Aroma Teh Melati Pembangkit Kenangan

Koleksi Pribadi

Pagi masih ranum, ketika beberapa kendaraan melintas di depan jalan panti asuhan. Saya dan beberapa anak panti asuhan, juga anak sendiri, ikut naik gran max yang disetir oleh suami. Kendaraan putih ini adalah inventaris panti asuhan. Ke mana-mana, anak-anak panti memakainya. Tentu saja kapasitas tidak bisa lebih dari 22 anak. Padahal, ada 55 anak panti di sini. Dan pagi yang ranum itu menyisakan sekitar sembilan anak, lainnya sudah ikut bus, jadi kami tidak terlampau berdesakan. Kami siap menuju lapangan Kids Fun untuk salat Iedul Fitri.

Angin berhembus, bergairah seperti gadis yang baru bertemu ibunya. Telinga ini mendengar deru pesawat terbang, dan hati dipenuhi takbir. Lafaz yang juga mengalir dari lisan ini. Sepanjang jalan, saya melihat pohon-pohon di tepinya yang seolah berkejaran. Semakin cepat mobil melaju, makin cepat pula pohon-pohon itu saling kejar.

Aneka macam parfum menyapa cuping hidung. Ada satu parfum yang sempat memberi kabar pada pikiran, parfum yang saya pakai sebelum menikah. Aroma teh melati. Aroma ini lah yang membawa saya berkelana ke dua tempat. Tempat lahir saya, dan tempat lahir suami. 

Di tempat lahir saya, sudah tidak ada rumah memori. Rumah yang menyimpan rahim-rahim cerita anak-anak mamak. Cerita masa kanak-kanak yang sebagian besar masih tertata rapi dalam ingatan.

Di tempat itu pula, melalui media wattsap, saya tahu, Paklik, Bulik, dan sanak saudara sudah mudik. Berkumpul dengan mereka. Ah. Apalagi, ketika foto hidangan-hidangan buka puasa di suatu hari, juga melintasi ingatan ini. Selama aroma teh melati masih saya hirup, selama itu pula kenangan-kenangan terburai, satu per satu.

Mamak pernah membuatkan saya segelas teh pekat hitam. Teh melati juga. Saat itu, saya sudah tidak bisa mengitung lagi jumlah bilangan bolak-balik ke kamar kecil. Kata beliau, teh pahit bisa menghentingkan, ata setidaknya mengurangi kadar bolak-baliknya saya ke kamar kecil. Resep itu juga yang kadang saya praktekkan untuk anak-anak saya bila mereka diare.
Aroma teh melati biasa ada saat lebaran. Dari banyak rumah-rumah sederhana, yang wanginya menguar, menelusup melalui celah rumah-rumah mereka. Wangi-wangi itu mungkin saja bertemu, saling sapa, dan mengucapakan, "Ngaturaken Sugeng Riyadi." Pada tiap Iedul Fitri. Bisa saja, wangi itu tidak sama persis, namun di hidung kami, manusia, wanginya menenangkan, dan menyenangkan. 


Di tempat lahir suami, ada sosok senja yang sendirian. Ketika suami dan anak-anak saya berkomunikasi via telepon, beliau sudah menjawab dengan hal yang tidak nyambung. Misalnya jika ditanya, "Sekarang sedang apa?" maka jawabnya bisa jadi, "Maisal sedang apa?" Dua orang yang berkomunikasi via telepon jadi saling bertanya. Orang yang belum sempurna mengeja nama anak sulung saya, seharusnya Maisan, namun beliau melafalkan Maisal, adalah nenek dari anak-anak saya. Banyak kemungkinan yang terjadi, kenapa beliau demikian. Tapi, saya memakluminya. 

Wangi teh melati juga mungkin berkumpul di dekat kebun-kebun tembakau milik ibu mertua. Mungkin mereka membicarakan kebahagiaan bisa memberikan aroma terbaik yang menyenangkan satu sama lain. Dengan atau tanpa gula, wanginya tetap menyapa siapa saja.

"Nanti berarti pulangnya jalan kaki, Dek?" tanya suami.

Mendadak, wangi melati itu lenyap. Suara takbir makin gempita di telinga ini. Pertanyaan suami menyadarkan saya, bahwa ini adalah hari raya. Hari yang tak hanya menyuguhkan wangi teh melati, tapi tentang siapa para peramu, penghidang, dan penciptanya sejak menjadi benih, sebelum menunas jadi bibit teh berkualitas.

Kemarin, saya pilih pulang dengan jalan berbeda, dan tidak ikut rombongan, naik gran max bersama suami dan anak-anak panti. Saya sengaja berjalan agak jauh. Sengaja melewati sawah-sawah, dan cuping hidung ini mencari-cari, siapa tahu ada wangi teh melati yang melintas, dan membuka lagi kenangan-kenangan yang sedang istirahat dalam memori.

Comments