Sun Yi kadang Sendiri

pixabay

sejatinya ia tidak mengakrabi sepi
tidak pula pernah menjadwalkan diri untuk sendiri
ia bersama buku-buku di pagi hari
sapa wajah-wajah berseri
setiap hari

Sun Yi berdiri di depan cermin lemari. Retak dan tambalan perekat plastik mengingatkannya pada adik-adiknya. Dulu, saat mereka masih kecil, pintu lemari itu kerap dilempar-lempar ke dua sisi. Fungsinya adalah agar mendapatkan angin, saat cuaca panas. Dia lupa, entah lemparan siapa yang terlampau bersemangat sehingga menyebabkan kaca cermin itu tak mampu mempertahankan diri. Beruntung hanya retak, bukan pecah, kemudian jatuh.

Sekarang, Sun Yi tinggal bertiga dengan Mamak dan Bapak di rumah bambu. Tiga adiknya jauh dari tempat lahir mereka. Adik pertama sudah memiliki seorang anak. Adik keduanya baru saja mengirimkan pesan via SMS padanya, menanyakan hal yang jawabnya tak bisa dipastikan. Bukan karena putus asa, tapi Sun Yi yakin bahwa Tuhan sedang merencanakan hal baik untuknya. 

Adik keduanya tadi, bertanya kapan Sun Yi akan menikah. Jika selama satu tahun belum juga menikah, maka Sun Yi akan dilangkahi untuk kedua kali. Entah apa lagi yang akan menghangatkan ujung telinga para tetangga, jika hal itu terjadi.

Sun Yi tak pernah memikirkan terlampau lama. Yang menjadi takdirnya sudah dinikmati sejak masih baru menganjak remaja. Ketika itu, Sun Yi berpisah dengan keluarganya. Usia baru 13 tahun. Dia harus indekos, demi melanjutkan sekolah. Baginya, itu adalah takdir terpilu, meski ada harapan bahagia, karena telah menyetujui usulan Bapak, sekolah di tempat Bapak menuntut ilmu.

Sun Yi mengurut retakan kaca dari atas ke bawah. Di ujung sebelah kiri retakan paling bawah, kedua matanya berhenti di sana. Ada bunga kain woll menyelip di sana. Disumpalkan pada sela-sela antara kayu dan kaca. Itu bunga yang dibuat bersama Wisesa.Ketika mereka baru selesai latihan, ada keponakan Wisesa sedang membuat prakarya. Anak SD itu sudah demikian akrab dengan Sun Yi. Memintanya mengajari membuat bunga dari benang wol. Setelah selesai, Sun Yi dan Wisesa membuat bunga dua warna. Sebagian warna biru, dan sebagian yang lain berwarna merah. Persis warna sabuk dalam pertandingan bela diri karate.

Wisesa adalah sosok yang memintanya mengganti nama saat pertama kali ikut pertandingan karate. Dan saat ini, dia merasa aneh mengingat Wisesa. Kenapa setiap kali dia sendiri, menjeda dari kesibukan sehari-hari, ingatan selalu melesat pada Wisesa.

dipanggil perlahan
dalam sadar
dalam igauan

Comments

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara