3. Lolongan Anjing di Malam Gelap



pixabay


Setiap purnama, ada lolongan anjing terdengar. Katanya, itu bukan anjing, tapi serigala. Binatang bertaring itu tinggal di gunung. Saat purnama mereka jalan-jalan. Bisa sampai ke tanggul sungai, samping rumahku.

Aku dan adikku Qudrotul Bahiroh, termasuk anak yang takut dengan anjing. Juga serigala. Meski hanya mendengar lolongannya saja. Sebenarnya, ada binatang lain yang kutakuti juga. Pertama adalah bebek, selanjutnya angsa, dan mentok. Tahu kan kalau ketiganya memiliki moncong yang panjang. Dan memiliki suara yang nyaring. Di telingaku, saat itu, suaranya seperti orang yang menghardik. Marah-marah.


Karena takut pada bebek, aku pernah dinasihatin Eyang, “Sudah, dia enggak ngapa-ngapain.”
Malam itu aku bobok di rumah Eyang. Saat kebelet pipis. Eyang memintaku ke kamar mandi sendiri. Padahal, untuk ke kamar mandi, harus melewati kandang mentok. Hahaha. Gara-gara aku takut, dua Eyang sampai terbangun. Mau tidak mau, akhirnya mereka menemani hingga kamar mandi.

Kejadian yang lebih seru bersama angsa juga pernah terjadi. Aku dan adikku ke Rumah Mbah Sindu. Rumahnya ke arah utara dari rumah kami. Ketika turun dari sepeda, bapak menuntunnya. Di belakang kami ada angsa. Dua sayapnya mengembang. Sepertinya mereka mengajak menari bersama, tapi aku terhalang rasa takut. Aku lari. Angsa itu membuntuti. Adikku jongkok. Entah takut, atu itu jurusnya menghindari angsa. Biasanya sih, dia kalau takut memang gak bisa jalan. Kata orang desa, namanya kamitotolen. Saking takutnya sampai gemetar tidak bisa ngapa-ngapain.

“Haish! Kamu lagi ngapain?” tanya Bapak. Beliau belum sadar, anaknya dikejar angsa.

Ngoak-ngoak-ngoaaak!
Bunyi angsa membuat Bapak menoleh.

“Uwis mandeg! Meneng baen. Ora bakal ngapa-ngapa. Nek koe mlayu ya malah dioyok!”

Bapak memintaku diam. Berhenti. Kata beliau, angsa tidak akan bertingkah saat kita diam. Tapi, bila kita lari, angsa akan mengejar. Tapi, manalah mungkin aku berhenti. Aku justeru tambah kencang berlari. Memutari sepeda Bapak. Wajah Bapak tampak menertawakanku. Akhirnya, angsa itu diusir hanya dengan suara, “Hush! Hush! Hush!” sambil mengacung-acungkan tangan. Aku melongo. Ternyata hanya begitu?

Di satu malam purnama. Anak-anak desa biasa bermain apa saja. Ada yang jonjangan, dos-dosan, sampai petak umpet. Jonjangan itu pertamanya kita harus suit. Yang kalah mengejar yang menang. Sampai tersentuh. Kalau tidak bisa menyentuh teman lain, maka selamanya dia menjadi orang yang ‘masang’. Pengejar teman lain.

Dos-dosan ini paling seru. Dua kubu anak bermain. Satu kubu bisa ada dua, hingga bilangan tak terhingga. Pokoknya, seberapa banyak anak pun bisa bermain. Dua kubu memiliki gawang. Jika kubu lawan mampu berlari melintasi tengah gawang, itu artinya Dos. Mereka menang.

Satu anak bisa maju lebih dulu, anak dari kubu lain mengejar. Nah, kejar-kejaran ini tidak dibatasi jaraknya. Kita bahkan bisa lari sejauh mungkin. Jauh dari halaman rumah Eyang, atau jauh dari dua gawang.

Aku dan adikku berlari jauh. Sampai ke rumah orang yang memiliki TV. Saat itu, TV masih langka. Kami lupa dengan peran masing-masing. Aturan, kami sedang bermain dos-dosan dan saling kejar. Eh, kami malah nonton TV. 

Begitu tersadar akan permainan dos-dosan, kami menuju rumah Eyang. Di sanalah biasanya anak-anak desa main. Rumah Eyang dekat dengan musala. Jadi, anak-anak yang baru pulang dari musala bisa langsung gabung bermain. Halaman rumah Eyang luas. Kurasa, luasnya dua kali lipat luas lapangan badminton.

Baru saja kakiku melangkah, terdengar suara lolongan anjing. Aku menatap langit. Bulan tidak jelas. Jalan remang-remang. Mendadak, seolah gelap. Adikku memegang kuat lenganku. Wah, orang-orang khusyuk menonton TV. Anak-anak sudah tidak ada. Cengkeraman tangan adikku bertambah kuat. Lolongan anjing bertambah nyaring.

“Mbak, itu apa di bawah pohon pisang?” 
Aku melihat ke arah telunjuk adikku menunjuk. Ada bayangan, atau benda hitam bergoyang-goyang. Tapi, aku tidak yakin jika itu anjing. 
“Mbak, itu mbaung, Mbak,” kata adikku.
Mbaung adalah kata lain dari anjing. Dengan debaran jantung yang tak menentu. Aku melangkah pelan. Bukan menjauhi, tapi mendekati benda  yang terus bergoyang itu.
“Mbak! Ayo mlayu!”  Adikku mengajak berlari. Dan benar saja dia sudah ngacir. Aku ikut berlari, tapi kesandung barang yang bergoyang-goyang. Mau tidak mau aku menoleh. Dan kalian tahu apa itu? Yah! Ternyata hanya bagian dari pohon kelapa kering. Jika kalian pernah melihat batang daun kelapa, benda itu biasanya ada di pangkalnya. Benda yang biasanya dimanfaatkan orang-orang desa untuk menyulut api, jika tidak ada klari. Apa? Tidak tahu klari? Daun kelapa kering. Ah, kalian belum tahu juga? Ya, kapan-kapan berkunjunglah ke desa kami. Desa yang letaknya ada di pinggir kali. []

Pondok Cahaya, Yk, 12 Mei 2017

Comments