Mbah Pariyah adalah Bukti Bahwa Seorang Ibu Tidak Ingin Merepotkan Anak-anaknya


gambar gratis dari pixabay


Pada sesi pengambilan rapor siswa, tahun lalu. Saya suami dan anak-anak mengantar anak-anak panti asuhan untuk mengambilnya. Banyak anak-anak panti asuhan sini yang sekolah di SMU Muhammadiyah Piyungan. Bisa dikatakan, siswa terbanyak di sekolah itu adalah dari Panti Asuhan Yatim Putri Khoirun Nisa’.


Sambil menunggu, kami berjalan-jalan di kebun depan sekolah. Banyak pohon melinjo yang tertata rapi, pohon-pohon singkong yang rimbun cantik. Tanah di kebun itu juga bersih, tampak sekali pemiliknya rajin merawatnya.

Dekat dengan kebun itu, agak ke sebelah utara sedikit, ada seorang nenek. Beliau duduk sambil menunggui dagangannya. Beberapa barang yang kurang jelas terlihat ada di atas gerobak, di depan nenek itu. Kami jadi penasaran, apa yang dijual nenek.

Karena ingin tahu, kami mengajak dua anak kami untuk membelinya. Tentu saja sambil membeli, saya bertanya-tanya ini-itu, dan melihat semua dagangannya. Ternyata ada gorengan, es, nasi, dan alat-alat makan lain di meja yang ada di belakang nenek.

Wah, keren ini si Embah. Sudah berumur, tapi tetap semangat jualan. Kira-kira, apa yang dilakukan anak-anaknya, kok simbah-simbah ini masih jualan, ya?

Saya mencoba menepis pertanyaan-pertanyaan yang datang silih berganti. Sempat terbersit juga rasa kasihan. Dan kayaknya, sudah saatnya simbah istirahat.

Mbak Pariyah, demikian nama beliau. Kalau soal mengorek keterangan, saya lumayan lah agak bisa. Cerita pun bergulir. Menurut beliau, putra-putrinya sudah ‘mentas’ semua. Biasanya istilah mentas ini digunakan untuk kata sukses, atau sudah menikah, dan berpisah dengan orangtua.

“Saya tinggal di dekat rumah yang punya BIMO,” kata beliau seraya menyebutkan nama bus yang garasinya ada di dekat panti asuhan. Kebetulan lagi, kami juga sering diundang oleh pemilik BIMO. (eh, ya. Postingan ini sama sekali bukan endors atau apa lah ya. Untuk tulisan-tulisan kisah inspiratif yang coba saya buat, kalau baik, saya sebutkan sumber nyatanya, kalau kurang baik, saya samarkan. Okreeee?).
Saya ingat, ada penjahit di dekat rumah pemilik BIMO. Dan ternyata, itu adalah rumah satu di antara putrinya Mbah Pariyah.

Ooo ...

Kesimpulan kecil mulai tersusun di kepala saya. Jadi, putrinya memang terlihat sukses. Ketika kami sedang mengobrol, dua anak menghampiri beliau. Mereka anak perempuan yang memakai pakaian rapih, dan bersih. Kulit dan wajah anak-anak itu juga berseri. Sekilas, mereka adalah anak-anak yang terawat.

Setelah pertemuan itu, iseng-iseng saya tanya dengan anak panti asuhan yang pernah sekolah di sana. Mereka memberitahu bahwa Mbah Pariyah sudah lama berjualan di sana. Dan memang beliau asyik diajak ngobrol. Beliau tetap memilih mencari nafkah sendiri, dan tidak bergantung pada putra-putrinya, meski mereka sudah sukses.

Saya jadi ingat ucapan ibu saya, “Orangtua itu bila diberikan tawaran, ya mending tinggal sendiri, mandiri, dan tidak mengusik anak-anaknya.” 
 Terbayang juga oleh saya, betapa seorang ibu ketulusannya tak terbatas. Setelah memaripurnakan cinta hingga anak-anaknya menikah, beliau masih enggan menjadi tanggunan anak-anaknya.
                     
Matur nembah nuwun, Mbah Pariyah. Apa yanga Mbah Pariyah lakukan, telah membuat saya kembali mengingat ibu saya. Semoga saja, Mbah Pariyah dan ibu-ibu yang lain senantiasa dilindungi-Nya. Amin.

Comments