Yang tinggal batang, tanpa jambul adalah jago kalah |
"Hok-yah! Hok-yah! Lari pa-giii! Lari pagiii!" girang anak pertama saya.
Baru sadar, ternyata dia sudah menantikan moment Ahad pagi yang kadang terhalang gerimis, atau bahkan hujan. Pekan sebelumnya, ada acara, jadi tidak bisa lari atau jalan pagi. Dan setelah saya cek ulang diri ini, Oh, Allah, ternyata saya lebih banyak melakukannya sendiri, ketimbang bersamanya. Semua karena dia sekolah, saya merasa sibuk (padahal ya enggak pakai banget, mamah mudah kan enggak kelihatan kegiatannya, entah sedang apa di dalam rumah, jika dilihat dari luar).
"Pakai sepatumu! Adik juga pakai sepatu!"
Mereka langsung menuju tempat, di mana sepatu-sepatu diletakkan. Ah, ya. Suami saya sudah berangkat ke sekolah. Ada pengajian pagi, sudah sekitar 15 menit sebelum kegirangan anak pertama saya terlontar. Anak-anak panti asuhan, tempat di mana kami tinggal, sudah keluar lebih awal.
"Embak-embak sudah berangkat joging, Mi," kabar anak pertama saya sambil mengikat tali sepatunya.
Udara sejuk pagi di desa Kuton sangat merasuk ke dalam hati, dan pikiran. Saya tidak ingin jika hanya sebentar ada di antara sawah, pohon-pohon, dan rumput-rumput. Untuk mengimbangi anak-anak yang masih lumayan mungil (5,6 tahun, dan 3,7 tahun), saya kadang jalan. Di saat jalan itu lah, saya melihat rumput yang menyeret ke masa lalu. Rumput Jago-jagoan. Begitu pada masa kecil ,kami menyebutnya.
Ini dia penampakan rumput Jago-jagoan |
"Ummi ngapain jongkok," tanya anak kedua.
Tanpa dia sadari, dirinya juga ikutan jongkok. Hehe. Terhipnotis banget sepertinya. Saya masih terus mengamati rumput itu. Sambil mengingat-ingat, bagaimana dulu cara mengikatnya, lalu menautkan kedua batang rumput untuk bisa bermain Jago-jagoan.
Sebentar, saya melirik ke arah kakaknya. Dia masih mengayun-ayunkan tangan. Terlihat sekali ada pancaran suka saat menghirup udara pagi. Beberapa kendaran lewat. Memang, jika di bawah pukul tujuh pagi, tempat ini belum begitu ramai. Banyak orang-orang yang melakukan aktivitas sama dengan kami. Dari anak-anak, hingga kakek nenek. Semua juga terlihat berwajah ceria.
Karena bila hanya memikirkan, saya tidak akan pernah menyelesaikan masalah, maka saya langsung mengambil dua batang rumput Jago-jagoan. Ah. Sebut saja begitu ya. Meski saya beresiko untuk dinamakan belum tahu, ya memang belum tahu sih. Hahahaha. Jadi muter-muter ini kalimat.
Saya langsung praktek. Mengikat dua batang Jago-jagoan. Dan, subhanallah, ternyata benar, apa yang membekas sedari kecil, tak akan mudah dilupakan. Seperti rasa bahagia, dan kesan lain. Ingatan akan permainan ini meski saya tidak pernah dengan sengaja untuk mengingat-ingat dengan kuat, ternyata bagian kecil dari memori saya menatanya dengan baik. Segala puji bagi-Nya yang menciptakan akal manusia.
Dua batang Jago-jagoan yang sudah diikat |
"Itu untuk apa, Mi?" tanya anak pertama mulai tertarik mengamati apa yang saya lakukan.
Hampir saja, saking asyiknya mengingat dan berhenti di masa kecil sendiri, lupa akan adanya anak kecil yang sedari tadi mengamati. Maaf, sudah membuat kalian bertanya-tanya dalam hati. Aturan, saya langsung menyahut.
"Kita main Jago-jagoan, yuk!"
"Jago-jagoan itu apa?"
"Kita main Jago-jagoan, yuk!"
"Jago-jagoan itu apa?"
Mulailah saya menjelaskan dengan kalimat yang dapat mereka pahami. Meminta dua anak saya untuk saling tarik, setelah dua batang Jago-jagoan saling kait. Nah, ketika satu di antaranya tinggal tersisa bagian batang, tanpa ada bunganya, (ada juga yang bilang jambul), itu lah pihak yang kalah. (lihat gambar pertama dalam blogpost ini, ya).
Dua batang Jago-jagoan yang sudah saling kait. Siap ditarik |
Saya sendiri merasa heran, dari mana asal kata Jago-jagoan itu berasal. Apakah sebatas turun-temurun, atau memang ada alasan lain. Apakah untuk menjadi jagoan juga harus mengadu sesuatu? Misal mengadu ketangguhan layaknya permainan itu? Dan saya belum menemukan jawabnya hingga tulisan ini saya ketik.
"Mi, cari yang banyak. Bawa pulang," usul anak kedua.
"Mi, cari yang banyak. Bawa pulang," usul anak kedua.
Kami pun asyik mengambil batang-batang Jago-jagoan. Yang ada bunganya, ya ... mirip bunga padi, atau bunga jagung cantel. Warnanya hijau jika masih segar, dan kekuningan bila sudah kering. Warna kuningnya mirip sekali dengan kondisi daun padi usai panen.
Saat merasa sudah cukup banyak mengambil batang Jago-jagoan, kami melanjutkan jalan. Sesekali berlari, dan saling berkejaran. Matahari mulai menyapa semua yang tampak di bumi. Kendaraan mulai lebih sering lewat.
Kami berpapasan dengan beberapa anak panti asuhan yang membawa kresek. Agak aneh sebenarnya, kalau joging kenapa bawa kresek. Rupanya mereka mampir ke warung saat pulang. Membeli jajanan. Ya. Begitu lah warna pagi hari Ahad di komplek panti asuhan.
Kami berpapasan dengan beberapa anak panti asuhan yang membawa kresek. Agak aneh sebenarnya, kalau joging kenapa bawa kresek. Rupanya mereka mampir ke warung saat pulang. Membeli jajanan. Ya. Begitu lah warna pagi hari Ahad di komplek panti asuhan.
Sampai di panti asuhan, saya berpikir, juga bertanya-tanya. Apakah Jago-jagoan ini juga permainan tradisional. Ternyata, ada beberapa blog yang sudah menuliskannya. Dengan rumput yang berbeda. Ada juga yang memasukkannya ke dalam daftar permainan tradisional.
Saling tarik untuk membuktikan, jago milik siapa yang menang |
Jago-jagoan ternyata permainan masa lalu saya, yang masuk ke dalam permainan tradisional. Apakah ada permainan itu juga di lingkungan, atau pada masa kecil Anda?
waktu kecil saya juga banyak melakukan permainan tradisional. Tapi sepertinya saya baru tau permainan yang ini ^_^
ReplyDeleteBunda KeNai, senenga dan seru, terus terasa kebersamaannya jika main permainan tradisional... Hehehe. Ketahuan deh kalau saya orang kampung.
ReplyDelete