Teguran Seorang Supir Agar Ikhlas dan Bersyukur



 
gambar dari Pixabay
Allah SWT sangat sayang pada kita. Oleh karena itu, DIA sering memberi teguran. Sebagai manusia, kita kadang mampu membaca teguran itu, kadang baru menangkapnya setelah sekian waktu. Berapa pun waktu kita menangkap teguran-Nya, kita pantas bersyukur. Memuji dan memohon ampun pada-Nya.


“Saya tidak betah di sini. Sering dimarahin. Dikit-dikit salah.”
Suami saya menirukan apa yang diucapkan Pak Ucup (bukan nama sebenarnya). Menurut bapak berperawakan langsing itu, selain majikannya, pembantunya juga senang marah-marah. Kalaupun tidak marah, pembantu tadi melaporkan pada majikan tentang keburukan-keburukan Pak Ucup.
“Lah maunya gimana?” tanya saya sembari menandai buku yang sedang saya baca. Kali itu, saya menatap wajah suami yang tersenyum tipis. Beliau tahu bahwa saya ingin tahu. Lah wong terlanjur sharing, ya sekalian saja. Siapa tahu kan bisa bantu.
“Minta dicariin kerjaan, Dik. Di Rumah sakit, jadi supir ambulance, mungkin bisa,” jawab suami belum yakin.
Saya agak mikir juga. Ini usulan suami, atau permohonan Pak Ucup. Mengingat kala itu, suami pernah bercanda, untuk menguji nyali menyetir mobil, kayaknya seru jika jadi supir ambulance. Apa obsesi bercandaan suami sudah mengakar, hingga mengusulkan pekerjaan itu untuk Pak Ucup?

Yang jelas, kata-kata suami saya membuat saya berpikir. Saya bukan bos, atau pemilik usaha tertentu. Saya adalah ibu penuh waktu yang setiap hari bersama anak-anak. Baik anak sendiri atau anak-anak panti asuhan. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Pak Ucup. Apakah Pak Ucup beneran butuh bantuan, atau dramatisasi sudah menyapa kalimat suami, sehingga kesan butuh saya tangkap mendesak?

Suami saya yang mengajar di sekolah swasta juga belum bisa banyak membantu. Sekolahnya tempat mengabdi belum lah membutuhkan supir. Pak Ucup ini maunya jadi supir. Menurutnya, itu bidang yang sudah dijalani selama ini.

Aha!

Saya jadi ingat, ada teman penulis yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Saya kenal lewat dunia maya memang. Kami belum pernah bertemu. Pikiran ini menggiring agar bertanya pada teman saya tadi, siapa tahu ada lowongan kerja.

“Beneran, Yang?” tanya saya seraya menutup buku. Kalau sudah begitu, biasanya saya mengalah. Meninggalkan buku yang sedang dibaca, demi bisa ngobrol dengan suami.

“Bener.”

Saya pun mengutarakan usul yang sebelumnya sempat saya pikir. Keesokan harinya, ketika kami bersapa melalui dunia maya, saya menyempatkan bertanya pada teman saya yang penulis itu. Katanya, Pak Ucup diminta mengirim lamaran saja. Nanti, kalau ada lowongan akan diprioritaskan. In sya Allah.

Wah, saya tentu saja bersemangat. Mengingat suami saya sudah lama menjadi tempat curhat Pak Ucup. Ada saja yang membuat bapak langsing itu ingin segera pergi dari rumah majikan. Berpindah menyupir di tempat lain.

Saya dan suami mendadak sibuk setelah itu. Kesibukan di luar jam suami mengajar, dan mengasuh anak-anak panti asuhan. Beliau membeli kertas folio, mencari materei, sampai membantu menuliskan surat lamaran. Kasihan juga jika melihat kondisi Pak Ucup yang uring-uringan.

Kami memberikan surat lamaran ke rumah sakit yang dimaksud, bersamaan dengan anak pantiasuhan yang periksa pembengkakan punggung tangan. Suami juga mengabari Pak Ucup bahwa surat lamarannya sudah diserahkan.

Satu bulan berlalu. Masih sepi. Pak Ucup belum juga dipanggil.

