Ketika Nabi 'Yahya As' Menegur Saya


gambar dari pixabay



“Dek, besok saya mau bawa pulang kucing. Dua,” kata suami entah tanggal berapa saat itu.
Saya diam.
“Itu kucing keturunan antara kucing kampung dan kucing Persia,” lanjutnya menyusul berita  pertama.
“Nanti beli kandang.”
Saya masih diam.
“Kucing keturunan itu kan pipis dan BAB nya di pasir. Jadi enggak ke mana-mana.”
Pikiran saya mulai menyusun huruf-huruf.
“Nanti tidur di dalam rumah? Bau dong?” tanya saya kurang ramah (wkwkwkwk).

Jadi, saya juga punya nih ya, masa lalu yang seru bersama para kucing. Tapi itu kucing kampung. Binatang yang tidak diizinkan orangtua saya untuk tidur di dalam rumah. Kalau di dapur boleh. Lalu, kalau pup juga disarankan di luar. Tapi lah wong namanya kucing, mana mau menerima saran. Hehe. Paling juga pada saat dia sudah mengejan, lalu ada yang tahu, segera lah terdengar, “Hush! Hush! Jangan di situ!” kucing pun lari mencari tempat pup yang lain.

Kalau ingat, saya merasa kejam juga. Coba bayangin, pas kita sedang mau pup, terus disuruh pindah. Entah apa yang terjadi pada perut dan suasana hati.

Nah, ini kucing yang direncanakan akan menjadi penghuni baru tempat tinggal kami, katanya bebas. Dia punya kandang, tapi kalau malam bisa bobok bareng dengan yang punya rumah. Huh-hah! Saya ini kok agak gimana gitu dengan bulu kucing. Saat itu, saya sampai mikir, apa gini cara menambah anggota keluarga baru? Bukan dengan melahirkan anak baru, tapi memboyong kucing baru.

Hari yang direncanakan tiba. Suami benar-benar membawa dua kucing mungil. Wajahnya lucu-lucu, saya sampai memberi mereka nama (meski belum luluh hati untuk menggendong. Ih. Geli). Satu Miu Kunil, satu lagi Miu Gude. Bersyukur ketika akhirnya si Gude diadopsi oleh cucu seorang dokter. Saya lega, kucing berkurang satu.

Anak-anak saya sangat menyayangi mereka. Saya yang masih terus ceriwis, “Cuci tangan dulu. Aduh, enggak gendong deh, kamu pilek. Tanganmu habis pegang Miu, kan?” dan pertanyaan serta larangan lain, yang sangat lancar meluncur dari mulut saya.

Seiring berlalunya hari, Miu yang warnanya oranye dan putih itu makin besar. Badannya bongsor karena doyan makan. Kalau tidur siang bisa lamaaa. Terus, kalau sedang pulas, dicari dan dipanggil juga tetap bobok.

Apa hubungannya dengan Nabi Yahya AS?

Ceritanya, saya membaca kisah Nabi Yahya As.
Nabi Yahya As berbeda dengan anak-anak lain. Saat itu, anak-anak senang menyiksa binatang. Nabi Yahya As. sebaliknya, dia sangat menyayangi binatang. Nabi Yahya As. memberi makan burung-burung. Kadang, makanannya diberikan pada binatang, dan beliau makan daun-daunan. Juga buah-buahan.
Secara tidak langsung, kasih sayang Nabi Yahya As kepada binatang, menegur sikap saya terhadap Miu. Sayang saya masih nanggung.
Oh, ya. Saya memberi tanda petik satu di kata Yahya As dalam judul, adalah karena ada kata lain yang tersembunyi. Yaitu kata ‘cerita’. Jadi bukan teguran langsung, ya?

Sampai saat ini pun saya masih hati-hati. Dan belum berani nguwel-uwel. Geli. Paling kalau dia lapar, atau pingin ke luar, saya turuti. Kadang, dia juga mirip anak-anak. Pas saya salat, sajadah ditarik-tariknya sampai bubar barisan. Kalau dirasa-rasa, Miu lucu juga. Ah! Yang belum saya berani lakukan adalah memandikannya. Anak-anak sudah paham jika saya agak hati-hati pada Miu. Mereka sering membopong, menjauh jika saya sedang asyik berbaring, lalu Miu melompat menghampiri.

Saya berusaha untuk benar-benar bisa menerima Miu, sepenuhnya. Ganbatte

 

Tulisan ini diikutkan dalam #NulisRandom2017 yang diadakan Nulis Buku.

Pondok Cahaya, 02 Juni 2017

Comments