Di
telinga gue, itu sudah mirip suara petasan segede body kambing, terus meledak dengan jarak sangat dekat. Gue hampir
saja melompat. Tapi gue ingat, itu pasti akan menyebabkan kekhawatiran, bahwa
gue terindikasi setres akut. Ya. Setres karena gue mau dilangkahi dua adik
perempuan.
Kalimat
tadi baru saja meluncur dari mulut adik gue. Umurnya empat tahun di bawah gue. Dulu,
waktu kami masih anak-anak, dia paling demen
sembunyi di belakang punggung gue. Sekarang? Seolah-olah dia sedang menyodorkan
surat jatuh tempo ke gue. Surat yang hurufnya dibold, serta berwarna merah. Khusus buat gue.
Dua
tahun yang lalu, adik pertama gue sudah nikah duluan. Sekarang, dia sudah punya
anak satu. Saat pertama gue mendengar kabar perkenalannya sama seorang cowok,
gue sudah feeling. Gue bakal
dilangkahi. Eh, beneran.
“Gimana,
Kak?”
Gue
gelagapan. Di pikiran gue tertayang
satu per satu wajah bokap, dan nyokap. Keduanya, saat melintas dalam pikiran
gue, berwajah memelas, mirip dua orang tua Shinchan yang mengharapkan anaknya
patuh. Kedua tangan menangkup di dada, dan bilang, “Buruan nikah, ya?”
Duh,
padahal semua sudah khatam, jodoh, mati, rezeki itu enggak mirip jadwal
makan—teratur, dan tersusun dengan baik—ini membuat pikiran gue berputar. Kalau
elu pernah lihat gangsing, nah, pikiran gue mungkin sedang mirip dengan itu. Dalam
keadaan begini, kekhataman mereka perihal jodoh, jadi gue ragukan. Iya sih
khatam, tapi mungkin sedang remidi. Mengulang dari awal dalam memahaminya,
karena ada nilai hati yang anjlok.
“Kagak
bisa diundur lagi nih? Dua tahun misalnya?”
“Kakak
ini gimana sih! Satu tahun ini sudah kelamaan!”
Busyet
dah. Macam peraturan ujian nasional saja ini permintaan. Tidak bisa diganggu
gugat. Gue goyang-goyangin kursi, yang bukan kursi goyang. Bunyi ‘duk-duk-duk’
dari hasil antukan dua kaki kursi belakang menjadi irama, backsound obrolan kami.
“Boleh deh. Lu mau nikah, mau pergi,
gue izinin. Setahun lagi, ye?”
Saat ngomong begitu, sebenarnya.
Kalau diteropong nih, hati gue sedikit pecah. Mungkin banget, pas elu
menempelkan daun telinga di dada gue, bakal terdengar suara ‘pyak!’ pecah.
Pecah karena sebenarnya gue belum ikhlas. Belum rela jika untuk kedua kalinya,
gue kudu dilangkahin. Dilompati dua adik menikah.
Jujur, pikiran dan fisik gue saat
ini sedang fokus di ujian DAN. Ini ujian sabuk hitam, level satu, untuk
praktisi bela diri karate. Impian gue sejak pertama memutuskan ikut latihan.
cita-cita semua karateka, yang terus ditempa sejak sabuk putih.
Selepas pertanyaan adik gue,
lama-kelamaan gue mikir. Sebenarnya, kriteria cowok yang gue idam-idamkan itu
seperti apa? Gue sendiri bingung, selama ini, gue dekat dengan banyak cowok. Di
karate juga kebanyakan makhluk cowok yang eksis. Ceweknya tidak terlalu banyak.
Bahkan saat latihan gabungan, kadang, gue lah satu-satunya cewek yang ikut
latihan.
Eh, pas ujian DAN nanti, di Cibubur,
siapa tahu ada cowok yang beda. Yang belum gue kenal, dan serius mau menikah.
Wkwkwkwk. Gue konyol banget, ya? Mengharap orang yang belum pernah gue
bayangkan, menjadi pendamping hidup? Fyuh. Gue belum merasa se’alim anak-anak
bokap yang lain. Yang bisa ta’aruf dengan makhluk asing bernama cowok. Gue
butuh melihat body, ketangkasan,
kecerdasan, dan karakternya. Gue enggak mau jadi korban KDRT. Ngeri.
***
Gue datang bersama dua teman cewek,
dan dua teman cowok. Kami berlima sudah siap ujian DAN di bumi perkemahan
Cibubur. Ini pertama kalinya gue ada di tempat ini. Rasanya mirip mimpi. Dulu,
pernah ngarep ada di sini sebagai Paskibraka, ternyata tinggi badan gue limit.
Mungil, dan kurang dari 155 cm.
Nahudi
Sensei—pelatihnya para marinir—menghampiri gue. Beliau sudah seusia engkong
gue, tapi jangan salah, badannya tentu saja lebih bugar daripada para tentara
yang dilatihnya.
“Eh,
elu udah merit apa belon?”
Gue
nyengir.
Memang,
kami jarang membicarakan masalah pribadi. Mungkin sekarang, Nahudi Sensei
benar-benar sedang penasaran sama kehidupan pribadi gue. Itu bukan hal yang
salah.
“Belum
nih, Sensei. Apa, Sensei mau nyari-in?” tanya gue sok mengharap.
“Lu
ni pegimane, sih, nyang mo merit elu, kenapa Sensei nyang cari? Tar beda
selera, Sensei salah, lagi!” semprot Nahudi Sensei.
Kami
pun tertawa bersama.
“Boleh
gabung apa enggak nih?” tanya cowok berambut cepak. Wuih, gue tahu, dari
posturnya, doi kayaknya tentara. Apalagi model rambutnya. Jelas banget kalau
dia tentara.
“Ayo,
sini-sini!”
Nahudi
Sensei menggeser tempat duduk. Lalu, beberapa orang juga bergabung bersama
kami. Di depan kamar barak penginapan, kami duduk santai di lantai. Dari
pertama datang, gue merasa cowok yang tadi minta bergabung itu, terus-terusan
mencuri pandang ke arah gue. Waks! Gue salah tingkah. Untuk pertama kalinya.
Irham.
Doi
seorang marinir. Kamarnya berbeda bangunan, dan tepat di samping kamar gue.
Ketika jendela masing-masing kamar di buka, kami bisa saling melihat. Doi
sering banget membuka jendela, memanggil gue, “Eh, ayo sarapan!”
Kami
biasanya hanya sarapan segelas susu, dan sebutir terus rebus. Itu pilihan yang
disediakan panitia ujian DAN. Kami mengobrolkan keseruan-keseruan pertandingan,
baik pertandingan yang pernah gue ikuti, atau doi ikuti.
“Kalian
ini, yang lain pada ngumpul, kok berduaan saja! Yang ketiga setan, tauk?” tegur
Nahudi Sensei.
Meskipun
nada bicara Sensei bercanda, tapi gue menangkap keseriusan di sana. Ternyata,
Irham adalah anak buah Nahudi Sensei. Beliau paling sering muncul di antara
kami. Seperti wasit yang menyemprit, saat pemain bola melakukan pelanggaran.
Tapi, gue tidak merasa bahwa mengobrol adalah pelanggaran.
“Yah!
Kakak! Gue cari ke mana-mana, eh, di sini sama si cepak lagi!” rutuk Isna—teman
satu tim gue.
Setelah
Nahudi Sensei, ada lagi Isna. Mereka berdua datang serupa pahlawan yang akan
membantu gue menumpas kejahatan. Masih menurut gue, Irham bukan penjahatnya.
***
“Jangan
lupa telepon gue, ya?”
“Idih.
Gue kan cewek. Pamali telepon duluan!”
“Ya
udah. Gue telepon elu dulu dah.”
Gue
berdiri tepat di depan Irham. Dada berdebar-debar. Ini benar-benar pertama
kalinya gue grogi sama cowok. Bisa jadi, gue ingat ucapan adik gue, beberapa
waktu yang silam, “Kalau
dalam waktu satu tahun, belum nikah, gue nikah dulu.” Jadi,
gue wajib menyiagakan radar, supaya bisa lekas dapat jodoh. Gue rasa, Irham
masuk kriteria cowok yang gue impikan. Atletis, ramah, gokil, dan matang.
Tinggi
gue di bawah dada Irham. Adegan perpisahan setelah ujian DAN itu mengingatkan
gue pada adegan tokoh komik, dimana sering banget tokoh cowoknya tinggi
maskulin, dan ceweknya mungil.
Saat
Irham, dan gue berhadapan, gue melihat Nahudi Sensei berdiri di ambang pintu
kamar. Beliau berjalan sangat pelan, berdiri tepat di belakang Irham. Gue
yakin, Irham tahu jika ada orang yang berdiri di belakangnya.
“Udah!
Kalian ditunggu tim masing-masing!”
Irham
membalikkan badan. Doi menyalami tangan Nahudi Sensei, dan menciumnya. Adegan
itu dalam pikiran gue sudah cocok dengan acara mohon doa restu. Kalau Nahudi
Sensei merestui, pasti lah mudah untuk membicarakan semuanya dengan orang tua
kami. Orang tua Irham. Berhayal!
Sensei
berlalu. Irham membalikkan badannya lagi. Pembaca dilarang berharap bahwa kami
akan melakukan adegan ciuman ala film-film dalam rangka perpisahan. Dilarang!
Karena hal itu sama sekali tidak terjadi.
“Gue
SMS-in alamat lengkap. Gue kirim sabuk hitam ke elu, kei?”
Irham
pergi setelah meninju pundak kanan gue. Doi gabung dengan teman satu tim,
begitu juga dengan gue. Tapi, gue melihat Irham kembali lagi. Teman satu timnya
pun pergi ke arah berbeda.
“Gue
anterin deh sampai stasiun!”
Deg.
Antara
GR, senang, dan berharap pun meledak-ledak di hati gue. Gue yakin, meski belum
100 persen, bahwa belum sampai satu tahun, gue sudah ganti satatus. Menikah.
Dan gue tidak perlu dilangkahi lagi. Nyesek.
***
Gue
dan Irham semakin sering saling telepon. Gue merasa tidak bakal diinterogasi
bokap, ataupun nyokap, karena saat kami telepon, gue sedang di kantor.
Sepertinya, Irham juga paham, doi selalu telepon pada jam kantor juga.
Karena
sering komunikasi, lama-kelamaan gue merasa tambah cocok dengan Irham. Meskipun
usianya tujuh tahun di atas gue, tapi doi bisa ngomongin hal-hal yang tetap nyambung
dengan gue.
Perasaan
gue mendapat sambutan. Tidak bertepuk sebelah tangan. Irham baru saja bilang,
bahwa doi jatuh hati sama gue. Secara tiba-tiba, bunga-bunga empat musim
bermekaran di hati gue. Gue memejam, lihat bunga. Jalan, lihat bunga. Bahkan
ucapan gue pun melontarkan bunga-bunga. Serius. Padahal, gue bukan penjual
bunga. Semua itu hanya gue yang lihat, dan rasa.
Gue
mulai melihat jadwal pertandingan. Setelah itu, gue SMS Irham, ‘Kamu ikut event
ini juga, kan?’ Seringnya, doi tidak ikut, padahal gue ikut. Harapan untuk bisa
bertemu, tidak berjalan mulus. Gue kembali seperti sebelumnya, bertanding, dan
terus bertanding. Enggak ada bedanya apa gue punya gacoan, atau belum.
“Cieee,
yang LDR-an,” ledek Isna.
Gue
memang menceritakan semua hal pada dua teman beregu gue. Isna, dan Ica. Kami
bertiga biasa latihan KATA beregu. Peragaan jurus untuk bela diri karate. Isna
masih kelas XI, dan Ica semeseter enam di salah satu perguruan tinggi negeri,
di Solo. Kami biasa membuat kesepakatan untuk bertemu, dan latihan bersama.
“Iya
nih. Doain, ya, doi serius!” jawab gue mantap.
“So
pasti dong. Masa gue kagak dukung teman satu tim,” sahut Ica sambil membenarkan
kaca mata.
Kami
duduk di atas matras berwarna biru merah. Saat istirahat, kami memang sering
membicarakan cowok. Sebelumnya, gue hanya jadi pendengar. Ica dan Isna paling
sering cerita. Kali ini, gue yang sedang jadi tokoh utama. Gue yang banyak
cerita. Mereka melongo, dan sesekali terdengar ledekan, “So Sweeet.”
Gedung
KONI mulai sepi. Tinggal kami bertiga yang ada di atas matras. Kami memang
sering datang lebih pagi, dan pulang paling terakhir. Ini kami lakukan, karena
kami jarang berkumpul. Gue sibuk kerja, Ica kuliah, dan Isna sekolah. Saat bisa
kumpul, kami memuaskannya hingga dua, atau tiga hari bersama. Biasanya, gue
tidur di rumah mereka satu malam. Saat itu, kami akan membicarakan teknik
gerakan, dan aplikasinya. Kami berlatih, tanpa pelatih. Untuk beberapa waktu. Mandiri.
“Kak! Elu yakin, Irham enggak selingkuh?”
tanya Ica satu waktu.
“Kenapa emang?” Gue balik bertanya.
“Ya kan secara, dia kece, tentara,
dan jauh!” jawab Ica.
“Bener, bener,” sahut Isna, “Kakak
kudu cek itu,” lanjutnya.
“Jadi kalau ada cowok kece, tentara,
terus jauh dari pacarnya, dia bisa kena tuduhan selingkuh. Gitu?”
Enggak ada jawaban.
Gue enggak pernah berpikir kalau
Irham bakal selingkuh. Apalagi, gue bukan type orang yang suka selingkuh. Lah
pacaran juga enggak, mau selingkuh dengan siapa? Pacar gue ya Irham. Enggak ada
yang lain. Tapi, pertanyaan dua teman gue, enggak bisa gue salahkan. Segala hal
bisa saja terjadi saat sepasang kekasih berjauhan. Kekasih? Apa sebatas telepon
ungkapan jatuh hati, yang gue setujui, bisa dinamakan sebagai ikatan kekasih?
Entah!
***
Satu bulan lagi, adalah waktu jatuh
tempo untuk gue dalam mencari calon suami. Sekarang, gue sedang duduk di depan
bokap-nyokap. Gue mirip tertuduh, yang harus mengatakan satu kejadian perkara.
Gue duduk menunduk. Biar pun gue garang di atas matras, gue enggak berani kalau
mengangkat wajah, dan menatap bokap terlalu lama. Dua mata bokap yang sipit,
tapi tajam itu seolah menusuk hati gue, mencungkil jawaban di sana atas
pertanyaan, “Elu sudah siap nikah apa belon?”
“Besok gue usahain.”
Jawaban gue itu sebenarnya mengapung.
Seperti gabus yang terseret ombak, dan meliku-liuk di atas ombak. Tak jelas
akan ke mana arahnya. Selama ini, gue LDR sama Irham. Dan gue belum memastikan,
apakah Irham benar-benar mau menikah dengan gue, atau?
“Elu tu kurang salat,” ralat Bokap.
Gue makin menunduk. Kurang salat?
Gue kurang salat? Apa iya?
Gue mengingat-ingat. Gue selalu
salat. Bahkan gue juga rajin mengaji. Jika ada pertandingan di mana pun, gue
pasti bawa Al-Quran. Saat teman-teman ke luar, dan jalan-jalan, gue mendaras.
Jadi, itu masih kurang?
“Salat tepat waktu. Salat taubat!”
Ya.
Kali ini gue membenarkan ucapan
Bokap. Gue memang tidak tepat waktu. Kalau masih ada latihan, gue lanjut
latihan. Gue cuek akan panggilan azan. Nanti lagi deh, begitu biasanya gue
membuat janji pada diri sendiri. Gue bahkan pernah melakukan jamak Maghrib, dan
Isya, gara-gara latihan malam di kabupaten tetangga. Bokap benar, sesekali saja
gue salat di awal waktu.
“Kami hanya bisa bantu doa.”
Nyokap menghela napas panjang. Napas
itu adalah tarikan kesabaran. Barangkali, gue ini anak yang paling merepotkan.
Usia sudah 27, tapi masih suka di lapangan. Tapi, gue ... gue berprestasi. Sial
saja gue tinggal di desa. Jadi usia ini menjadi beban buat gue yang menyabet
gelar ‘Perawan Tua’. Sial! Apa gue sial?
“Permisi. Gue ke kamar dulu.
Sebentar lagi latihan.”
Tanpa melihat, gue tahu ekspresi
melongo Bokap, dan Nyokap. Latihan lagi, dan latihan lagi. Mungkin itu yang
menjadi kekesalan mereka, walau tidak diucapkan. Sambil melipat karate-gi, gue mulai
berpikir. Nanti, di gedung KONI, gue mau telepon Nahudi Sensei. Mau tanya,
Irham serius apa enggak dengan gue.
***
Ica mengelap keringat, Isna meminum
air bening dengan napas yang tersengal-sengal. Sesekali, dia terlihat
mengaturnya, sambil menyeka keringat dengan handuk. Gue sudah terhubung dengan
Nahudi Sensei. Dua teman gue menunggu dengan setia, apa yang bakal kami
bicarakan.
“Ya ampuuun. Kenapa elu baru ngomong
sekarang sama Sensei?”
Gue menjaga jantung agar tidak
melompat. Pertanyaan Sensei tentu saja memancing pertanyaan-pertanyaan dalam
hati gue. Jadi, gue disalahkan karena LDR sama Irham. Gue salah.
Sesalah-salahnya. Gue masih diam. Sensei masih saja bicara. Dua teman gue
mendekatkan telinga ke dekat HP.
“Irham itu sudah punya anak bini!
Kena lu dikerjain!”
Lemas. []
Cakeeeep....bikini kaya giniiii
ReplyDeleteMakasiiih.
Deletewowww
ReplyDeleteWow juga ...
DeleteKeren kak 😂😂
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca ...
DeleteHahaha masyaallah endingnya...jatuh terkulai lemas 😂
ReplyDeleteWkwkwk. Pembaca harap siapin kompres.
DeleteHhhmmm....out of the box kak... Keceee...
ReplyDeleteTerima kasih. Amin.
DeleteEh ini kisah nyata apa cerpen ya? Hahahaha... aku terkesima bacanya... dr awal sampe selesai... semoga segera dipertemukan dengan jodohnya yaaa... jd ga terlalu nyesek dilangkahin 2 adik.. hikss..
ReplyDeleteKira-kira?
DeleteIni diangkat dari kisah nyata perjalanan hidup saya. Hahahaha. Kadang, untuk sedikit longgar dada, kita perlu nyeseg duluan.
Woooowww keren
ReplyDeleteWooow, mari masukannya.
DeleteBagus sih.
ReplyDeleteKegelisahan seorang kakak yang mau dilangkahi adiknya (lagi).
Tos. Kita sama. Cuman bedanya, aku nggak panik. Hahaha
1001 cara mesti gue lakuin buat ngegagalin ancaman adek gue.
Ini mestinya bisa bikin gerrr gitu ceritanya.
Ya paling nggak, sedikit lebih di gerrr in lagi.
Kalo di sini, masih keliatan ngenesnya.
Endingnya jangan cuman 'lemas' aja. Perlu kalimat lain, biar kesan konyol nguber jodohnya bisa sampe ke pembaca.
Maaf, ini pendapat pribadi. Tiap orang bisa beda-beda.
Siap. Terima kasih, Mbak Lintang untuk masukannya. Aku tercyduk dengan komen manis ini. Semoga kita sukses. Amin.
Delete