Sun Yi (Dua Rasa Hunjam Dada)

pixabay

Butiran gerimis seperti pupuk urea yang diterbang-terbangkan tangan petani, lalu disambut angin. Begitu menyapa tangan, wajah, terasa dingin. Warung bakso memang selalu ramai. Yang datang ke sini biasanya adalah sepasang muda-mudi. Atau keluarga kecil.

Ayu masih asyik ber-SMS dengan suaminya. Aku melihat jalanan, dan tadi sempat berkelebat bayangan Wisesa. Tepat di antara butir-butir gerimis yang bertabrakan dengan air yang menyiprat, karena ada motor melewati jalan berlubang.

Segera kukerjap-kerjap mata. Sadar kembali bahwa dia tidak hadir sesuai rencana. Penglihatan ini beralih pada anak kecil yang sedang meniup-niup bakso dalam sendok. Mencoba menggigitnya, namun saat lidah menyentuh ujung bakso, dia menarik sendok sambil berkata, "Uh panas. Panas."

Sepertinya anak itu berusia empat tahun. Sama dengan usia anak dari adik pertamaku. Tanpa sengaja, terngiang ulang kalimat Mbokdhe. Kutarik dua sisi bibir ke arah berlawanan demi mengetahui maknanya.

"Jangan pilih-pilih tebu, nanti bongleng."

"Sst! Itu mereka!"

Ayu menepuk pundakku.

Mereka?


Aku mengangkat wajah. Melihat ke pintu masuk. Ada tiga orang berdiri di sana. Satu kukenal, itu adalah Ning. Dan aku tak tahu, mana yang suaminya, dan mana yang akan dikenlakan denganku. Seorang laki-laki tampak memiliki badan subur, dan satu sebaliknya. Yang satu terlihat rileks, satunya canggung. Yang canggung itu melirik ke arahku. Aku biasa saja. Tidak gugup, pun tidak merasa ada yang istimewa. Mungkin si canggung itu yang akan dikenalkan denganku.





"Duduknya langsung saja pisah!"

Aku mendengar suara Ning yang dibuat seolah menggoda. Oh. Kenapa aku datar-datar saja. Bagaimana rupa wajahku? Stabil, atau kah dingin serupa jalan yang diserbu hujan, saat ini? Hup! Kuupayakan menarik napas, dan menyapa dengan sekilat senyum.

cerita-cerita bergulir
tiada sihir
seperti laut yang tanpa gelombang
aku hanya mendengar
tak memiliki kesempatan bicara
lantas
apa yang mau dibina?

malam mulai beranjak
ia bertanya satu, dua, dan hal dalam porsi banyak
aku kurang nyaman
tidak merasa aman

lantas
apa yang mau kita bangun?

"Kalau bisa, malam Jumat besok aku ke rumah, ya? Sekalian silaturahim sama Bapak dan Ibu."

tidak ada petir
tapi sentak kalimat buat diri ingin menyingkir
bila kau pria
dekati wanita dalam porsi normal saja
terlalu memburu akan menyurutkan jiwa
dan tanpa nyali pun tidak tinggalkan kesan
kau harus paham
mana porsi serius, sedih, pun guraun
 "Kurasa ini sudah malam. Kita cukup dulu, ya, ngobrolnya? Salam untuk Bapak dan Ibu."
ngobrol?
bukankah kita bak tukang obat dan calon pembeli
di pasar pinggir?
satu seperti air mancur berisi kekata
satu diinjak
tanpa tanya
pembicaraan itu
satu arah saja

Wisesa
dan orang baru
tlah tancapkan dua rasa
dalam
hunjam
satu saat tanpa makna
saat lain berjuta makna
entah

 


Comments

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara