Semua Keinginan Anak Harus dituruti?

Maisan dan kawannya

Kurang dari satu pekan lalu, Maisan (Anak saya usia 4 tahun lebih), agak terlambat menyeberang jalan. Dia naik sepeda sepulang sekolah. Saya memakai motor dengan membonceng adiknya ada di belakangnya. Saya sudah memberi aba-aba, "Ayo! Nyeberang." Anak saya masih kesulitan menggapai pedal. Saat saya memberi perintah, di belakang sepi, dapat terlihat dari spion kalau tidak ada satu pun kendaraan lewat. Tiba-tiba saja ... wuuuz! Seorang bapak bersepeda motor melintas dengan kecepatan tinggi. Jarak antara Maisan dan si bapak hanya 4 sentian. Duh. Jadi deg-degan.


Agaknya peristiwa itu sedang mengingatkan saya dalam membimbing Maisan. Tepatnya pada bagian apakah semua keinginnya harus dikabulkan? Keinginan apa? Naik sepeda ke sekolah.

Pertama kali Maisan meminta bawa sepeda, saya jawab, "Tidak usah. Jalan ramai." Dia pun menurut. Tapi, tidak bertahan lama. Beberapa hari setelah penolakan saya, dia kembali merajuk, "Mi, aku mau bawa sepeda ke sekolah." Dan saya masih belum mengabulkan. Sampai pada saat saya melihat Maisan duduk menatap teman-temannya naik sepeda. Wajahnya menyiratkan keinginan yang dalam bisa berkeliling halaman sekolah dengan sepedanya.

"Mi, aku mau naik sepeda."

Permintaan kembali diucapkan. Kali itu saya menyetujui dengan pertimbangan rasa kasihan, tidak tega melihat mimiknya saat menatap teman-teman. Saya pun mengikutinya dari belakang dengan laju sepeda motor yang super lamban.

Jalan yang kami lewati adalah jalan raya tempat lewatnya truk-truk pengangkut pasir dari Merapi. Jalannya lurus, hingga orang-orang tertentu begitu merasa bebas untuk tancap gas. Kemudian belok melalui jalan sepi dengan kiri-kanan sawah. Melewati jalan kampung yang tidak terlalu ramai, barulah sampai ke TK Kuncup Melati. Tempat Maisan sekolah.

Satu minggu persis Maisan naik sepeda, dan kejadian yang mendebarkan membuat saya berpikir. Ah. Saya khilaf. Kondisi yang kami jalani selama satu minggu sebenarnya sangat berbahaya. Saya yang menyetujui keinginan Maisan ternyata menyetujuinya untuk ada dalam keadaan bahaya. Sungguh saya menyesal.

"Kak, besok diantar saja, ya? Tadi ada bapak naik motor kenceng banget. Duh, Ummi agak deg-degan," pinta saya sambil menatapnya.

Maisan langsung menangis. Saya biarkan dia dengan air matanya, hingga akhirnya dia lelah dan tidur. Saya introspeksi. Kalau semua keinginan dituruti saya hanya akan membuat Maisan :

- Akan menjadi pribadi penuntut.
Apa-apa diminta dan dituruti. Kalau tidak dikabulkan akan menangis atau mengamuk.

- Tidak tahu bahaya.
Maisan tidak akan tahu bahayanya naik sepeda di jalan raya. Setelah peristiwa itu, saya memberitahu beberapa hal, kenapa saya tidak membolehkan dia naik sepeda lagi. Ternyata dia mau mengerti. Menangis hanya di awal-awal saja.

-  Manja.
Kalau apa-apa disetujui dan diberi, Maisan justru akan manja. Merasa bahwa semua bisa didapatkan.

Jadi tidak semua keinginan langsung dituruti, jika berbahaya memang tidak perlu ditawar-tawar. Hanya tentang bagaimana kita menyampaikan kepada anak bahwa ada yang bisa dilakukan sekarang, besok, atau malah sebaiknya jangan dilakukan. 

Saya pun minta bantuan suami untuk menambahkan nasihat pada Maisan. Kebetulan, anak saya sangat lengket dengan abinya. Alhamdulillah masalah naik sepeda dan lainnya yang kudu dituruti sudah teratasi. Mudah-mudahan masalah lain pun dapat kami temui jalan keluarnya. Aamiin.



Comments

  1. iya mbak saya juga kesulitan dengan permintaan anak yang kadang semaunya sendiri...
    anak saya sudah besar jadi defensifnya juga tinggi...
    ujung-ujungnya bertengkar deh... :)

    ReplyDelete
  2. Tambah besar, tambah tantangan, ya, Mbak Anjar ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara