Karena Cinta Tak Cukup Hanya di Rasa

Dokumen pribadi

Judul : Ya Allah, Izinkan Kami Menikah
Penulis : Dwi Suwiknyo, dkk.
Penerbit : Mahabbah (Lini Diva Press)
Terbit : Januari 2017 
Jumlah halaman : 260 halaman
ISBN : 978-602391-307-7
Harga : Rp 68.000
Peresensi : Khulatul Mubarokah. Pengasuh panti asuhan. Ibu yang Menulis.


Blurb : 

"Jodoh tidak jatuh dari langit, itu sangat benar. Buktinya pasangan kita tidak benjut-benjut. Buku ini mengingatkan pada liku setiap insan dalam menemukan tambatan hati, pendamping hidup, pengantar ke surga seperti harapan kita. Ada mesin waktu, ada pelajaran yang bisa dipetik. Jika Anda pernah, atau punya niat untuk menikah, buku ini wajib dalam genggaman." (Wenda Koiman-novelis dan penulis skenario).

"Membaca buku ini mengingatkan kita bahwa pernikahan merupakan kolaborasi antara ikhtiar, doa, dan ridha Allah tentang sebuah komitmen sepanjang hayat." (Irfa Hudaya, novelis).

Jika engkau sedang dilanda resah perihal jodoh dan segala lika-likunya, bacalah buku ini. In sya Allah, akan banyak inspirasi di dalamnya.

Cinta, satu rasa yang bisa memotivasi, sekaligus membuat pesimis orang yang merasakannya. Ada yang menjadikannya sebagai pijakan untuk kuat, bahkan ada yang terlunta-lunta karenanya. Banyak yang mencoba mengurai maknanya, namun, lagi-lagi semua kembali pada yang memiliki rasa.

Satu hal yang agung, saat cinta berpijak atas nama-Nya. Dia yang Maha Cinta, telah berkenan memberi rasa pada kita. Pada lawan jenis, misalnya. Apakah kita akan memperjuangkan untuk menghalalkan, atau membiarkannya berkarat hingga melukai hati sendiri. Apa kita serius, benar-benar ingin membangun maghligai bersamanya yang hadir lebih sering dalam ingatan, atau sebatas memupuk dosa, bersenang-senang atas nama ketidakjelasan?

Buku bercover pink ini menuliskan apa yang dialami para penulisnya saat mereka memperjuangkan jodoh. Cinta yang butuh dibuktikan, tak sebatas dirasakan. Rasa yang senantiasa perlu ditindaklanjuti, hingga satu gaung mengguncang 'arsy, dan terus berlanjut hingga menemui-Nya suatu hari nanti.

"Rupanya memang milih pasangan hidup tak semudah memilih pacar. Kalau pacar, suka sama suka ya jalan saja. Mau nikah? Nggak bisa kayak gitu." (hal.8).

Menikah, jika kita normal, tentu mendambakan hal itu, pada saat masih singel. Selalu ada pernak-pernik rasa yang membalut perjuangannya. Demikian yang digambarkan dalam buku ini. Lucu, sedih, ngenes, penuh harap, dan kecewa yang saling tindih.

Sebagai hamba, para pelaku cerita menyeret repih-repih harapan ke hadapan Sang Maha Rahman. Mereka mengetuk berbagai pintu, dalam berbagai aktivitas. Terkadang, sudah yakin, eh, tiba-tiba ada aral. Halangan yang menjadikan perjalanan menuju pelaminan perlu diuji lagi. Apakah kita serius, dan layak mendapatkan seseorang yang sedang diperjuangkan?

Sangat sering, orang-orang di sekeliling kita begitu renyah membuat julukan. Dari perawan tua, enggak laku-laku, pilih-pilih, hingga tuduhan menyukai sesama jenis. Prihatin. Bisa jadi, bagi pemilik ucapan itu tak berniat melukai, namun, bagaimana jadinya bila yang dituduh sedang rapuh? Apa tetap memilih rapuh, hingga membenarkan secara tidak langsung apa yang mereka lancungkan, atau bangkit, dan membuktikan bahwa kuasa Tuhan jauh di atas apa yang pernah terlintas di kepala-kepala kita. Kepala mereka?

Buku setebal 260 halaman ini merupakan kumpulan cerita, para pemenang audisi yang diadakan pada Bulan Desember 2016. Ada 14 kisah yang berbeda cara penyajiannya. Demikian juga pesan dan hikmah yang dibawa. Menapaki lembar demi lembarnya membuat kita ada di sana, menjadi saksi dalam kisah perjuangan para penulis, sekaligus merasakan debara penjemput jodoh.

Permisalan sebuah kasus, betapa gelisahnya hati, saat semua syarat menantunya harus sesuai kriteria orangtua. Persis di cerita berjudul 'Perjuangan Kami demi Syarat Orangtua'.

"Benar saja, menurutnya, nanti dalam rumah tangga, suami itu menjadi kepala keluarga, sehingga dari segi pendidikan, suami tidak boleh kalah dari istri, atau minimal tidak boleh terlalu njomplang dari pendidikan istri." (hal.160)

Ada satu cara tutur yang halus dan luwes, tak jauh beda dengan cerpen-cerpen yang begitu detail menggarap setting. Adi Wahyudin dalam judul 'Angin, Undangan, dan Pasangan'. Dengan kalimat-kalimat baper, dan detail settingnya, penulis menyeret kita pada satu kondisi yang dialaminya.

Seperti dalam narasi, "Hujan di luar rumah mulai bertambah deras. Titik airnya memberondong atap asbes yang melindungi teras. Sesekali terdengar suara guntur menggelegar di kejauhan. Menyamarkan suara isak gadis berkerudung biru, dan suara hatiku yang pecah menyisakan serpihan. Gadis di depanku tertunduk semakin dalam, lalu kembali berkata pelan, Ma .. maaf...." (hal.125).

Yang membuat buku soft ini makin hidup adalah komiknya. Ada satu ilustrasi, di sebagian besar cerita, yang membuat kita tersenyum, sehingga tidak jenuh mengikuti alur cerita. Bisa dikatakan itu adalah jeda antar kisah. Saat kisah satu begitu nyesek, kita siap membaca kisah lain yang lebih nyesek. Tenang ... ceritanya happy ending, jadi nyesek itu akan segera berlalu.


Sesempurna-sempurnanya naskah, kadang, ada celahnya juga. Ada beberapa kalimat di satu cerita yang menulisnya lupa dari EBI (Ejaan yang disempurnakan). Namun, hal itu tertutup oleh cerita yang menghentak. Penuh kejutan, dan menggores sakit di hati, ketika sedang bertutur tentang luka dalam sayatannya.




Bagi para orangtua yang mulai gelisah dengan kejomloan putra-putrinya, remaja, dan siapapun Anda yang yakin bahwa ada seseorang yang disiapkan-Nya untuk kita, buku ini saya rekomendasikan. Selamat membaca!




Comments