Kesedihan yang Mengajarkan Ikhlas


foto koleksi pribadi

Banyak sekali yang bilang, “Ikhlas itu tak semudah dan sesederhana menuliskannya.” Saya pun kerap menuliskan, merasa, dan mengalami itu. Apalagi tinggal bersama anak-anak panti asuhan, bilangan peristiwa yang terjadi, Alhamdulillah, entah sudah berapa kali.

Sore menjelang Ramadhan, ada yang mengetuk pintu tempat tinggal kami. Saat itu, saya masih membaca cerita tentang pengakuan mantan seorang pendeta yang masuk Islam. Pelan, saya mendekati pintu, membukanya sambil bertanya, “Gimana, Mbak?”
Saya memang lebih sering memanggil anak-anak panti asuhan dengan sapa, ‘Mbak’. Ini karena selain mereka perempuan, anak-anak saya berusia jauh di bawah mereka. saya melakukannya untuk memberi contoh, serta pembiasaan untuk anak-anak kandung sendiri.

“Ini, Bu,” jawabnya terbata.
“Mau ke warnet. Cari bahan kultum.”
Saya diam. Mengamati wajah mereka yang senyumnya tampak malu-malu.
“Bukannya ada buku?” tanya saya, sedikit mengajak mereka untuk tidak keluar sore itu.
“Di buku sudah pernah disampaikan semua, Bu,” jawab seorang di antara mereka.

Deg!

Apakah semua buku di rak-rak masjid panti asuhan sudah dibacanya? Luar biasa sekali, jika demikian. Saya tidak gagal dong gembar-gembor ‘Baca-baca-baca’?

“Yang bukan buku kumpulan ceramah, Mbak. Buku biasa. Itu kan banyak yang materinya sedikit. Tinggal diringkas, lalu bisa untuk kultum,” ungkap saya pelan.

Mereka berdua saling pandang. Dari isyarat yang terlihat, mereka sepakat untuk meminjam buku saya. Lalu, mereka memang mengiyakan untuk meminjam buku saya.

Yes! Saya berhasil mengajak anak-anak ini untuk membaca. Satu hal yang sangat menyenangkan saya. Ibarat embun yang tersisa di hijaunya daun, saat matahari mulai meninggi. Senang sekali.

Mereka menerima buku yang ada di gambar postingan ini.

“Ini kan ada 99 materi. Cukup lah untuk sebulan. Bahkan lebih.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

Mereka lalu pergi, dan mengucapkan salam.

Angin Jumat sore terasa makin segar. Saya merasa, mata ini berbinar. Hal yang tadinya menyempitkan jalan napas, seolah melonggar. Oksigen yang tadinya tersisa sedikit, sepertinya bertambah dan bertambah. Saya membayangkan, dua gadis tadi langsung membaca, dan meringkasnya. Betapa indah pemandangan kamar panti asuhan.

***

Waktu beranjak semakin sore. Saya sudah percaya bahwa dua gadis tadi akan benar-benar meringkas. Sambil membuang sampah, saya memanggil dua anak kami untuk mandi. Mereka masih asyik bermain layang-layang.

“Nak, ayo mandi dulu! Itu juga larinya kok ke arah jalan? Nanti lupa ke tengah jalan, gimana?”

Sulung saya hanya tersenyum. Celah giginya yang baru tanggal terlihat jelas. Sekitar 15 menit, saya baru berhasil membujuk mereka untuk kembali ke tempat tinggal kami yang letaknya dekat dengan masjid panti asuhan. Tempat kami gandeng dengan kamar-kamar gedung bercat hijau ini.

Ketika sedang berjalan, Mbak Mi (saya tidak menuliskan nama lengkap dan aslinya), menyampaikan sesuatu, “Bu, ada banyak anak yang keluar.”

