Perseteruan Wangi di Pagi Hari



pixabay


Satu wangi tecium dari arah selatan menuju utara, mengikuti angin berembus, kemudian berhenti di atas sawah. Tepat di atas daun-daun padi yang masih hijau.

“Aku adalah wangi yang paling semerbak. Harumku akan menyelubungi desa ini, setiap pagi,” lirihnya.


Ia berdiam di sana untuk beberapa saat, menolak angin saat mengajaknya terus melaju ke utara. Ia yakin, akan menyembar ke delapan arah mata angin, untuk mencumbui cuping-cuping hidung manusia yang masih terbuai dalam mimpi.

“Ih. Aku paling tidak suka dengan wangi sabun ini!” kata seorang bapak bercaping, sambil mengipas-ngipaskan tapak tangan di depan hidung. Wangi sabun mandi membelalak. Ia lah yang ada di atas daun-daun padi tadi. Tanpa menunggu lama, ia bangkit, mendekati orang yang menghinanya tadi, dan memutarinya dengan kencang.

Wangi sabun mandi baru saja mendengar, ada orang yang tidak berkenan dengan harumnya. Lalu, bagaimana jika ia akan mewangikan seluruh desa ini? Bagaimana hatinya bisa rela dihina lebih dari satu orang, misalnya ada? Pikiran wangi sabun mandi menadi kacau, dia hampir lupa, harumnya tidak lah bisa bertahan lama. Ia melemah, dan saat angin mengajaknya pergi, ia tak bisa lagi menolak. Wangi sabun mandi semakin ringkih. Terbang, dan lenyap bersama angin yang melenggak-lenggok ke arah utara.

Sebelumnya, ketika kedua mata wangi sabun mandi mulai memejam, ia mencium wangi lain. Wangi bunga putih kecil, bukan. Itu bukan bunga asli. Namun, parfum yang entah siapa pemakainya, sisa wanginya mengalahkan wangi sabun mandi yang terus berkurang semerbaknya.

Wangi parfum melati sempat melihat wangi sabun mandi. Ia juga mencibir, “Wangi yang lemah memang sebaiknya lenyap!”

Wangi sabun mandi membalas cibiran itu keras-keras. Sayang, hanya dalam hati. Sekencang apa pun ia berteriak, tak terdengar oleh wangi parfum melati. Dua wangi itu berpisah dalam keadaan saling merasa ‘paling’. Ya. Paling wangi.

Wangi parfum melati menari menuju selatan. Angin telah mengabarkan bahwa wangi sabun mandi benar-benar sudah lenyap. Kini, wangi parfum melati mengaku akan mengharumkan seluruh desa. Sama persis dengan apa yang dilakukan wangi sabun mandi.

Hatsih! Hatsih!! Hatsih!!!

Seorang ibu bersin-bersin. Wangi parfum melati berhenti dan mengamatinya.

“Aku tidak suka wangi parfum ini! Setiap kali, hidung ini gatal jika menyiumnya!”

Wangi parfum melati terisak. Tak pernah menyangka, ternyata seorang ibu berparas cantik saja tidak menyukai wanginya. Hanya orang yang tadi menyemprotkannya lah, yang menyukai wanginya. Harapan untuk mewangikan desa pun tersingkir. Dia pasrah saat gerimis membasahi, dan angin menghalaunya ke arah barat. Makin lama, wanginya makin tipis. Dan lenyap sama sekali bersama hadirnya wangi lain.

Wangi kopi. Wangi kopi ini berasal dari seduhan orang-orang yang duduk di kursi rumah-rumah desa. Setiap pagi, berteman singkong atau ubi rebus, wangi kopi menguar memenuhi udara rumah itu. Menelusup pergi bersama angin dan membumbung terbang ke arah mana saja angin membawanya.

Kali itu, tiga wangi bertemu. Wangi sabun mandi baru, wangi parfum melati baru, dan wangi kopi. Dua wangi pertama, saat bertemu sudah saling sinis. Mungkin mereka menuruni wangi lama. Wangi sebelumnya. Wangi kopi menghina kedua wangi dengan kata-kata yang lebih pedas.

“Wangi yang tidak berguna, sebaiknya menyingkir dari desa ini! Tak perlu lama-lama singgah!”

Dua wangi saling pandang. 

“Kenapa bukan kau saja yang enyah?” tanya wangi parfum melati baru.

“Iya. Kenapa?” tanya wangi sabun mandi baru.

Ketiga wangi berseteru. Masing-masing merasa paling pantas mengharumkan desa. Dan ketiganya tidak sadar, saat ini sedang adan di halaman rumah mungil. Rumah yang penuh dengan tanaman. Samping kanan rumah itu dipenuhi palawija, belakang rumah penuh dengan tanaman obat, dan samping kirinya penuh aneka bunga. Melati, mawar, kenanga, dan sedap malam. Yang sedang mekar saat itu adalah melati.

Ketiga wangi mencium aroma wangi baru. Wangi melati. Mereka melihat ke bawah, beberapa kelopak melati tersenyum ramah.

“Kalian mau ke mana? Kenapa wajah kalian ditekuk?” tanyanya dengan riang.

Tak ada yang menjawab. Semua menghirup wangi melati asli, dalam-dalam.

“Kenapa kau tetap di sini?” tanya wangi kopi.
“Kau sangat wangi, apa tidak ingin pergi dan mengharumkan desa?” tanya wangi sabun mandi baru.
“Iya!” sahut wangi parfum melati baru.

“Aku hanya mengikuti perintah Tuhanku. Wangi disaat Dia berkehendak. Mewangikan siapa saja berdasar embusan angin. Aku rela tetap ada di sini.”

Tiga wangi menunduk malu. Ada dentuman rasa yang menyesaki dada mereka. Dan sebentar kemudian, harum tiga wangi makin menipis. Tipis. Tipis. Lenyap.
[] Pondok Cahaya, Yk, Juni 2017

Comments