Alasan Kenapa Kita Harus Ramah

Pixabay

Saya masuk ke rumah makan itu bersama dua anak kecil yang bajunya mulai kusut. Maklum, mereka baru saja main perang-perangan ala super hero di rumah. Begitu masuk, saya memesan dua porsi nasi dengan lauk sangat sederhana, untuk dibawa pulang. 


"Lauknya hanya ini?" tanya mbak pelayan ketus. Dua matanya sedikit membesar, bibirnya tidak tertarik ke dua sisi, saat saya mempersembahkan bulan sabit dari bibir pun, beliau tidak bereaksi.

"Iya. Itu kesukaan anak-anak saya," saya menjawab dengan santai.

Setelah mbak pelayan warung makan itu selesai memasukkan makanan ke dalam wadah, saya kembali memesan, "Mbak tempenya delapan, ayamnya empat, paha kuahnya dua."

"Hah?"

Suaranya mbak pelayan menunjukkan rasa terkejut. Tiba-tiba senyumnya merekah, seperti ada bintang bermekaran di depan wajahnya. Eh, kok bermekaran. Beterbangan maksud saya.

"Sayurnya juga tambah ini, dan ini," imbuh saya sambil menunjuk dua wadah sayur berbeda, secara bergantian.

Wajah mbak pelayan itu semakin mendekati saat dia bertemu pujaan hati yang sudah LDR tujuh purnama. Terus, mendadak tanya ini dan itu. Saya jadi melongo.

Apakah kita baru ramah saat tahu bahwa orang yang kita sepelekan ternyata "wah" gitu?

Lah kenapa saya juga tadi pas senyum, pas ramah di awal, kudu memikirkan mbak pelayan yang tidak membalas keramahan saya?

Kenapa juga begitu detail memperhatikan wajahnya, dan apakah wajah saya sudah cukup ramah baginya?

Jangan-jangan karena saya merasa ramah, ternyata oleh mbak tadi masih terasa kurang ramah?
Wajah yang sering ditafsirkan sebagai sangat serius ini, agaknya juga butuh sering-sering bersapa dengan bayangan dalam cermin. Butuh sering tersenyum, agar bekas-bekas kekerasan hidup, serta dosa yang saya lalui tidak ditimpakan pada orang yang saya temui. Dengan menampakkan wajah dingin bak aktris dalam adegan yang sadis.

Paling enak memang kerja di balik laptop dengan system online. Kita bisa mengatur komentar agar tetap wajar, meski hati sedang tidak menentu. Saat tidak memungkinkan memberi tanggapan, baik, kita juga bisa memilih menghindarinya beberapa waktu, dan kembali saat suasana hati kembali normal.

Jadi, kalau dunia maya malah jadi bahan olok-olok, gurauan saja, tanpa adanya aturan yang kita buat sendiri, bisa jauh lebih gawat dari dunia nyata.

Untuk bisa ramah pada semua orang, kita tak perlu mengharapkan keramahan serupa.

Jadinya, alasan untuk ramah sebenarnya juga kembali pada diri sendiri, misalnya, 

1. Karena hal itu akan membuat hati kita nyaman dan wajar. 
2. Senyum itu sedekah, dan sedekah bakal kembali pada kita dengan berlipat.
3. Terapi (serupa saya yang beraura sangat serius) agar bisa lebih santai.
4. Menjaga hubungan baik dengan orang lain, sekaligus dengan pencipta-Nya.

Jika masih ada alasan lain, bisa bagi di kolom komentar, ya ...

#ODOP
#BloggerMuslimah

Comments