Sun Yi (Saran Seorang Teman)

Pixabay
"Ada teman suamiku. Cowok. Lagi nyari istri. Mau aku kenalin?"

Aku menoleh. 

Diam. 


Menata agar mata, bibir, dan garis-garis wajah ini tidak menyiratkan rasa terkejut. Aku sadar, wajah ini yang kata orang jika tanpa senyum lebih mirip gadis Batak, akan tampak sekali jika terpoles rasa kurang suka. Setelah yakin bahwa mimik ini normal, aku mendekati temanku. Sepatu bertumit runcing menyisakan suara nyata di sore yang mulai sepi.

"Menurut panjenengan, baiknya bagaimana?"

Bukan. Tentu saja bukan karena aku tidak memiliki pendirian. Tapi, aku coba menghargai perhatian seorang teman. Kata Bapak, "Jangan buru-buru menolak siapa yang datang dan ingin mengenalmu. Buka hati selebar-lebarnya."

Baru saja kalimat tanya itu meluncur. Tiba-tiba HP yang kuletakkan di meja berdenyar. Ada pesan masuk. Sambil menunggu jawab dari temanku itu, kubaca pesan yang masuk.

Aku di Bandung. Ini besok pulang. Boleh mampir?

Wisesa


Aku tidak mendengar lagi penjelasan temanku. Pikiran menyambar-nyambar kenangan tak karuan. Ini tahun ke sepuluh, bahkan lebih, aku belum pernah lagi bertemu Wisesa. Dia kakak sabuk, seniorku di karate. Jadi, dia di Bandung? Darimana dia tahu aku ada di Kawunganten? Siapa yang mengabari jika aku ada di kampung lahir?

"Gimana, Bu?" tanya temanku.

Agar tidak rancu, sebut saja temanku bernama Ning. Dia bertanya, bagaimana apanya, ya?

"Kira-kira?" tanyaku yang sebenarnya mencari, kalimat apa yang tadi diucapkan Ning, saat aku membaca SMS dari Wisesa.

"Bisa, ya, ketemuan? Di warung bakso besok malam?"

"Bisa."

Loh. Kok bisa sih? Padahal aku belum jelas tadi mendengar ucapan Ning. Payah.

Besok malam, aku mampir.


Weh. Kok bisa barengan begini? Siapa yang akan kutemui? Teman Ning, atau Wisesa?

"Ning, jam berapa aku bisa bertemu teman suamimu?"

"Habis isya."

Habis maghrib aku udah di rumahmu.


Antara pesan Wisesa dan jawaban dari Ning seolah berlomba. Aku memikirkan, sekarang Wisesa sudah seperti apa, ya? Apa dia masih dengan rambut rapihnya yang dulu banyak diomongin adik tingkat?Atau?

"Iya. Iya. Bisa."

Aku belum tahu. Dengan siapa besok akan bertemu teman suami Ning. Dan Wisesa? Bisa gawat kalau Wisesa malam-malam ke rumah. Bapak yang seorang sesepuh masjid kecamatan, bisa kejang-kejang lihat Wisesa. Ya. Aku memang banyak teman laki-laki di bela diri yang kujalani, tapi, tidak satu pun dari mereka yang pernah ke rumah. Aku pernah ke rumah mereka, karena letaknya dekat dengan tempat latihan di Cilacap. Tapi, tidak untuk sebaliknya.

Aku mengetik beberapa kalimat. Kususun rencana, agar bisa bertemu keduanya. Yang aku ceritakan pada Ibu hanya teman Ning. Ibu menyarankan agar aku menemuinya bersama Ayu. Ayu kebetulan adalah guru, temanku, sekaligus teman Ning. Ayu ngontrak di dekat sekolah tempatku bekerja. Aku diizinkan tidur di tempat Ayu, untuk menghindari tamu laki-laki datang ke rumah, saat malam hari.

Debaran jantung terasa lebih cepat. Aku menunggu besok, seperti anak bangau yang menunggu ibunya pulang kandang. Sangat ingin tidak ada maghrib, isya, shubuh, duha, duhur, ashar, dan maghrib. Bila bisa, waktu dipercepat, langsung jadi seusai maghrib.

ke mana doa itu pergi
debar berdebum dalam hati
tanpa kendali

salahkah harap
datang tanpa permisi
salahkah rindu
bersemayam dalam kalbu

mungkin doa sedang istirahat
dari harap-harap hamba yang bikin penat
atau ia enggan memanjat
lambungkan pinta pun tak terbilang hajat

Comments

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara