Belajar Mengubah Amarah Menjadi Do'a-Do'a Penuh Berkah

Belajar Mengubah Amarah Menjadi Do'a-Do'a Penuh Berkah
Melihat senyum mereka, ada penyesalan bila usai marah. Foto koleksi pribadi.

Dari Abu Hirairah R.A bahwa ada laki-laki bertanya kepada Nabi S.A.W : "Beri aku wasiat." Beliau menjawab, "Jangan marah." Orang tersebut kembali menanyakan hal sama berulang-ulang. Kemudian Nabi S.A.W tetap bersabda, "Jangan Marah." (Hadits Riwayat Bukhari)


Marah bagi saya adalah kondisi di mana hati, pikiran, dan badan tidak dapat saling kompromi dalam menyikapi sumber emosi. (Siapa saya juga bikin istilah sendiri).Krompyang.

Terlepas dari sebuah arti apa itu marah, hal ini sepertinya berbanding lurus dengan masalah dan kekuatan menahan marahnya manusia. Kadang, bahkan lebih banyak, sumber kemarahan yang sebenarnya adalah diri sendiri. Saya lah yang kurang begini, saya yang belum begitu, pas ketemu moment yang tidak sesuai dengan hati ... hyaaa! Kesempatan pun datang, marah pun meradang.

Bagaimana saya dengan anak-anak?
Mungkin saja ini tidak hanya terjadi pada saya, oleh karenanya saya akan menuliskan bagaimana usaha saya pribadi ... tidak terkait dengan perjanjian pada orang apalagi perjanjian royalty (nah, mulai deh ngelantur) dalam menyikapi marah.

Maisan (anak sulung saya yang baru 4 tahun lebih) memang tidak bisa disamakan dengan anak-anak lain. Hal ini masih menguji saya. Hampir satu bulan dia masih saja minta ditunggu sekolahnya. Adiknya, Byan pun bertambah pintar mengaduk perasaan saya. Semua itu bertepatan dengan cucian yang menumpuk dan tanggal tua. Et daah. Apa hubungannya? Sebentar, tahan dan baca dulu. Paling 10 menit juga kelar.

"Mi, aku enggak mau di sekolah sendiri"

"Kenapa?"

"Takut sama bu guru."

Ini bukan sekali dua kali diucapkannya. Dia bahkan membawa alasan ini hingga menjelang tidur. Kadang, anak berambut cepak ini juga minta tidak masuk dengan alasan senada.

"Kak, mereka juga baik kok. Nanti dicoba ya, kalau kakak haus, coba minta minum. Kalau dikasih berarti bu guru baik. Ya? Ya? Ya?"

Maisan masih ragu, tapi saya sengaja tidak membawakan dia air minum. Dia pun bilang pada satu di antara para gurunya. Senyum terlihat nyata saat netranya menangkap segelas air bening disodorkan.

Apa ini membuatnya langsung berani? Jawabannya adalah b-e-l-u-m.

Saya yang memiliki masalah dengan cucian dan tanggal tua, akhirnya tergoda untuk merasa kesal. Rasanya tuh pipi yang tembem pingiiin deh tak cubit. Ah! Tapi saya tahan. Kalau pas muda mah bisa kali ya mukul-mukul sand bag kalau emosi. Ini adanya anak-anak, masa mau dijadiin sand bag juga? Hmf.

Saya bawa masalah Maisan ke hadapan-Nya. Dengan segenap rasa ingin menjadi lebih baik, saya pintakan kebaikan untuk saya, dan anak saya. Jika memang yang terbaik bagi kami adalah menunda kapan saatnya Maisan bisa ditinggal di kelas, maka mudah-mudahan kesabaran saya ditambah. Saya juga meminta agar rasa marah ini tidak meletup. 

"Mi, aku libur, ya?"

Ini sebuah permintaan yang datang pada Hari Jum'at. Saya ragu, tapi saya coba mengiyakan, namun dengan syarat. 

"Boleh sih. Tapi, janji ya besok Senin berangkat dan jadi pemimpin upacara?"

"Iya!"

Seriuskah?

Ada keraguan menyelinap dalam hati ini.

Tidak! Saya tidak boleh ragu. Do'a-do'a pun ditambahkan. Mungkin hal ini terlihat jadi mengurangi disiplin, namun, bagi saya, ibarat anak panah, saya berharap kali ini sedang menarik busur dengan kuat ke belakang, hingga pada saat saya melepaskannya akan melesat dengan kuat, pun tepat sasaran. 

Hari Senin pun datang. Tepat satu bulan Maisan masuk sekolah. Dan Anda tahu apa yang terjadi pada anak saya? 

Bersambung pada Tulisan : Membantu Anak Percaya Pada Orang Lain 
yang In Syaa Allah akan tayang Senin, 14.09.2015

Comments