Bantu Aku Mengeja Ayat-ayat-Nya

Sumber


Kenapa Surga ada di telapak kaki Ibu?

Nak, Ummi masih ingat dengan baik bagaimana kakakmu dilahirkan. Dua tahun lalu. Hari ini, sepertinya kamu akan lahir. Perut Ummi sudah mulas.  Sebentar ya, Nak. Kita tunggu Abi dan Kakakmu bersiap. Lihatlah! Mereka datang. Berkali-kali aku mengusap perut saat mulas, kontraksi. Aku bicara dengan calon anak dalam perutku. 
Maisan, anak sulungku masih terlelap. Pukul sepuluh malam. saat suamiku memapah tubuh montoknya, Maisan pun masih memejamkan mata.
“Pakaian ganti sudah siap, Dik?” tanya suamiku sambil mengangkat tas travel hitam, isinya sudah kusiapkan sejak dua minggu lalu.
“Maisan di pakaiin sandal, Bi. Kasihan,” pintaku sambil menahan mulas.
“Hanya sebentar, ngantar panjenengan lalu pulang dulu,” jawab suamiku ringan. Aku naik ke atas motor. Maisan didudukkan di atas tas travel, di depan suamiku.
“Pelan-pelan saja, Bi. Jalannya rusak,” pintaku mengingatkan suami. Maisan pun bangun. Dia bertanya, “Mau ke mana, Bi?” suamiku tak menjawab. “Adik mau lahir, Kak,” jawabku menaikkan nada suara.
***
Lima menit berlalu.
Aku turun dari motor. Visual berusaha mencari sosok yang biasa memeriksa kehamilanku. Tak kutemui. Klinik bersalin sepi. masih ada dua orang ibu periksa. Satu ibu dengan menggendong bayi merah, satunya lagi membawa anak seusia Maisan. Mungkin jarak usia seperti dua anak itu jika anakku lahir nanti.
“Bagaimana, Ibu? Sudah mulas-mulas?” tanya seorang gadis yang sedang praktek. Aku tahu dari seragam dan ID card yang dikenakannya.
“Iya, Mbak. Saya sudah merasa terganggu. Sesuai saran Dokter, kalau sudah tidak nyaman ya periksa,” jawabku meringis. Mulas lagi.
“Kami cek dulu, ya?” aku tak menjawab. Hanya mengangguk, mengikuti mahasiswa praktek itu ke dalam kamar periksa. Di sana sudah ada seorang bidan menunggu.
Bidan itu memakai sarung tangan karet berwarna putih. Membalurkan cairan Povidone Iodine. Aku paling risih dengan ini. Saat dua atau entah berapa jari memeriksa jalan lahir.
“Baru bukaan dua, Bu,” kata bidan membuatku kecewa. Terakhir periksa, lima jam sebelumnya sudah bukaan satu. Katanya, seorang yang mau melahirkan boleh mengejan ketika bukaan sepuluh. Delapan bukaan lagi anak dalam kandunganku baru bisa lahir.
Aku duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu klinik. Maisan pulas di samping abinya, tanpa alas kaki. Jaket kuningnya terlihat sudah pas dibadan. Mungkin sebentar lagi enggak muat. Dua kancing atasnya terlepas. Aku mendekat, memasukkan kancing mungil pada lubangnnya.
Dua tahun lalu. Anak sulungku lahir setelah enam hari aku diprediksi bukaan satu. Bayiku Maisan, lahir tanpa menangis. Kulitnya seperti mengelupas, pucat. Tangisnya baru terdengar saat suster menepuknya.
“Bagaimana, Dik? Mau tunggu di sini atau di rumah?” tanya suamiku. Dia membiarkan aku memilih.
“Di sini saja, Kak. Rasanya sudah enggak karuan,” jawabku, lagi-lagi sambil meringis, mulas.
Klinik benar benar sepi. Tidak ada orang datang untuk periksa lagi. Aku berganti posisi, duduk-berdiri-berjalan, berhenti menahan kontraksi. Atur nafas, fyuh. Keringat mulai keluar dari kening. Sabar ya, Nak, kita kerjasama agar kamu bisa keluar melalui jalan normal, lirihku pada anak dalam kandungan.
Pukul setengah dua belas malam.
Perutku mulas lagi. Bidan yang jaga memeriksa jalan lahir lagi. Kali ini aku banyak bicara. Rasa mulas semakin menjadi.
“Halah, baru juga bukaan dua, Bu. Sudah pernah melahirkan belum?” tanya sinis bidan itu.
“Sudah. Ini anak kedua,” jawabku menahan nyeri.
Mungkin kondisiku tidak wajar, datang lah bidan lain yang berbadan besar.
“Bagaimana? Sudah siap melahirkan?” tanya anehnya.
“Ya siap. Kalau enggak siap kenapa saya harus di sini,” jawabku mulai kesal. Bidan berbadan besar mendekat. Oh ya Allah. Dia akan memeriksaku lagi. Kali ini lebih kasar dan ada nada kurang sopan. Dalam hati aku membathin, Aku tidak akan pernah periksa di sini lagi.
“Sebaiknya saya buat surat rujukan ke rumah sakit,” kata bidan lain terdengar lebih bijak. Aku pasrah.
Kulirik Maisan, bergerak-gerak di kursinya. Mungkin banyak nyamuk. Aku merasa kasihan. Pikiran terbagi antara mau melahirkan dan rasa tidak tega pada anak pertama.
Mobil yang akan membawaku ke rumah sakit datang. Aku naik, maisan duduk di sampingku. Duh Allah, terlalu kecil untuk kuceritakan padanya perihal adiknya ini. Kecuali meminta agar dia berdo’a supaya adik terlahir selamat dan sehat.
Kuusap-usap kepala gundulnya. Sekecil ini dan akan punya adik. Terkadang ada berontak sesal kenapa harus hamil, melahirkan lagi. Semua sudah ditetapkan. Semua sudah ditakar-Nya.
“Sudah sampai, ayo turun, Dik?” pinta suamiku. Lamunanku berpencar. Mulas kembali menyapa perutku. Ya Allah, percepatlah kelahiran anakku ini, do’aku merintih.
***
Aku dan suamiku masuk ruang bersalin. Maisan ditemani dua anak panti di luar. Ya Rabb, untuk pertama kalinya anakku tidur di rumah sakit dan itu di luar. Pada lorong bangsal, di atas kursi kayu.
Mulas terus datang. Bukaan belum bertambah. Dua tiga orang ibu datang dengan mudahnya melahirkan. Aku masih menahan nyeri yang tak terlukiskan. Keputusan dari pihak dokter akhirnya aku dipacu. Seperti infusf, ada cairan yang menggantung di atas tiang, di sebelah ranjang bersalin.
“Kak, aku sudah enggak tahan. Sakit sekali. Lebih sakit dari waktu melahirkan Maisan,” keluhku pada suami. Dia hanya menyuruhku banyak istighfar. Ketika rasa sakit kian bertambah, aku minta pada bidan untuk mengecek. Sudah bukaan berapa? Ternyata belum sampai bukaan sepuluh. Waktu terasa sangat lama, mulas dan sakit mulai bercampur. Aku mulai berteriak tidak jelas.
“Suster. Sudah, tolong saya dibius saja. Rasanya sakit sekali,” pintaku setengah putus asa.
“Ibu, jangan begitu. Kalau bisa melahirkan normal kenapa harus dibius. Saya sudah pernah melahirkan normal dan cesar. Dua-duanya sangat berbeda. Tetap enak melahrkan normal. Ayo, baca Alfatihah,” bujuk bidan inti yang bertanggung jawab akan persalinanku.
Aku membaca Alfatihah. Berteriak dan mulai curi-curi mengejan. Aksiku jelas diketahui semua yang mendengar. Suamiku geleng-geleng. Dia kewalahan mengingatkanku. Ya Allah, aku ingat dengan baik dalam sadar. Sampai kapan sakit ini berakhir? Tanya bathinku.
“Hwa …a! Sakit, sudah bisa mengejan belum, Bu?” tanyaku mulai tidak tenang. Seorang bidan menawarkan makan. Aku sudah tidak peduli dengan makan sejak dua belas jam lalu. hanya minum madu yang dicampur air dan sari kurma. Aku kuat jika hanya untuk mengejan, demikian pikirku.
Aku mengejan lagi. Suamiku memperingatkan. Tiba-tiba sosok pendiam itu terlihat menyebalkan. Aku sakit, mana dia bisa merasakan? Hardik hati.
“Tunggu sebentar, Ibu,” bidan inti memeriksa jalan lahir. Dia tersenyum. Siap-siap mengejan, ya?” aku dengar suara gunting beradu dengan baskom stenlis. Ah, bila suara itu ada, artinya aku sudah benar-benar bisa mengejan.
Suamiku ikut menyemangati. Hanya dalam waktu sangat singkat, tiga kali tarikan nafas. Bayi merah montok keluar dari rahimku. Airmata mengalir deras beradu dengan derasnya keringat. Allohu Akbar, ampuni hamba yang tadi tidak sabar.
“Selamat ya, Bu? Akhirnya bayi Ibu keluar. Nah, kalau sabar pasti bisa, bukan? Saya mohon maaf telah lancing menceramahi tadi,” ucap bidan inti padaku dengan senyum yang terlihat sangat senang. Aku merasa malu dengan tingkahku sebelum bayi keluar.
“Saya juga mohon maaf, Bu. Terima kasih sudah membantu saya melahirkan,” jawabku sambil mengimbangi senyumnya. Pagi mulai menghangat. Cahaya mata hari yang tidak dapat masuk dapat kurasakan.
“Ibu, bayinya saya timbang dulu,” ujar sosok ramah mengambil bayi merahku.
“Empat kilo, Bu.” Ya Allah, luar biasa. Hanya keagunganMu yang mampu menolong hamba mengeluarkan bayi sebesar ini.
“Panjangnya 53 cm, Bu,” lanjutnya. Aku kembali bertakbir. Posturku hanya 153 cm dengan berat badan 75 kg. Subhanallah, ternyata menjadi ibu butuh perjuangan, antara hidup dan mati saat melahirkan. Aku baru saja merasakan, kedua kalinya.
Suamiku sibuk menyeka keringat. Aku teringat Maisan. Mata kembali jebol oleh bulir-bulir bening yang tak tahan. Anak sulungku, apa khabar?
.Badanku mulai dibersihkan. Luka bersalin pun dijahit. Nafsu makan mulai menyapa. Dengan sigap suamiku menyuapkan makan. aku berhenti makan, rasa  ingin melihat Maisan menahan lahapku.
“Aku ambil Maisan dulu ya, Dik?” tanya dan pinta suamiku seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Iya, Kak,” jawabku sambil membelai bayi merah di atas dada. Dia tampak pulas dan lelah. Oh, anakku mari berjuang bersama untuk dapat membaca ayat-ayat Allah. Baik qauliyah[1] maupun kauniyah.[2]
***

Maisan di gendong abinya. Mereka masuk hampir tanpa suara.
“Ini adikmu, Maisan. Dia sudah keluar,” kata suamiku sambil menurunkan dari gendongan. Maisan duduk di tepi ranjang. Dia menunjuk pipi adiknya, tersenyum sambil sesekali menoleh ke arahku.
“Enggak apa-apa,” lirihku menjawab tanya sorot matanya. Dia mengusap pipi adiknya. Haru menyeruak dari bilik hatiku. Dua anak siap membimbingku mengkaji ayat-ayatMu.
Anak-anakku. Lihat lah kerapuhan ummi kalian. Perjuangan panjang akan Ummi upayakan hingga kau dewasa. Bahkan bila bisa hingga kau begitu dalam tenggelam dalam rahmat-Nya. Menikah, memiliki anak dan bahagia. Saleh benar-benar keinginan Ummi yang utama.
“Mau makan lagi apa enggak, Dik? Saya tak keluar cari makan buat Maisan dan anak-anak,” tanya suamiku. Aku hanya mengangguk.
“Nasi padang ya, Kak?” pintaku singkat.
“Ok. Maisan mau di sini apa ikut Abi?” tanya suamiku pada anak montokku.
“Ikut Abi saja lah,” jawabnya menggemaskan.
Mataku terasa berat. Ingin kubayar lelah dengan istirahat. Suara bidan, perawat dan mahasiswa yang praktek mulai sayu kudengar. Beberapa kali aku menahan menguap. Kulirik bayiku yang pulas. Suara-suara mulai kabur. Aku tertidur.
***
Satu tahun berlalu.
Maisan dan adiknya sudah mulai bisa berkomunikasi, dengan bahasa mereka. Keseruan mengasuh mereka terkadang membuatku lelah. Sesekali kuingat kenangan saat melahirkan untuk membangkitkan semangat. Mengasuh dua batita, kakak beradik dengan jarak usia hanya terpaut dua puluh tiga bulan.
“Kak, saya butuh bantuan. Maisan kalau bisa disekolahkan. Kadang saya masih tersulut amarah bila lelah. Saya butuh partner untuk membesarkan mereka. Sungguh,” pintaku suatu hari pada suami. Dia terlihat terkejut.
“Ya, satu atau dua tahun lagi,” jawabnya.
Mungkin ini lah kelemahanku. Saat repot dan ada saja tingkah anak-anak yang penuh kejutan. Bila dalam kondisi segar, semua menyenangkan. Bila lelah, kadang ingin sekali istirahat, satu atau dua jam tanpa mereka.
Duh Allah. Mereka amanahMu. Beri lah hambaMu kekuatan, ketabahan, keikhlasan menjalani peran ini. Tambahkan lah kekuatan itu seiring bertambahnya coba dariMu.

Sekarang, hamba paham alasan Surga ada di telapak kaki ibu.

Comments