“Lah ya panggilan kerja, dulu saya saja paling cepat enam bulan. Pernah tuh dulu waktu ngelamar jadi petugas perpustakaan, enam bulan beneran baru dipanggil. Minta sabar sebentar kan bisa,” ungkap saya ketika suami menyampaikan bahwa Pak Ucup sudah menanyakan informasi terkini akan surat lamarannya.

Hingga pada suatu sore, ada tamu yang melakukan doa bersama di panti asuhan. Kebetulan, tamu ini membutuhkan supir. Suami pun menanyakan bagaimana bila pekerjaan itu diambil oleh Pak Ucup. Tamu setuju. Beliau meyampaikan jumlah gaji, sekitar 1, 9 juta. Menurut saya itu lumayan. Mengingat Upah Minimal Kabupaten Bantul, di mana letak rumah sakit yang diincar ada, adalah di bawah 1,5 juta. Yah, apalagi ini datang lebih awal dari panggilan pihak rumah sakit.

Keesokan harinya, berita itu langsung hinggap di pendengaran Pak Ucup. Dengan wajah berseri-seri, suami saya memberikan berita bagus. Ya, bagus versi kami. Bukan kah Pak Ucup memang sedang mencari kerja?

“Dik, katanya terlalu ngepres,” kabar suami begitu selesai bicara dengan Pak Ucup.

“Lah sampeyan itu tanya apa enggak. Di tempatnya sekarang, berapa gajinya?” tanya saya gemas.

“Iya. Katanya lebih.”

Wes. Saya langsung saja hampir nginjak gas kata-kata. Tahu lah kalau wanita bisa ngomong panjang kali lebar, kali meluber kali satu tarikan napas? Namun, saya coba menahannya. Seperti biasa, jika sudah begitu, hela napas yang panjang akan membuat saya menahan kata-kata yang hampir berhamburan.
“Sudah. Kasih motivasi saja itu Pak Ucupnya. Katakan, kalau dimarahin tidak usah diambil hati. Dilaporin keburukannya ya biar saja. La wong gajinya di tempat yang sekarang jauh lebih besar dari 1,9 juta, kok mau pindah? Wes. Nanti malah perang sama istrinya. Sampeyan entah bagaimana caranya, sampaikan apa yang saya ucapkan ini. Harus.”

Pffft.
Kelar juga ngomel.

Bukan tanpa alasan saya bicara demikian. Saya mengenal siapa majikan dan pembantunya. Jika kita lembek, tak berdaya, ya sakit hati. Tapi kita bisa menghormati, diam, dan mendengarkan saat beliau-beliau ceramah, itu ya bisa bertahan. Belum tahu juga bila keluar, bertemu orang baru, karakternya akan bagaimana. Bisa berseri dong kisahnya kalau menemui masalah sama, terus mau pindah lagi.

Hampir dua bulan sudah terlewati. Pak Ucup tidak bertanya-tanya lagi. Mungkin, suami saya sudah menyampaikan motivasi, atau entah apa. Yang jelas, saya merasa ikut lega.

Malam, ketika suara jangkrik dan katak bersahutan di sawah, belakang tempat tinggal kami, saya merenung. Menulis buku diary, dan diam-diam berterima kasih pada Pak Ucup. Apa yang beliau alami, dan kami ketahui adalah pelajaran agar kami :
1.      Lebih bersyukur dengan yang dimiliki saat ini.
2.      Menghadapi masalah dengan tegar.
3.      Mengabaikan kemarahan orang, yang penting kita melakukan kewajiban padanya dengan baik, jika kita di posisi karyawan.
4.      Berusaha introspeksi diri, bisa jadi memang ada kekeliruan yang kita perbuat, bila ada orang yang tidak berkenan dengan sikap kita.
5.      Lagi, dan lagi, belajar ikhlas itu sepanjang masa. Termasuk menghadapi orang-orang yang beraneka watak di sekeliling kita. Menerima mereka dan bersabar, akan lebih nikmat pada akhirnya, ketimbang uring-uringan dan mengeluhkannya.
Pondok Cahaya, 28 Mei 2017


Comments