Keinginan



Manusia memang dipenuhi keinginan. Jika sudah tercapai satu cita maka akan beralih pada tujuan lain. Tidak jauh berbeda dengan suami saya. Ketika baru menikah saya pernah bertanya pada suami, “Kak, pengennya Adik langsung hamil atau tunggu dulu beberapa waktu?”

Dia menjawab dengan cepat, dan wajah bersemangat, “Ya langsung hamil lah. Kayaknya tiap laki-laki yang sudah menikah juga ingin segera punya anak deh.”
Dalam hati saya menjawab dan berdo’a, mudah-mudahan Allah SWT mengijabahi keinginannya. Setelah mendengar jawaban itu saya menambahkan satu do’a usai shalat. Memohon agar segera hamil. Terkesan memaksa dalam meminta, ya?
Seminggu setelah menikah suami mulai bercerita tentang temannya yang sudah punya anak. Tampak jelas di wajahnya keinginan memiliki anak kian membara. Saya hanya mendengarkan seraya bertasbih. Mudah-mudahan segera hamil.
“Usia anak temanku sekarang sudah empat bulan. Dia satu tahun setelah menikah, istrinya baru hamil. Katanya … biar cepat hamil kamu bisa makan taoge, Dik,” ceritanya di saat kami berbaring menatap langit-langit kontrakan selepas Isya.
Setelah cerita tersebut suami kadang pulang membawa taoge. Saya pun sebenarnya sudah beli. Dalam hati sebenarnya juga berdo’a mudah-mudahan saya bisa diam dalam mengaminkan keinginan suami. Jangan sampai terpancing amarah.
Bisa saja saya katakan, “Kita kan baru kemarin nikah.” Atau, “Mbokyao sabar sih kenapa?” tapi rem dalam hati saya Alhamdulillah masih menang.
Ketika usia pernikahan masuk minggu kedua (masih baru banget, kan?) suami berinisiatif mengusulkan untuk membeli test pack. Saya pergi ke apotek dan memilih test pack dengan harga paling mahal yang ada di sana. Paginya ternyata hasil masih setrip satu. Kecewa? Tentu saja!
Empat hari sesudahnya saya keluar bercak merah. Saya menghentikan aktifitas senam. Mungkinkah saya hamil dan ini darah flek seperti yang dulu pernah diceritakan teman? Kebetulan saya baru suci ketika akad nikah, hingga saya yakin itu bukanlah datang bulan. Kali itu saya minta tolong suami untuk kembali membeli test pack.
Begitu pukul tiga dini hari saya mencelupkan alat itu ke dalam urine. Wah, ternyata garis merahnya ada dua. Saya menunggunya beberapa saat dan warna garis test pack semakin pekat. Merah; setrip dua! Allohu Akbar! Saat itu suami masih di masjid. Dia memang biasa ke masjid dari pukul tiga hingga subuh.
Begitu suami pulang dari masjid, saya serahkan kotak kecil bersampul biru. Test pack.
“Kak, Adik positif.”
Suami saya tersenyum dan segera memeluk saya. Saya menitikkan air mata. Ternyata Allah begitu adil dan sayang terhadap saya. Siangnya kami ke dokter. Saya dinyatakan flek dan diberi penguat rahim. Semua olahraga diminta dihentikan dulu. Saat ini anak tersebut sudah berusia empat tahun. Alhamdulillah ‘Ala Kulli Haal.
Penulis tinggal di panti asuhan yatim putri Khairunnisa
Kuton-Tegaltirto-Sleman-Yogyakarta

Comments

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara