Sekelumit Kisah Seorang Ibu dan Para Pemburu Ketamakan






Orang-orang penduduk Desa Tegalan beramai-ramai menitipkan uang mereka kepada orang yang dipercaya. Mereka mengatakan istilahnya Falas. Orang kampung tidak kenal istilah trading. Dan entah apakah itu trading atau bukan. Mereka hanya tahu jika menitipkan sejumlah uang, maka setiap bulannya akan mendapatkan sejumlah uang yang bila dijumlahkan selama satu tahun, maka hasilnya akan lebih banyak dari modal . Berlipat-lipat.
Tukang ojek rela menjual motornya, uang hasil penjualan dititipkan untuk falas. Para pemilik tanah menjual tanah mereka, uangnya dititipkan juga. Di Desa Tegalan memang ada empat orang yang dipercaya sebagai penitip. Kehidupan empat orang tadi memang sangat berubah. Rumah yang tadinya sederhana menjadi megah. Semua kamar memakai AC. Untuk membayar parkir di swalayan, satu d antara mereka memberikan uang seratus ribu kepada tukang parkir, tanpa kembalian.
Bu Siti sudah dibujuk delapan adiknya untuk ikut menanamkan uang di falas. Beliau bahkan diancam dengan kasar ketika menolak sambil memberi alasan, “Takut kurang berkah. Nanti kalau bangrut, dan uang mandeg, bagaimana?”
“Hati-hati kalau ngomong, Yu. Kalau tidak, rumahmu bisa dibakar.”
Begitu lah kira-kira dialog antara Bu Siti dengan seorang adiknya. Bu Siti tentu saja sakit mendengar hal itu, beliau pun menceritakan semua pada Lula—anak sulungnya.
“Ya sudah, Mak. Tidak usah banyak bicara. Tidak mau, ya bilang saja memang tidak pegang uang banyak. Tanah yang ada bukan untuk dijual, tapi dirawat.”
Adik-adik Bu Siti mulai berbeda. Ada yang beli motor baru, dan lainnya. Ibunya Bu Siti juga ikut menanamkan modal di falas. Seperti orang banyak, beliau juga tergiur uang yang melimpah.
Sayangnya, keinginan untuk mendapatkan banyak keuntungan terlihat kurang realistis. Terkesan ambisius. Nyata sekali ngoyo. Uang yang semestinya mereka terima per bulan, bukan diminta dalam bentuk uang tunai, tapi ditambahkan lagi sebagai modal. Keuntungan berlipat-lipat terbayang di pelupuk khayal. Mereka juga tidak memiliki bukti berupa kwitasi serah terima uang, boro-boro perjanjian hitam di atas putih. Lula menganggap itu sebagai angin. Ada rasa embusannya, tapi bisa pergi kapan saja. Lula yang berpendidikan sangat hati-hati dalam bersikap. Sebagai anak sulung Bu Siti yang belum menikah pada usia 27 tahun, sedikit saja bicara bisa disumpahin menjadi perawan tua. Kasar.
Karena merasa mendapat tekanan, Bu Siti bicara dengan seorang berilmu agama dan sudah sepuh. Minta nasihat, bagaimana agar hati tidak kemrungsung bila terus-terusan diajak ikut gabung.
“Lihat saja lima tahu lagi akan banyak orang gila di kampung ini.”
Jawaban yang tidak terlalu panjang, dan terngiang di benak Bu Siti. Setelah mendapat kalimat itu, Bu Siti menyampaikannya kepada Lula. Suaminya juga setuju. Tidak perlu ikut-ikutan.
“Harta dunia kan sebatas penegak tulang punggung, bukan tujuan utama dalam hidup.”
***
Lima tahun berlalu ...
Lula sudah menikah. Suami Bu Siti pun sudah meninggal dunia. Bu Siti tinggal seorang diri di Kampung Tegalan. Maksudnya tanpa anak-anaknya.
“Kamu tahu tidak? Kalau di sini gerimis malam-malam ada tangisan rintih seorang gadis?”
Pertanyaan Bu Siti kepada Lula pada suatu kesempatan membuat anak sulungnya berpikir keras. Sejak kapan ibunya tertarik dengan dunia astral?
Terkuak lah cerita. Orang-orang yang menanamkan falas semuanya bangkrut. Uang macet entah di mana. Orang-orang yang dititipi stres berat. Dan seorang di antara mereka, putrinya mati dengan tidak wajar. Katanya terkena ilmu hitam. Dari kepalanya ditemukan kawat dan mercon (petasan). Na’udzubillah.
Seseorang lain telah mengirimkan pesan melauli SMS. Ada ancaman kepada bapak pemegang modal, jika tidak dikembalikan uangnya, maka akan ada anak yang mati mengenaskan. Dan itu terjadi.
Lima tahun yang diprediksi oleh orang beragama yang sudah sepuh itu benar-benar menjadi kenyataan. Gila dalam arti yang luas. Sekarang, adik-adik Bu Siti terdampar dalam penyesalan yang tiada berujung. Tanpa perlu bicara, Bu Siti telah menunjukkan mana yang benar dan mana yang menuruti nafsu.

Kisah nyata. Penulis kenal baik dengan Bu Siti dan Lula.
Nama sengaja disamarkan.


Comments

  1. Tambah nggak karu2an dunia. Barokallah, sukses dengan ODOP Mbak Kayla

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Sekarang rumah-rumah mereka menyisakan bekas keinginan tuannya.

      Delete
  2. Astagfirullah...
    Riba juga itu ya mak...
    Kasian mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah tidak ada istilah riba bagi mereka. Mudah-mudahan sudah pada insyaf dan kembali ke jalan yang benar.

      Delete
  3. ooh itu semacam menanam modal kepada lintah darat kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jelasnya tidak ada yang tahu, karena tidak ada akad lain, selain menanamkan falas.

      Delete
  4. inna lillaahi wa inna ilayhi roojiuun. judulnya sangat tepat mbak.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara