Bukan Hikayat Mazaya

Sumber


Dua puluh Sembilan tahun dan belum menikah? Mungkin suatu hal yang lumrah kalau dia adalah seorang laki-laki. Mazaya adalah gadis desa yang hidup di lingkungan penduduk yang mayoritas tak sekolah. Kalaupun sekolah mereka hanya lulus SD, atau belum lulus sudah menikah. Demikian juga anak gadis mereka. Sudah menikah begitu lulus SMP, bahkan lulus SD. Mayoritas masyarakatnya adalah petani. Dan ngerumpi setelah usai aktifitas adalah sebuah kebiasaan yang tidak hanya dilakukan kaum hawa, hal tersebut dapat dilakukan di sawah, di sepanjang jalan serta di warung-warung ketika berbelanja.

***

Burung-burung kecil bercanda dengan kicauan yang riang diatas kabel-kabel lisrik yang memanjang sepanjang tepi jalan. titik-tiik embun yang berkilauan ketika disapa sinar mentari rela jatuh ketanah ketika kaki mungil siburung kecil menjadikannya sebagai lintasan. Udara sejuk menyapa langkah Mazaya yang berjalan kaki menuju tempatnya mengabdi. Setengah tuju pagi. Di sebelah barat jalan raya antar desa, gedung bercat putih bertuliskan ‘Perpustakaan’ sudah menanti.
                *** 
               
1. Proses pertama. 

Perempuan itu dipilih,ya memang benar, tapi bukan berarti dia terkebiri untuk tidak dapat menentukan pilihan.

"Jangan terlalu pilih-pilih nanti dapat yang tidak baik”
Demikian teman sekantornya mengawali perbincangan dengan opini yang sedikit membakar.

"Seharusnya bagaimana, Bu?” 
Mazaya membetulkan letak kacamatanya serta mendekati sosok yang dipanggil Bu itu. Jemarinya masih asik menginput data catalog ke data base dikomputer.
                 
“Mau gak kukenalkan dengan temanku?”
Oh, rupanya kalimat awal yang sedikit dibuat memanasi itu memiliki tujuan pada tanya yang ini. Mazaya tersenyum, dia gadis yang supel sehingga pintu hati sudah dibuka selebarnya tanpa mengabaikan kata seleksi yang tak harus tersurat.

***

Sehari setelah pertemuan Mazaya dengan orang yang sedikit gugup ketika berbicara yang dikenalkan teman sekantornya, dia terkena Typus. Direlakannya Sembilan hari terbaring berteman do’a dengan slide bermacam cerita didalam dada.

Apakah pantas diucapkan dengan bahasa verbal hal yang memukul hati jika hal itu hanya akan melukai?. Tidak! Cukup katakan’terimakasih, kurasa belum saatnya’. Kalimat sederhana yang dipilih dengan pertimbangan hati tidak akan menyakiti.kehalusannya akan membuat yang mendengar tegar. Itu yang dilakukan Mazaya ketika orang yang bicara gugup ingin melanjutkan ke tahap yang lebih.

***

2. Proses kedua.
Perpustakaan sepi tidak seperti biasanya. Di luar gerimis dan waktu belajar siswa hanya sampai jam istirahat pertama. Mazaya berdiri didepan jendela bercat krem lalu pandangannya tertuju pada sederetan pohon kelapa yang berbaris diatas gedung sebelah. Angin menggoyangkannya kekanan dan ke kiri yang membuat cipratan air seperti kembang api bening, sebening hati yang bersenandung dalam tasbih bersama eloknya alam dikala gerimis. Bisik lirih yang hanya dapat didengar Tuhannya bertanya ‘kapan sosok teman sejati datang untuk hamba’.
            
"Tolong jangan bilang-bilang aku yang kasihtahu ya?” Pak Mafa terlihat serius meminta pada Mazaya untuk menyembunyikan identitasnya pada keponakan yang akan dipertemukan dengannya. Menurut Pak Mafa, Mazaya pantas untuk keponakannya. Katanya dia seorang guru disebuah madrasah.
  
Pertemuanpun direncanakan, waktu dan tempat telah ditetapkan.

"Haaah… Mahardika???” 
Mazaya buru-buru menutup mulutnya dan memastikan tidak ada kata-kata lain yang keluar kurang tertata.
             
“Mazaya???”.sama-sama terkejut rupanya. Jelas banget mereka sudah saling kenal, mereka itu satu organisasi di Karang Taruna. Mahardika Ketuanya dan Mazaya bidang Olahraga ditambah lagi orangtua mereka adalah teman masa kecil.
             
Mazaya tahu pasti kondisi Mahardika, usai rapat dua minggu sebelum pertemuan itu Mahardika pernah bercerita tentang niatnya melamar seorang teman SMA nya.oh, rupanya Pak Mafa ketinggalan berita sehingga Beliau belum tahu status keponakannya.
             
“Bagaimana perkembangan teman SMA itu?”. Mazaya bertanya untuk mencairkan suasana.
         
“Tanggal setengah bulan depan kami bertunangan”. Mazaya mengucap hamdalah. Hati kecilnya kembali bersuara, suara yang hanya didengar oleh Tuhannya. Suara yang sama ketika tahu bahwa sosok demi sosok bukanlah pilihan-Nya, bukan pilihan-Nya berari bukan untuknya jua.

***
             
3. (Bukan) Proses ketiga. 

“Silahkan diminum, Pak…." Mazaya meletakkan secangkir teh manis dan tiga toples aneka biscuit diatas meja ruang tamu rumahnya. Dia segera masuk setelah mamah datang. Katanya tamu tersebut adalah teman Almarhum Bapak yang akan mengembalikan sejumlah uang yang dipinjamnya ketika Bapak masih hidup.
             
Tamu itulah orangnya yang bicara sedikit sembrono kepada Bapak.            
            
"Kalau belum punya istri aku mau menikah dengan anakmu." Astaghfirulloh. Mazaya istighftar lalu berusaha menjaga sikap tiap kali bertemu orang itu di balai desa.
***
            
4. Proses keempat.

 Dosen mata kuliah Bahan rujukan menawarkan adik temannya pada Mazaya.
             
“Ya dicoba, kami menjebatani namun selanjutnya kalian jalan sendiri”. Kalimat Bu Dosen terdengar bijak.
             
Orang-orang yang berdiri di tepi jalan mengarahkan pandangan pada BMW merah yang belok kea rah rumah Mazaya. Ibu-ibu yang sedang berkerumun diwarung serentak keluar untuk melakukan hal yang sama. Wajah-wajah mereka mengisyaratkan sebuah tanya yang sama, tanya yang bukan merupakan urusan mereka sebenarnya. apa maksud kedatangan BMW merah ke rumah ‘perawan tua’, demikian julukan untuk Mazaya yang kurang enak didengar ketika mereka berkelakar.
           
Namanya Aan, usianya empat puluh tiga tahun. Mereka saling tukar nomor hape. Entahlah, keduanya bertingkah sama seperti menunggu perintah.
            
Sehari… seminggu… sebulan. Tidak ada komunikasi diantara mereka. Mungkin memang bukan sosok ini juga yang dinanti.

***
             
5. Proses keempat (dari banyak proses yang masih ingat).

Ada seseorang yang dikenal Mazaya lewat dumay, dunia maya. Seorang yang dianggap biasa namun Mazaya intens berkomunikasi dengannya. Termasuk tentang sosok demi sosok yang datang silih berganti yang dicari dan mencari Mazaya.

Tiba-tiba saja dia berbicara sangat serius yang membius keterpanaan Mazaya. Sosok yang ini akan datang kerumahnya dari Jogja, orang Madura, seorang Guru. Mereka memang belum pernah bertemu.

Dipandangnya langit sore yang mulai jingga ketika semburat mega menjemput senja.
           
Tuhanku…
Jika Kau ijinkan  dialah yang akan bersama untuk menengadah ke langit itu
lunakkanlah hatiku untuk ikhlas menerima
Jika dia yang dapat menguntai harapan yang tertunda
maka senantiasakanlah sirami syukur yang tak terukur.

***

Enam bulan setelah perkenalan, satu bulan setelah mereka bertemu Mazaya diKhitbah lalu bulan berikutnya mereka ahirnya menikah.

Comments

  1. Ide cerita dan isinya bagus mba, tapi kok di blog tulisannya jadi agak kacau ya? Hehe spasi dan lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih masukannya. Sudah saya rapikan. :)

      Delete
  2. Menarik mba ceritanya. Ngerasain banget beeberapa adegan dalam cerita di atas. Terwalilkan lah ya kegalauan para jomblo macam saya. Hehe...

    ReplyDelete
  3. Menarik mba ceritanya. Ngerasain banget beeberapa adegan dalam cerita di atas. Terwalilkan lah ya kegalauan para jomblo macam saya. Hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe. Maaf, tadi berantakan banget. Keburu posting, belum sempat lihat isi. :)

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara