LDR, Dari Membuka Peluang Selingkuh, Hingga Pelajaran Ketegaran

Pixabay


Percaya apa enggak jika LDR itu Membuka Peluang Selingkuh, Hingga Pelajaran Ketegaran?

Ketika menulis tentang hal yang bisa ditanyakan dalam proses taaruf sebelum menikah, saya tertumbuk pada satu kalimat. “Sebaiknya calon suami-istri ini saling terbuka, akan tinggal di mana setelah menikah. Apa akan bersama atau LDR dulu?” Setidaknya intinya begitu. Artinya, tidak ada satu pihak di antara mereka yang mendadak teraniaya karena harus pisah, tanpa pemberitahuan lebih awal.

Dalam perjalanannya, pernikahan menemui banyak tantangan. Ada yang tiba-tiba suami di PHK, suami berhenti bekerja, dan istri mengambil alih sebagai tulang punggung kehidupan mereka dengan tanpa batas waktu. Bahkan, ada yang sudah puluhan tahun menjalani ini.

Pagi tadi, saya ada tugas di kelas menulis yang saya ikuti. Intruksinya adalah tuliskan apa yang ditakutkan, membuat marah, atau ... apa ya satunya? Kecewa mungkin.

Karena saya paling belum jelas jika harus LDR, maka saya ambil tema itu. Awalnya saya coba lempar pertanyaan di akun FB saya. Begini pertanyaan yang saya ajukan, Mau tahu dong, Teman-teman yang LDR an, banyak suka atau dukanya. Terus, kalau bisa milih, pilih LDR apa enggak? Makasih, yaaa. Always love youuu ... .

Kemudian bergulir lah jawaban-jawaban yang membuat saya merenung di antara hujan yang menyiram tanah Sumenep, hari ini.

Apa sajakan pendapat teman-teman saya yang menaggapi LDR itu?
Berikut jawabannya:

1.      LDR bikin ruang dan waktu untuk selingkuh.
Pendapat ini tentu saja tidak bisa disalahkan. Sangat masuk akal jika sejoli berjauhan, ada rindu yang mendebar, kemudian lewat lah sosok lain yang bisa jadi lebih sempurna di matanya atau di napsunya, maka timbullah percikan-percikan rasa yang membuahkan bibit-bibit suka. Nyaman. Dan ingin bersama. Bersama yang lain. Karena kebersamaan dengan yang seharusnya tidak mungkin. Sedang LDR.

2.      Bisa lebih saling merindukan dan jarang ribut.
Ini tentu saja adalah nilai plus dari LDR. Dan otomatis sangat subjektif. Apa yang dialami orang otomatis berbeda. Pendapat ini dilontarkan teman saya yang lain dalam bahasa renyah, Kalau ngomong LDR itu lah yang saya alami dari saat sebelum nikah (awal pede kate sampai tau suka sama suka) dan masih berlanjut hingga sekarang. Masih suka LDR, dan itu bukan keinginan kita (karena tuntutan pekerjaan suami yang freelancer yang suka keluar kota bahkan kadang keluar pulau dan keluar negeri. Dengan waktu cukup lama bagi saya. Tapi paling lama ya 2bulan. Minim 1 minggu sekali baru bisa pulang. Tapi sebaliknya ketika gak ada pekerjaan beliau dirumah terus. Tapi gak sukanya juah, ketika anak sakit dan hamil pas sendiri dirumah. Rasanya itu luar biasa. Pengin nangis triak tapi aku harus tegar (cielah)
Tapi sukanya kita selalu saling merindukan dan jarang ribut.
Tapi kalau boleh memilih ingin selalu bersama dalam suka maupun duka. Karena kalau kita ketemu pasti selalu banyak senengnya
.”

3.      Belajar Tegar.
Ini tercermin dari komentar tema saya yang lain,Saya lagi LDR. Emmm... Dukanya, karena lagi hamil tua jadi nggak ada yang mijitin kaki atau elus punggung tiap malem, nggak ada yang bantuin angkat cucian, atau jemput anak sekolah. Hihihi... Kalau ada beliau, aku tuh kayak tuan putri. Nggak boleh ini itu. Jangan capek2. Kalau perlu makan delivery aja. Cuci baju dilaundry. Sukanya, kalau ketemu itu loh... Berasa ada cinta baru.”

4.      Banyak Duka, tapi Sukanya Jauh Lebih Banyak
Masih ada cerita lain dari komentator di postingan saya,”Saya pasangan LDR. Mungkin untuk waktu yang tidak sebentar atau bisa jadi most entire life. Bisa dihitung waktu-waktu bersama suami selama tiga tahun ini ... dari mulai umur pernikahan 3 hari ditinggal kerja, hamil muda sampe tua mengurus diri sendiri ( termasuk saat bikin bpjs, dll.). Bukan keinginan. Tapi sudah tuntutan profesi suami. Dukanya memang banyak tapi insaAllah sukanya lebih banyak. Dalam setiap kali pertemuan nyaris gak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk ( misal) ribut, diem-dieman, dan masalah serupa lainnya. Setiap pertemuan seperti saat dulu masih pacaran.”

5.      Banyak Tidak Enaknya.
Ujungnya, ada perenungan lain dari pengalaman seorang teman, “Banyakan ga  enaknya mba. Suami seolah-olah hanya setor materi (emang itu bentuknya hehe), dia tidak tahu bagaimana istrinya berjibaku dengan urusan2 rmh tga, soal kasih sayang trhadap anak, soal sosialisasi dengan tetangga2... soal keruwetan yg dihadapi oleh istri... soal apapun yg dihadapi keluarganya di rumah. Makanya (ini kalau saya ya) suami suka kurang peka dengan kesibukan istrinya (saat di rumah), karena terbiasa dgn hidupnya yg sendiri 'di sana'. Nah, ada lagi .... yaitu curigation yg berlebihan.”

Setidaknya, kalimat di bawah ini akan cukup mewakili, apakah saya takut, khawatir, atau marah menyikapi LDR. “Duhai orang-orang yang dekat atau didekatkan dengan saya. Saya mohon, semoga tulisan ini bisa dibaca. Sejujurnya saya adalah wanita yang mencoba berbakti pada suami, karena alasan syariat, tapi bila LDR menyapa dan ada apa-apa yang terjadi di luar prediksi, di antara kami, maka yang berperan membuat kami LDR harus bertanggungjawab. Saya yang akan menuntut di hadapan-Nya kelak.”
            Wkwkwkwk.
Mendadak sangar.
Oh. Sudah sejak lahir. Saya baby sangar. Bukan baby shark. 

Itulah tadi pendapat-pendapat perihal LDR, dari membuka peluang selingkuh, hingga pelajaran ketegaran. 

Anda, masuk kategori yang mana? 

Boleh komentar. 

Bebas share. 

Comments

  1. Hai mba Kayla, ini Dinda Lc, Hehe mampir ah karena judulnya bikin penasaran. Soalnya saya pun sedang mengalami LDM, Long Distance Marriage, Huhu. Bukan keinginan kita sih. Soalnya butuh penyelesaian prosedur. Maklum, antar negara. Butuh prosedur untuk bersama.
    Alhamdulillah, walau baru nikah sebulan udah ditinggal, tapi karena LDM kita malah semakin dekat karena sering ngobrol walaupun via video call. Gak takut sama yang namanya selingkuh, kan kan pernikahannya dibangun dengan kepercayaan, jadi saling percaya adalah salah satu kunci menjaga pernikahan jarak jauh. Ujiannya berat, karena kangen huhu. Tapi malah hal itu semakin mendekatkan kita kepada Allah agar menyegerakan kami bertemu lagi.

    Salam sayang mba Kayla.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, wah ... Apa kabar, Dinda? Alhadulillah, bahagianya disinggahi pengatin baru. Iya. Melihat dari satu sudut pandang akan sangat tidak adil. Setiap orang berhak berpendapat, apalagi dengan pengalaman yang berbeda. Barokalloh.

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara