Allah SWT sangat
sayang pada kita. Oleh karena itu, DIA sering memberi teguran. Sebagai manusia,
kita kadang mampu membaca teguran itu, kadang baru menangkapnya setelah sekian
waktu. Berapa pun waktu kita menangkap teguran-Nya, kita pantas bersyukur.
Memuji dan memohon ampun pada-Nya.
“Saya tidak
betah di sini. Sering dimarahin. Dikit-dikit salah.”
Suami saya
menirukan apa yang diucapkan Pak Ucup (bukan nama sebenarnya). Menurut bapak
berperawakan langsing itu, selain majikannya, pembantunya juga senang
marah-marah. Kalaupun tidak marah, pembantu tadi melaporkan pada majikan
tentang keburukan-keburukan Pak Ucup.
“Lah maunya
gimana?” tanya saya sembari menandai buku yang sedang saya baca. Kali itu, saya
menatap wajah suami yang tersenyum tipis. Beliau tahu bahwa saya ingin tahu.
Lah wong terlanjur sharing, ya sekalian saja. Siapa tahu kan bisa bantu.
“Minta dicariin
kerjaan, Dik. Di Rumah sakit, jadi supir ambulance, mungkin bisa,” jawab suami
belum yakin.
Saya agak mikir
juga. Ini usulan suami, atau permohonan Pak Ucup. Mengingat kala itu, suami
pernah bercanda, untuk menguji nyali menyetir mobil, kayaknya seru jika jadi
supir ambulance. Apa obsesi bercandaan suami sudah mengakar, hingga mengusulkan
pekerjaan itu untuk Pak Ucup?
Yang jelas,
kata-kata suami saya membuat saya berpikir. Saya bukan bos, atau pemilik usaha
tertentu. Saya adalah ibu penuh waktu yang setiap hari bersama anak-anak. Baik
anak sendiri atau anak-anak panti asuhan. Apa yang bisa saya lakukan untuk
membantu Pak Ucup. Apakah Pak Ucup beneran butuh bantuan, atau dramatisasi
sudah menyapa kalimat suami, sehingga kesan butuh saya tangkap mendesak?
Suami saya yang
mengajar di sekolah swasta juga belum bisa banyak membantu. Sekolahnya tempat mengabdi
belum lah membutuhkan supir. Pak Ucup ini maunya jadi supir. Menurutnya, itu
bidang yang sudah dijalani selama ini.
Aha!
Saya jadi ingat,
ada teman penulis yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Saya kenal lewat
dunia maya memang. Kami belum pernah bertemu. Pikiran ini menggiring agar
bertanya pada teman saya tadi, siapa tahu ada lowongan kerja.
“Beneran, Yang?”
tanya saya seraya menutup buku. Kalau sudah begitu, biasanya saya mengalah.
Meninggalkan buku yang sedang dibaca, demi bisa ngobrol dengan suami.
“Bener.”
Saya pun
mengutarakan usul yang sebelumnya sempat saya pikir. Keesokan harinya, ketika
kami bersapa melalui dunia maya, saya menyempatkan bertanya pada teman saya yang
penulis itu. Katanya, Pak Ucup diminta mengirim lamaran saja. Nanti, kalau ada
lowongan akan diprioritaskan. In sya Allah.
Wah, saya tentu
saja bersemangat. Mengingat suami saya sudah lama menjadi tempat curhat Pak
Ucup. Ada saja yang membuat bapak langsing itu ingin segera pergi dari rumah
majikan. Berpindah menyupir di tempat lain.
Saya dan suami
mendadak sibuk setelah itu. Kesibukan di luar jam suami mengajar, dan mengasuh
anak-anak panti asuhan. Beliau membeli kertas folio, mencari materei, sampai
membantu menuliskan surat lamaran. Kasihan juga jika melihat kondisi Pak Ucup
yang uring-uringan.
Kami memberikan
surat lamaran ke rumah sakit yang dimaksud, bersamaan dengan anak pantiasuhan
yang periksa pembengkakan punggung tangan. Suami juga mengabari Pak Ucup bahwa
surat lamarannya sudah diserahkan.
Satu bulan
berlalu. Masih sepi. Pak Ucup belum juga dipanggil.
“Lah ya panggilan
kerja, dulu saya saja paling cepat enam bulan. Pernah tuh dulu waktu ngelamar
jadi petugas perpustakaan, enam bulan beneran baru dipanggil. Minta sabar
sebentar kan bisa,” ungkap saya ketika suami menyampaikan bahwa Pak Ucup sudah
menanyakan informasi terkini akan surat lamarannya.
Hingga pada
suatu sore, ada tamu yang melakukan doa bersama di panti asuhan. Kebetulan,
tamu ini membutuhkan supir. Suami pun menanyakan bagaimana bila pekerjaan itu
diambil oleh Pak Ucup. Tamu setuju. Beliau meyampaikan jumlah gaji, sekitar 1,
9 juta. Menurut saya itu lumayan. Mengingat Upah Minimal Kabupaten Bantul, di
mana letak rumah sakit yang diincar ada, adalah di bawah 1,5 juta. Yah, apalagi
ini datang lebih awal dari panggilan pihak rumah sakit.
Keesokan harinya,
berita itu langsung hinggap di pendengaran Pak Ucup. Dengan wajah berseri-seri,
suami saya memberikan berita bagus. Ya, bagus versi kami. Bukan kah Pak Ucup
memang sedang mencari kerja?
“Dik, katanya
terlalu ngepres,” kabar suami begitu selesai bicara dengan Pak Ucup.
“Lah sampeyan
itu tanya apa enggak. Di tempatnya sekarang, berapa gajinya?” tanya saya gemas.
“Iya. Katanya
lebih.”
Wes. Saya
langsung saja hampir nginjak gas kata-kata. Tahu lah kalau wanita bisa ngomong
panjang kali lebar, kali meluber kali satu tarikan napas? Namun, saya coba
menahannya. Seperti biasa, jika sudah begitu, hela napas yang panjang akan
membuat saya menahan kata-kata yang hampir berhamburan.
“Sudah. Kasih
motivasi saja itu Pak Ucupnya. Katakan, kalau dimarahin tidak usah diambil
hati. Dilaporin keburukannya ya biar saja. La wong gajinya di tempat yang
sekarang jauh lebih besar dari 1,9 juta, kok mau pindah? Wes. Nanti malah
perang sama istrinya. Sampeyan entah bagaimana caranya, sampaikan apa yang saya
ucapkan ini. Harus.”
Pffft.
Kelar juga
ngomel.
Bukan tanpa
alasan saya bicara demikian. Saya mengenal siapa majikan dan pembantunya. Jika
kita lembek, tak berdaya, ya sakit hati. Tapi kita bisa menghormati, diam, dan
mendengarkan saat beliau-beliau ceramah, itu ya bisa bertahan. Belum tahu juga
bila keluar, bertemu orang baru, karakternya akan bagaimana. Bisa berseri dong
kisahnya kalau menemui masalah sama, terus mau pindah lagi.
Hampir dua bulan
sudah terlewati. Pak Ucup tidak bertanya-tanya lagi. Mungkin, suami saya sudah
menyampaikan motivasi, atau entah apa. Yang jelas, saya merasa ikut lega.
Malam, ketika
suara jangkrik dan katak bersahutan di sawah, belakang tempat tinggal kami,
saya merenung. Menulis buku diary, dan diam-diam berterima kasih pada Pak Ucup.
Apa yang beliau alami, dan kami ketahui adalah pelajaran agar kami :
1. Lebih
bersyukur dengan yang dimiliki saat ini.
2. Menghadapi
masalah dengan tegar.
3. Mengabaikan
kemarahan orang, yang penting kita melakukan kewajiban padanya dengan baik,
jika kita di posisi karyawan.
4. Berusaha
introspeksi diri, bisa jadi memang ada kekeliruan yang kita perbuat, bila ada
orang yang tidak berkenan dengan sikap kita.
5. Lagi,
dan lagi, belajar ikhlas itu sepanjang masa. Termasuk menghadapi orang-orang
yang beraneka watak di sekeliling kita. Menerima mereka dan bersabar, akan
lebih nikmat pada akhirnya, ketimbang uring-uringan dan mengeluhkannya.
Pondok Cahaya, 28 Mei 2017
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara