Waduh! Lampu merah dan sepi. Pasti deh pak bos tetap
tancap gas. Nah-nah! Beneran, kan? Apa dia enggak sayang tuh sama nyawa. Dan
kalau bres-gedubrug-duar, apa enggak kasihan sama aku? Benar-benar kelewatan!
Sejak lima tahun bersama. Aku selalu deg-degan ikut dengan pak bos. Lebih
nyaman ikut bu bos. Padahal, bu bos sudah memberi peringatan lebih dari seribu
kali atau lebih. Dan sebanyak itu pula pak bos membuat pelanggaran. Sering.
“Pakai helm, Pak,” pinta bu bos suatu pagi.
“Kan sudah ada peci. Sama saja.”
Aku terkekeh mendengar jawaban konyol ustaz muda itu. Ya, pak bosku
sendiri. Iya sih sama-sama ada di kepala dan berfungsi sebagai penutup, tapi
helm kan sudah didesain sedemikian rupa. Jadi kalau bres-gedubrug-duar, pengguna sepeda motor sudah berusaha melindungi
diri. Lah ini? P-e-c-i! Sejak kapan peci memiliki sistem perlindungan serupa
helm. Kadang-kadang aku heran, kenapa orang yang sekolah setinggi pak bos masih
punya pemikiran yang tidak masuk hati. Apalagi masuk akal.
“Mbokyao jadi warga negara yang baik, Pak. Masa mau ikut-ikutan jargon peraturan itu ada untuk dilanggar!” sungut
bu bos sambil mengibas-ngibaskan sulak. Sekarang tangan kirinya mengangkat kain
lap dari atas pundak. Kedua benda itu bergoyang dan melambai seolah ikut
mendukung ucapan bu bos.
“Jarak dekat, Bune! Rasah helm-helman. Ribet!”
Jawaban itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Pak bos langsung ngacir dengan
kecepatan tinggi. Bu bos geleng-geleng dengan wajah penuh sesal. Setiap pagi
beliau selalu berpesan tentang Savety
first[3], tapi pak bos belum juga
insaf. Aku ikut menunggu, kapan bisa melihat pak bos menjaga ketertiban,
keamanan, dan keselamatan dirinya. Sangat menunggu.
Pak bos kok menaikkan kecepatan sih? Jalan kan lagi rame
banget. Ini kebiasaan kalau lewat jalan lurus. Nah, itu lagi. Hampir semua
pemakai sepeda motor yang lewat di sini merasa dirinya Valentino Rossi atau Lorenzo! Mana truk-truk yang ngangkut pasir dari Merapi bersliweran lagi.
Semoga saja tidak bres-gedubrug-duar.
***
Lega rasanya bisa sampai rumah. Sepanjang perjalanan dengan pak bos
terus-terusan deg-degan. Boro-boro bisa menikmati halusnya jalan, segarnya
angin berembus, atau indahnya keramaian kota. Sekarang, aku bisa istirahat. Mendinginkan
badan dan menenangkan diri. Kulihat helm berderet di samping rak sepatu. Pengaman
kepala sebanyak itu kok masih malas memakainya. Pak bos ... pak bos.
“Pak, nanti aku mau pakai Moren ke kondangan, ya?”
Aku mendengar permintaan bu bos di ruang makan. Antara tempatku berada dan
ruang makan hanya terhalang dinding triplek. Dengan leluasa dapat kudengar
perbincangan mereka. Asyi...ik mau pergi
sama bu bos. Kira-kira mau ke mana, ya? Ah, yang penting bu bos itu orang
yang mentaati aturan TAS. Apaan tuh? Itu lho Tertib, Aman, dan Selamat dalam
berlalu lintas. Enggak bakal ada yang namanya ngebut walau jalan lengang. Menerobos
lampu merah? Paling anti. Bu bosku pernah bilang pada pak bos, “Kita itu
berhenti karena aturan. Bukan karena ada polisi, banyak kendaraan, baru ngerem.
Sepi ya tetap berhenti.”
“Boleh. Aku istirahat
dulu. Capek banget nih. Besok mau berangat pagi-pagi. Kalau bisa jam enam pagi
sudah cap cus dari rumah.”
Wanita anggun itu memakai kebaya oranye, dan helm hitam. Di lengannya ada
tas berukuran sedang, warnanya senada dengan kain selendang. Dia mengusapku
beberapa kali dengan lembut, mengecek surat-surat kendaraan, dan berucap, “Beres.”
Sayang, aku tak bisa bicara jadi sulit sekali menyampaikan rasa terima kasih.
“Kita pergi, Moren!”
Eh, ya. Bu bos lah yang memberi aku nama Moren. Sebab itu lah aku merasa
seperti anak kandung yang dilahirkannya. Dia merawatku dengan penuh kasih
sayang. Tahu persis kapan aku butuh istirahat, atau kepanasan. Hal lain yang
membuat bu bos tambah bijak adalah ucaan beliau, “Pakai motor itu enggak perlu
gugup-gugup. Kalau memang kesiangan, ya wajar telat. Itu resiko. Telat tidak
perlu membuat kita jadi lengah, ngebut, akhirnya hati tambah tidak tenang.”
Andai saja orang Indonesia sebaik bu bos pemahamannya. Kejadian bres-gedubrug-duar tidak akan banyak
terjadi. Jalan raya lebih tertib, hati jadi tenang. Sayang, sebagian mereka
lebih memilih menjadi jagoan di jalan raya. Bisa mendahului kendaraan dengan
kecepatan tinggi malah bangga. Yang disalip juga bersumpah serapah. Kalau begitu
terus, cuaca panas bertambah gerah.
***
Pak bos keluar dari pintu di belakangku. Sepatunya kinclong, rambut juga. Kalau
ada lalat mau piknik, mampir di rambut pak bos pasti bakal kepleset. Bajunya berwarna
keki. Tas punggung hitam terlihat menggembung. Jaket bau melati. Segar. Kalau mau
pergi dengan pak bos, aku sudah menyiapkan rapalan mantra. Banyak.
“Enggak usah ngebut-ngebut, Pak. Yang penting selamat,” pesan bu bos setelah
mencium punggung tangan suaminya. Pak bos tidak menjawab. Dia hanya melihat jam
di pergelangan tangan kiri, memakai jaket, dan siap meluncur.
Jalan Wonosari memang masih sepi. Setelah melewati perempatan di dekat
taman bermain Kids Fun, pak bos langsung lupa diri. Apalagi pesan istri. Ditambah
sekarang kan tidak membonceng bayi. Dulu tuh pernah, waktu anak pak bos masih
berusia tujuh bulan. Kecepatan motor di atas 100 km/jam. Temannya sampai gemas
dan berpesan, “Idih! Hati-hati, Pak. Bawa bayi kok ngebut-ngebut. Kalau jatuh
terpental, gimana?”
Di depan ada seorang ibu naik motor matic. Dari tadi
tengak-tengok dan ke tengah tanpa menyalakan lampu riting. Ibu itu membonceng
tiga anak dengan seragam berbeda. TK, SD, dan SMP. Agaknya sedang buru-buru. Pak
bos masih tancap gas.
“Waduh, Pak. Aw—”
Ibu tadi berhenti mendadak. Pak bos banting setir ke kiri. Akhirnya peristiwa bres-gedubrug-duar terjadi. Aku
menjerit. Agaknya spion kiri memilih pergi dan ngeloyor ke dekat trotoar. Pak bos
meringis memegangi lengan kiri. Dia bangun dengan terpincang. Mencoba menegakkanku, dan meringis lagi. Seorang yang baik datang. Pak bos menepi.
Untung lah tidak terlalu serius lukanya. Masih bisa melanjutkan perjalanan.
Setelah mengucapkan terima kasih, pak bos membawaku meluncur lagi. Ibu yang
aneh tadi entah sudah di mana. Begini ini kalau susah dinasihati. Tubuhku jadi
lecet-lecet. Kalau boleh memilih, aku mending di rumah dan tidak keluar sama
sekali. Sadar dong, Pak bos.
Kecepatan yang dipakai pak bos berkurang. Aku merasa lebih tenang. Sebenarnya
andai pak bos hati-hati sejak awal. Tak perlu lah menunggu bres-gedubrug-duar, baru waspada. Banyak yang menantikan ilmu dari
pak bos. Anak-istri juga masih sangat peduli, dan mengharapkan orang tercinta
mereka pulang dengan selamat. Iya memang, mati urusan yang di atas. Tapi kalau
enggak hati-hati, apa bedanya dengan bunuh diri?
***
“Welah, Pak. Kenapa terpicang-pincang?”
Pak bos memarkirku di halaman. Dia jalan, lalu duduk
selonjor di teras. Bu bos mendorongku masuk garasi. Setelah diceritakan apa
yang terjadi. Bu bos hanya diam dan mengambil perlengkapan P3K. Duh, bu bos ini
ternyata luar biasa baiknya. Kalau aku yang jadi bu bos, pasti sudah
ngomel-ngomel tidak karuan. Ternyata ngomel-ngomelnya pada saat sebelum bres-gedubrug-duar saja. Wanita langka.
“Jadi, Sampeyan masih ngebut? Ya sudah.
Ini pelajaran. Sekarang istirahat dulu. Ibu sudah menyiapkan menu makan siang
kesukaan Bapak. Sementara, tidak usah pakai baju atau kaus lengan panjang dulu.”
Dengan kejadian ini. Aku ingin
sekali menuliskan surat untuk teman-teman pemakai jalan raya. Semua. Setidaknya
isi suratnya, begini :
Salam
hormat.
Kawan ...
Tak usah kau sibuk mendahului puluhan kendaraan
Jika terlambat sampai tujuan
Cukup utamakan keselamatan
Diri berusaha menghindar dari kecelakaan
Utamakan TAS (Tertib, Aman dan Selamat)
Salam cinta
Moren—Motor keren
Sekian-PC-Yk,
24.102015
Cerpen ini dikutkan pada Kompetisi Menulis Fiksi yang diadakan oleh nulisbuku bekerjasama dengan Astra Honda
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara