuah cerita. Saya yakin akan banyak pesan lain yang berkilau, hingga enggan beranjak meninggalkan satu aksara pun yang terlewat saat membaca. Novel ini tidak bertele-tele pada bab pertama, seperti seorang penembak, penulis langsung menuju sasaran yang tepat. Mengena.
Dalam ketegangan antara Padi dan Mbah Sam, ada Gading--anaknya sekaligus cucu bagi Mbah Sam. Gading merasa dilematis ketika tahu kekecewaan ayah, dan rasa tak berdosa kakeknya. Dia tidak bisa membela dengan kata-kata kepada ayah, atau membenarkan secara verbal atas tindakan kakek yang merasa membuat ruangan lebih longgar. Tidak sumpek karena buku-buku yang berjejal.
Bersama Kingkin--sepupunya, Gading berencana mencari pembeli lima karung buku milik ayahnya. Dengan semangat penuh, mereka meminjam motor ibunya Kingkin. Pencarian pun dimulai. Ada satu nama yang mereka tuju; Pak Mersudi. Beliau yang membeli buku-buku ayah. (hal. 31-41).
Hidup memang selalu diwarnai dengan masalah, demikian juga jalinan kisah dalam novel ini. Untuk bertemu Pak Mersudi bukan hal sulit, namun mendapatkan lima karung yang dicari tak semudah mengerling pada kekasih hati. Ada sekolah yang membutuhkan buku-buku untuk koleksi perpustakaan. Anak Pak Mersudi yang bernama Doni sudah membawa buku-buku yang dicari dua muda-mudi itu ke sana. (hal. 43-54).
Ketegangan pembaca dinaikkan perlahan melalui jalan cerita. Seperti menikmati angin sepoi, penulis membuat pembaca seolah ikut menikmati apa yang dirisaukan hati Gading dan Kingkin.Bahasa yang dipakai pun sangat mudah dicerna, dalam keadaan lelah sekali pun.
Menapakkan netra pada bab kelima, pembaca sudah bisa merasakan adrenalin petualangan yang terjadi. Gading dan Kingkin segera mengarahkan pencarian ke tempat yang dimaksud. Sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang jauh dari rumah Pak Mersudi. Di sana ada Pak Saidi sebagai tokoh yang menyemarakkan alur perjalanan kisah nan manis.
"Buku ini sudah dibeli dengan menggunakan anggaran sekolah. Kalau Nak Gading mau memintanya kembali, berarti harus membelinya."
Itu lah yang diucapkan Pak Saidi. Gading sepakat, namun. Pak Saidi pun masih agak berat melepas. Ditambah hanya ada dua karung. Anak Pak Mersudi telah membawanya ke tempat lain. Tarikan napas lega pun tertunda. (hal 55-67).
Novel yang ditulis anggota FLP ini memiliki latar belakang hidup orang-orang sederhana. Mereka tinggal di desa. Saat membaca kita bisa menikmati hamparan sawah dengan angin sepoi, gradasi jalan-jalan desa, pun keramahan orang-orang yang tanpa pamrih. Jangan berharap menemukan adegan cinta atau jatuh cinta, bahkan bagi saya, ini adalah novel pertama yang pure mengangkat isu literasi sebagai ide menarik.
Gading dan Kingkin terpaksa berpisah. Kingkin mendapat tugas untuk bernegosiasi dengan Pak Saidi, dan Gading akan mencari alamat yang ditunjukkan demi mengejar karung-karung lain. Ada kalimat yang mencubit saya pada episode ini, "Pendidikan tanpa membaca ibarat ruh tanpa raga." (hal. 73).
Kingkin berhasil dalam negosiasi, Gading pun mendapatkan sisa buku lain. Masalah baru muncul. Hari yang sudah malam mewajibkan keduanya bila akan bertemu harus melewati jalan yang terkenal dengan aksi perampokan. Kingkin bersama beberapa gadis, Gading bersama Doni. Ketegangan disetel dari Kingkin dan teman-teman yang dihadang para rampok di tengah jalan. Saat mereka beraksi, Gading dan Doni baru datang. (Bab. 9-13).
Walaupun keberadaan para perampok dan aksinya terkesan datang tiba-tiba, cerita ini tetap dapat dinikmati. Peristiwa pencegatan dan heroiknya Gading serta Doni agak terkesan mirip sinetron. Yang membuat berbeda adalah pertanyaan lain dalam pikikran Doni, "Ada apa sih sampai pada rela memburu buku-buku yang sudah diloakkan? Pasti ada satu rahasia!" Hal tersebut sudah dituturkan penulis sebelum adegan bertemu rampok. Dan satu jawaban yang ada memang sudah ada lanjaran sejak awal cerita. Hampir tidak bisa ditebak. Lanjaran manis yang strategis.
Memangnya apa sih?
Lima belas bab dalam novel ini akan menjawabnya. Tanpa menggurui, tanpa menuding-nuding siapa pun, dan tetap dengan kalimat yang santun.
Selamat membaca. Anda akan menemukan bahasa kalbu apa yang begitu dalam di tiap lembar terakhir buku-buku Padi. Hal mendasar yang disiratkan dalam pencarian lima karung buku. Novel ini recomended untuk pembaca yang menyukai cara bertutur sederhana. Bisa dibaca sekali duduk, dan selamat menyelam ke dalam anggun pesan-pesan tiap kalimat yang ada.
Tulisan diikutkan dalam Lomba Resensi Indiva Media Kreasi
Saya dan BUKU INI TIDAK DIJUAL |
Asslmkm
ReplyDeleteMenurut saya mengenai resensi buku di atas. Sudah menggambarkan dengan jelas tentang isi buku tersebut. Penulis, memaparkan buku tersebut di awali dengan konflik sebagai awal mula masalah yang timbul. Ini menggambarkan ketegasan dan kejelasan untuk menarik minat para pembaca untuk memiliki buku tersebut. Dan satu hal yang menarik lagi dalam cerita ini. Tujuan Pencarian 5 karung berisi buku oleh ganding dan temannya. Terselip cantik meskipun judul sudah mendukung. Itulah yang membuat rasa penasaran dan para pembaca menerka2. Lalu proses ceritanya di kemas apik, dengan membangun konflik yang satupadu. Sehingga terasa seperti buku detektif.
Sekian dari saya, wasallam
(Rini_chan)
salam kenal, salam menulis
Wa'alaikumussalaam. Iya, Mbak Puspita Rini. Menyerupai buku detektif memang. Kalau saya diminta membuat klasifikasi, agaknya cenderung memasukan ke dalam kategori detektif ketimbang yang lain.
DeleteTerima kasih. Salam kenal kembali. @KMubarokah
Yang namanya resensi memang harus mengundang tanya dan bikin penasaran ya mbak Khayla..supaya pembaca tertarik pada potongan cerita dan segera membeli untuk menuntaskan rasa penasaran... :)
ReplyDelete* termasuk saya juga... :)
Saya juga masih belajar, Mbak Anjar Sundari. Sesuai tujuan menulskannya. Jika ada niat untuk promosi memang unsur penasaran menjadi penting. Kalau beli menjadi berat, mengunjungi perpustakaan untuk membaca bisa diagendakan. Hehe.
DeleteResensi yang tidak terlalu panjang, namun mengungkapkan dengan detail kisah dalam buku ini. Hanya saja saya merasa bahasa Mbak Kayla terlihat terlalu puitis. Seperti Petir kejut menyambar jantung Padi [ini sempat bingung dan menelaah baca beberapa kali]. Kalau langsung menggambarkan Padi terkejut, sepertinya lebih jelas dan langsung bisa ditangkap dengan mudah], mengerling pada kekasih, pemakaian netra,
ReplyDeleteSaya pikir resensi akan lebih mudah dipahami dengan bahasa yang lugas[ singkat, padat dan tegas tidak bertele-tele] dan langsung pada pokok pembahasan. Karena tidak semua pembaca resensi adalah orang-orang yang menyukai puisi. Serta saya merasa kekurangan dan kelebihan novel ini, belum dibahas tuntas dalam resensi ini.
lepas dari itu..., resensi Mbak Kayla cukup membuat tertarik dan membuat penasaran. Karena dipaparkan dengan baik dan menarik. Apalagi tema yang diangkat dalam buku ini cukup unik. Tentang kecintaan pada buku dan ada juga keinginan seorang anak untuk membantu bapaknya agar tidak bersedih lagi. Memiliki pesan moral yang keren.
Akhirnya ada yang komentar sesuai apa yang saya harapkan. Umm, gimana, ya?
DeleteJadi gini, saya menulis resensi dengan dua model memang, model pertama jika saya kirimkan ke surat kabar, saya cenderung mengikuti gaya bahasa surat kabar tersebut. Model selanjutnya yang seperti ini, coretan begini memang aku banget (egois, sadis, eh, tapi enggak sinin). Tujuanku saat ke media saya mengikuti selera massa, dan jika untuk lomba atau blog pribadi, saya ingin menunjukkan gaya asli saya. Jadi, kurang lugas, ya? Terima kasih sekali untuk masukan yang membangun. Jujur, ini resensi kedua yang saya ikutkan lomba, dua-duanya belum pengumuman, jadi saya belum tahu apakah gaya saya ini bisa diterima atau belum. Ih, agak coba-coba memang, tapi saya enggak bakal tahu hasilnya bila takut mencoba.
BTW, ternyata daya tangkapmu lebih cerdas, Dik Ratna Hana Matsura. Bagian membantu bapak agar tidak bersedih itu yang membuat saya menilai kecerdasan itu.
Salam sukses selalu.
Edited : Sinin ---> sinis.
DeleteHampir saja terlewat. Saya juga sudah memberi catatan tentang kelebihan dan kekurangan buku ini. Bagian pujian saya anggap sebagai kelebihan, dan bagian kritik adalah kekurangannya. Yang kekurangan ada di bagian 'Saat perampok menghadang terkesan tiba-tiba' dan aksi heroik yang menyerupai sinetron. Sengaja tidak membuatnya menjadi satu paragraf tersendiri. Hehe.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteEh, saya yang memberi pendapat sesuai apa yang saya rasakan Mbak. ^^. Saya juga masih belajar soal meresensi, dan baru dua kali ikut lomba juga dan belum ada pengumuman. Pun saya juga memiliki dua model dalam membuat resensi. Kalau di media padat dan sesuai standar kolom yang disediakan, kalau untuk lomba dan di blog bisa panjang sampai membuat banyak kutipan kalau ada banyak. Soalnya tidak ada batasan.
DeleteSetuju Mbak, kalau nggak dicoba nggak akan tahu. Eh, itu ya, soalnya kerasa gitu aja pas baca gimana situasi Gading. Berasa dia ikut sedih ketika melihat bapaknya sedih dan ingin melakukan sesutau yang baik untuk bapaknya.
Eh iya, soal kekurangan dan kelebihan. Iya Mbak saya sudah membaca yang bahasa tidak menggurui dan soal rampok itu juga. Tapi berasa masih sedikit gitu. Padahal jujur saya juga kadang masih susah menjelaskan masalah kritikan yang baik dan membangun. ^^
But, resensinya halus banget, mengalir.Semoga sukses ya Mbak Kayla ^^
Eh, jadi dikau sudah posting untuk lomba ini juga? Siap meluncur. Makasih banget, setiap pembaca berhak mengutarakan pendapat sesaui apa yang dia tangkap. Dan kadang, penulis menginginkan A tertangkap sebagai B. Jelas ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki proporsi tulisan.
DeleteSiap mampir blogmu juga ah. :)
Iya Mbak, karena rasa setiap orang ketika membaca sesuatu itu memang tidak selalu sama. Bukan Mbak, maksud saya ikut dua kali itu ya ..., lomba resensi ziyad dan Pulang Republika[Monggo kalau berkenan mampir ^^] yang ini belum berkesempatan ikut. Doa buat sampeyan saja. ^^
DeleteSaling mendo'akan, ya, Dik Ratna Hana Matsura. Mudah-mudahan Resensi Pulang dapat merebut hati juri.
DeleteAamiin, semoga Mbak, Pasrah saya, la wong penulis resensi yang sudah hebat-hebat semua ikut lomba resensi tersebut ^_^ baik yang selalu dimuat di media dan para blogger buku yang keren-keren. Sukses juga buat Mbak Kayla.
DeleteAssalamu'alaikum Wr Wbr.
ReplyDeleteResensi di atas disampaikan dengan bahasa yang halus dan rapih. Ada nuansa tersendiri ketika resensi ini dibaca. Pemaparannya cukup lugas dan eksplisit. Namun tentu tetap tak keluar dari koridor yang bisa "membocorkan" cerita. Sehingga membuat pembaca--khususnya saya-- merasa penasaran untuk memiliki buku ini dan melahap kisah ini dengan kepuasan.
Namun, ada beberapa kata yang dipakai penulis resensi ini yang menurut saya murang konsisten. Pertama, pada kata "pick up". Saya sebenarnya juga masih ragu, mengapa antara kata di atas dan kata-kata lainnya seperti "pure" dan "recomended" tidak disamakan (tulisan miring)? Mungkin saran saya agar bisa lebih dijelaskan lagi perihal ini.
Kedua, kening saya sempat mengerut ketika mendengar nama seorang Doni. Siapa sebenarnya dia? Tokoh ini belum sempat diberitahu status hubungannya dengan Gading. Tidak seperti tokoh-tokoh lain yang dijelaskan perannya sebagai siapa atau siapa. Alangkah baiknya jika hal ini juga lebih diperhatikan. :)
Ketiga, (maaf jika terlalu banyak komentar, hehe) yaitu tepat berada di pararaf terakhir. Saya hanya ingin bertanya, apakah ucapan "Selamat membaca" dan "selamat menyelam" itu sama (dalam bentuk ajakannya)? Kalau iya, mungkin ini akan jadi pemborosan. Sebaiknya, dengan ucapan dalam kalimat akhir juga sudah cukup untuk menjadi gagasan utamanya.
Demikian komentar saya. Maaf bila ada salah kata atau pemahaman. Wassalam.
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
DeleteKomentar yang luar biasa, Mas Rakhmad Zubair. Saya terharu membacanya.
Kalau huruf yang miring itu karena berasal dari bahasa asing, maka saya miringkan. Mudah-mudahan tidak keliru.
Doni sudah saya jelaskan, dia anak Pak Mersudi--yang membeli buku-buku dari Mbah Sam. Mungkin kurang banyak, ya, jadi terkesan tidak ada. Jeli juga Mas ini.
Antara selamat membaca dan menyelam bagi saya ada dua tingkatan. Membaca, ya membaca saja, sedangkan menyelam itu membaca dengan menghidupkan seluruh indera milik kita. Lain kali akan saya pertimbangkan dengan baik usulan ini sebelum menuliskannya untuk berjaga-jaga ada yang memaknai serupa.
Salam setangkup santun
@KMubarokah
Maaf ya kalau komentarnya justru malah melenceng.
DeleteOiya, sekaligus untuk pembelajaran saya, berarti mobil pick up tidak perlu dimiringkan kah?
Ternyata ketahuan saya yang belum jeli. Maaf ya... hihi :)
Semoga sukses ya, Mbak Kayla :)
DeleteHihihi. Saya yang merem kali, Mas Rahmad Zubair. Iya, itu miring saja. Oops. Malu. Terima kasih sudah brkenan mengoreksi.
DeleteResensi yang lembut dengan bahasa yang sederhana tapi mengena. Mungkin ini yang membuatku seolah olah benar tengah duduk di sebuah teras yang sejuk dengan novel yang diresensi berada di tangan dan tengah kunikmati setiap hurufnya.
ReplyDeletePenasaran??? Pasti!
Dengan bahasa yang sederhana tapi lugas, penulis berhasil menggambarkan atau lebih tepatnya menyiratkan kejadian dalam novel. Misal kekacauan, kebingungan saat mengetahui buku-buku yang hilang dan pastinya pencarian.
Salam sukses :)
Wah, kalau baca novelnya berasa ringan banget. Enggak hanya mudah dimengerti, tapi juga cepat kelar.
DeleteMasih menerima kritik dan saran demi pembelajaran saya, Mbak Islah Wardani. Salam santun.
wes pokoknya menurutku ini wes bagus, mbak :)
DeleteWuih baca resensi ini dan komen2nya bikin sy melipir.. hehe..
ReplyDeleteResensinya mantav..
Sukses ya, Mbak Kayla
Yang komen jauh lebih mantav. Mbak melipir, aku juga ikutan ah, biar kita di pinggir bareng. Kalau di tengah, entar jalan jadi penuh. Oops.
DeleteAamiin untuk do'anya, Mbak Linda Satibi.
Detailnya lengkap ya, Mbak. Membaca resensi di atas, saya seperti mengintip beberapa halaman di dalam novel. Hanya, resensinya kurang menggigit, Mbak. Mbak me-review lebih banyak kelebihannya atau memang kekurangan novel ini hanya terletak pada klimaks yang begitu cepat (saat perampok datang), mungkin? :) Selain itu, Mbak sepertinya agak mementingkan diksi (semisal: hingga enggan beranjak meninggalkan satu aksara..., Menapakkan netra pada bab kelima...)padahal resensi berbeda dengan puisi, cerpen, atau novel. Kalimat dalam resensi sebaiknya mudah dipahami, lugas, dan padat. Hanya itu, sih, menurut saya. Novel di atas kayaknya masuk juga deh di keranjang wishlist saya . Oh iya, di atas ada typo, Mbak. Hehehe :D
ReplyDeleteTentang lebih banyak kelebihan, saya masih membatasi kekurangan yang dipublish. Misalnya bila typo, pemakaian kalimat yang kurang tepat, atau kejanggalan yang bisa saya sampaikan langsung ke penulisnya. Mungkin ini menjadi kekurangan saya dalam membuat resensi. Eh, tapi soal diksi, terkesan maksa ya? Ough, jadi pingin lari pagi. Iya, biasanya saya juga memakai kalimat yang lugas banget, cek di : http://kaylamubara.blogspot.co.id/2015/11/panduan-praktis-menjadi-pendongeng-yang.html di situ saya tidak berdiksi layaknya puisi seperti yang Mbak Kejora Anaphalisia tuliskan.
DeleteTerima kasih masukannya. Ini akan menjadi pijakan yang berarti bagi perbaikan selanjutnya.
Salam santun @KMubarokah
Eh, bukan maksa, sih, Mbak. Apa ya? seperti kalo Mbak nulis puisi, diksi yang indah itu juga 'ngikut' saat Mbak nulis resensi. Itu maksudnya. Tapi, kalo komentar saya agak sotoy, maaf ya, Mbak. Komentar ini hanya dari pikiran saya tentang resensi di atas :)
DeleteAh, link yang Mbak kasih, sudah saya buka. Dan, saya lebih suka bahasa ringan yang Mbak suguhkan di sana. :D
Terima kasih. Saya jadi tahu (baru tahu nih) kalau orang lebih suka model resensi yang simpel dan enggak puisti. But, saya coba ini deh. Makasih banget masih berkenan memberi masukan.
DeleteSaya juga punya nih buku ini. Masih gamang mau diikutkan atau tidak ke lomba resensinya :D
ReplyDeleteGood Luck, Mbak.
Sama-sama, Mbak Hairi Yanti.
DeleteMembaca resensi yang Mbak Kayla, buku ini cocok di baca anak seusia anakku yang SMP dan SD,Kebetulan kami juga sedang mensuport pengadaan buku-buku perpustakaan di SMP Negeri 43 Surabaya. Jadi membaca resensi buku yang berisi kepedulian tentang dunia literasi, tentu sangat membahagiakan. Semoga semakin banyak penulis, orang tua, pihak sekolah dan siswa dan semua elemen masyarakat peduli dengan perkembangan dunia literasi di Indonesia.
ReplyDeleteKalau novelnya, bisa dimengerti anak SMP juga. Bahasa yang digunakan sederhana dan tidak ada unrus SARA. In Sya Allah aman. Tapi, kalau SD, mungkin bundanya perlu mendampingi.
DeleteWiis.. banyak ilmu di komentarnya. Pungutin satu-satu...
ReplyDeleteGutlak lombanya yaaah, Mba Kay
Ditambah lagi juga boleh.
DeleteBaru sempat mampir ... hadeuh.
ReplyDeletePas baca judul buku ini kirain buku non-fiksi, eh, ternyata novel tho yo? Jd mau punya jg ^^
Aku juga baru buka lepi ini. Entar mampir ke tempatmu, yua. Kesanku untuk judul sih unik, mirip judul Bukan untuk Dibaca. Ini ... Bukan untuk Dijual. Mengingatkan pada bukunya Mbak Desy.
DeleteIsi resensi ini sudah cukup lengkap, cuma ada sedikit yang kurang menurut saya. Dibilang perlu ya gak terlalu penting, dibilang gak perlu sepertinya lebih lengkap jika dicantumkan. Yang kurang menurut saya dimensi bukunya. Hehehe... saya yang masih belajar ini biasa nulis resensi mencantumkan ukuran bukunya. Misal, 19 x 13 cm. Jadi, pembaca bisa membayangkan bentuk asli ukuran bukunya.
ReplyDeleteIde mencantumkan Blurb-nya juga bagus. Bisa saya tiru.. hehe... Satu lagi, andai kakak memiliki buku lain yang ditulis Henny Alifah, bisa dicantumin sebagai perbandingan. Pasti lebih caem tuh. Selebihnya, seperti yang saya sampaikan tadi, resensinya sudah lengkap. Bikin penasaran pembaca buat beli. Terakhir, semoga menang, kak
Ih, makasih banget masukannya. Kadang saya cantumkan, kadang tidak. Ini untuk lomba jadi enggak saya edit. Ayo beli bila tertarik, eh? :)
DeleteSecara penulisan resensi yang saya ketahui menurut saya sudah terpenuhi. Dari sinopsis, kelebihan, kekurangan buku, sampai komentarnya mbak sudah ada semua. Resensinya juga sudah sangat menjual buku tersebut. Tidak ada yg bisa saya komentari lagi. Tinggal tunggu pengumunannya ya mbak. Semoga jadi juara ^^
ReplyDeleteAaamiin. Terima kasih untuk do'anya. Terkabul atau belum, saya siap lapang dada :)
Deletesemoga sukses lombanya, mbak Kayla
ReplyDeleteAamiin. Terima kasih supportnya, Mbak Indah Novita (Kalya) :)
ReplyDeleteUdah beberapa kali berkunjung, baru bisa meninggalkan jejak sekarang.
ReplyDeleteMenurut saya, meresensi adalah tugas berat, karena bisa jadi peresensi harus lebih pintar dari penulis bukunya hhihi... . Menulis resensi bukan saja menyimpulkan tentang apa buku itu, tapi juga harus jeli melihat unsur-unsur kelebihan dan kekurangan pada karya tersebut. Dalam resensi mbak Kayla banyak sekali terlihat kelebihannya, dibandingkan kekurangannya. Padahal kekurangan dalam sebuah karya bisa juga membuat orang lain tertarik untuk membacanya. Sepintas, membaca judulnya saja buku ini sudah membuat penasaran dan membaca resensi Mbak kayla, menambah penasaran.
Sukses ya mbak Kayla.... :)
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. Masih belajar banget nulis resensi. Iya, ya banyak kelebihannya. Tapi, memang kenyataan jika buku ini menurut saya lebih banyak kelebihan daripada kekurangannya. Kekurangan paling besar adalah belum terbitnya lanjutan cerita dari buku ini, alias sekuelnya. Hahahaha.
DeleteAamiin, untuk do'anya.
Baru pertama kali mampir dan pembahasannya tentang resensi *waw kagum*
ReplyDeleteSaya sendiri masih mencoba mengerti dari posting di atas dan komentar2 di bawahnya,
semoga saya bisa menulis resensi nanti.
Semangat mba ayla, salam kenal
Salam kenal juga, Mbak Laili Umdatul Khoirurosida. Saya pun masih belajar, asal mau praktek, In Sya Allah nulis apa saja bisa dipelajari.
Deletesaya tidak bisa berkata panjang lebar seperti yang di atas, cuma resensi buku memang butuh menguasai dan paham isi buku, Great job and good luck
ReplyDeletesalam kenal @adibriza adibriza.com
asal nganjuk tinggal di jogja :D
DeleteTerima kasih untuk kunjungan setianya Mas Adib Riza. Baru bisa konek, In Sya Allah saya bakal BW balik.
DeleteSetidaknya kalau novel memang harus kelar membaca, jika tidak, saya enggak bisa atau tepatnya enggak bakal tega merekayasa cerita. Bisa berabe.