Tidaaak!
75
kilogram?
Ini pasti tidak
benar, masa aku seberat hamil usia sembilan bulan? Itu pun anak yang kedua.
Anak pertama hanya 65 kilo gram. Perlahan, kuatur napas. Melihat kembali jarum
timbangan yang masih nyata ada di angka sama.
Aku turun,
melihat gamis, kaus kaki, celana leging, kerudung besar. Ah. Mungkin ini yang
membuat jadi berat. Tapi, tidak mungkin juga bila semua mencapai lima kilogram.
Huh! Kalau iya sih, berarti berat badan ini 70 kilo gram.
Kaki kanan
kembali naik ke atas timbangan. Timbangan baru,
agak tidak masuk akal bila rusak. Kaki kiri kuangkat dan keduanya sudah
berjejer. Et dah. Kenapa sekarang jadi 76 kilo gram? Oh. Mungkin benar. Ini
rusak. Oh, tidak. Ini tidak mungkin.
“Kakak, coba
naik ke timbangan,” perintahku pada anak sulung.
Dia naik. Dan
cocok, karena aku tahu berapa beratnya. Otomatis, timbangan ini masih baik,
bagus, tidak rusak. Berat badanku lah yang rus ... eh, tidak, tidak, tidaaak!
Hari itu, aku
sudah 11 hari menjalani DEBM. Untuk yang belum tahu, DEBM merupakan akronim
dari Diet Enak Bahagia dan Menyenangkan. Aturan dasarnya adalah diet rendah
karbo, dan tinggi protein hewani, plus lemak. Diet ini memiliki sederetan
makanan yang dianjurkan dikonsumsi pagi, siang, atau malam. Dan, biasanya, pada
awal diet, berat badan turun secara drastis.
Lalu, aku?
Mungkin aku
salah, tidak timbang badan saat memulai, jadi sangat empot-empotan nih jantung
pas tahu berat ada di angka itu. Rasanya dalam dada ada yang luruh, setelah
sebelumnya mengukuh. Jatuh, patah, dan membuat pemiliknya lemas.
“Diet apa saja
sebenarnya pasti sukses.”
Aku teringat
nasihat Mbak D. Untuk keamanan dan kenyamanan, maka demikian saja kusebut
namanya. Aku jadi galau, apakah aku sukses, atau belum. Entahlah. Aku mendadak
ingin memboikot diet ini. GAGAL. Itu yang angin kutancapkan dalam hati. Aku
harus mencari metode lain, agar bisa menormalkan berat badan ini.
Aku pun
berhenti. Itu terjadi bulan Februari, hingga pada tanggal 8 April 2019, aku
masih menikmati pola makan dan hidup asal jalan. Apa yang ada, selalu masuk,
kumakan. Tidak peduli, berapa banyak kalori, karbohidrat, yang menyapa mulut,
tenggorokan, lambung setiap hari.
“Aku sih pinginnya
tetap happy, enjoy, menikmati walau badan sebesar apapun.”
Kalimat ini dari
seorang kawan, tak perlu kusebut inisialnya, karena belum izin. Kalimat yang kuadopsi
secara brutal. Daripada diet dan masih sebanyak itu, happy jauh lebih baik.
Sayangnya, aku hanya mengayem-ayemi diri untuk menutupi teriakan hati yang
beda. AKU MASIH INGIN LANGSING, TAPI AKU MASIH SUKA MAKAN. Itu lah
kenyataannya.
Kadang, aku
masih berdiri di depan cermin yang ada di pintu lemari. Melihat sebentuk postur
yang sudah tidak jelas mana lekukan, dan mana otot. Alih-alih merasa happy, aku
malah jadi kurang percaya diri. Banyak kalimat motivasi kujajar, susun dengan
sedemikian rupa, dalam hati, namun, sisi hati lain selalu teriak, tidaaak! Ini
tidak boleh kubiarkan.
Allah, izinkan
aku (me) langsing.
Bagaimana
caranya?
Bersambung ...
Bagi ilmunya unt melangsing dong mbakkk
ReplyDelete