Saya teringat, sebelum dua gadis yang mau mencari materi kultum, ada juga anak yang mau cabut gigi. Agak geli sebenarnya, cabut gigi kok bertiga? Padahal, rumah dokternya lumayan jauh. Ada lah 30 menit bila bolak-balik. Mengingat jalan menuju ke sana agak menanjak, dan jalan pulangnya turun.  Sekitar 1, 5 km.  Dan mereka berangkat pukul 5 sore. Sampai sana pukul berapa? Belum tentu juga langsung dicabut.

Hmm ...
Lagi-lagi saya memang mendapati anak-anak di sini unik. Mereka kurang berani ke mana-mana sendiri. Atau minimal berdua saja. Sebagai contoh, anak-anak kalau sedang masak, bukannya satu atau dua orang yang di dekat kompor, tapi bisa lima sampai delapan. Ini masak, atau sedang ngerumpi? Wah, ternyata dobel. Itu masak, ya, yang enggak perlu pergi jauh.

“Berapa anak, Mbak?”

“Kalih teng ‘Jibril’, kalih teng warnet, tigo teng dokter gigi.”
Mbak Mi menyampaikan pada saya, ada dua anak ke toko jilbab yang namanya sama dengan malaikat, dua anak ke warnet, dan tiga ke dokter gigi.

Deg! (lagi).

“Ingkang kalih teng warnet, sinten, Mbak?”
Rasa heran mulai menyerang saya. Tanya ikut meluncur, saya tanyakan, siapa dua anak yang ke warnet.
Dan petir kecewa datang di sore yang mulai senja. Nama yang disebutkan oleh Mbak Mi adalah nama dua gadis yang saya pinjami buku.

Tempat tinggal kami di belakang. Kamar-kamar anak panti asuhan dekat juga dengan dapur. Mbak Mi ini ada di dapur. Biasanya, anak-anak panti asuhan yang akan pergi, setelah izin dari kami, mereka juga bakal salim dulu dengan Mbak Mi, yang sebagai pengurus juga. Mbak biasanya menanyakan, apakah sudah dapat izin atau belum. Dan entahlah, sore itu kok mereka bisa ‘lolos’ dari pantauan.

Duh, Gusti Allah ...
Begini rasanya dikhianati? Begini rasa kecewa?
Saya sudah yakin, hampir terharu, bahwa mereka akan meringkas. Saya tidak mengizinkan mereka ke warnet, karena sore memang ada kajian. Eh, kok mereka pergi juga.

Oksigen yang sebelumnya menggenapi napas, seolah mendadak lolos dari raga. Binar dua mata pun dapat saya rasakan meredup. Jalan napas yang tadi longgar, kembali menyempit.

Perlahan, saya menghela napas panjang. Berjalan pelan, setelah permisi, mengikuti dua anak kami pulang. Saya sempat bicara ke suami tentang hal itu, dengan nada kecewa. Sambil memandikan anak-anak, saya masih belum habis pikir, kenapa mereka tega sekali dengan saya, yang buka ibunya, tapi harus menjadi ibu?

Setelah menghela napas berulang, sambil terus beraktivitas, saya mendapati beberapa pelajaran dari peristiwa sore kemarin.
1.      Ketika kita berbagi ilmu, sebaiknya tidak berharap banyak bahwa dia/mereka langsung mengamalkan. Tapi, kita serahkan semua pada-Nya. Setelah, doa bahwa yang kita bagi itu bermanfaat.
2.      Pada saat orang yang kita beri ilmu, meski sedikit, mengamalkannya, sebaiknya kita tidak langsung GR, merasa berhasil menyampaikan. Bukan kah ikhlas tidak menyisakan rasa bangga yang menjadi seritik akar sum’ah?
3.      Rasa sedih dan kecewa hadir, ketika ikhlas kita belum 100%. Rasa-rasa tadi adalah wujud dampaknya.
4.      Allah SWT tahu bagaimana menegur kita, hanya saja, apakah kita mampu membacanya atau terhalang.
5.      Saya mendapatkan PR lagi untuk minat baca mereka. []

Pondok Cahaya, Yk, 27 Mei 2017


Comments