Alasan Kenapa Saya Memanggil, Mas ...

Koleksi Pribadi

Saya pernah memanggil teman media sosial dengan panggilan : Mas, tapi usia teman saya itu lebih muda dari usia saya. Awalnya dia enjoy, karena menyangka saya lebih muda. Begitu tahu yang sebenarnya, dia marah. Serius. 


Kejadian itu sebenarnya sudah lama, tapi dari kemarin saya mengamati beranda media sosial, ada yang memiliki panggilan masing-masing. Jadi saya putuskan menulis saja. Daripada keburu hilang dari pikiran.

Ada seorang ibu yang lebih tua secara umur, tetap memanggil Bapak kepada seorang kawan laki-laki dengan usia lebih muda. Kalau dipikir, masih sah juga si ibu tadi memanggil "Nak." Atau "Dik." Dan saya yakin, si ibu memiliki alasan kenapa beliau memanggil demikian.

Untuk beberapa orang, saya memangil Bunda, Ustadzah, atau Dik. Semua bukan tanpa alasan, apalagi hanya sebatas ikut-ikutan. Sebelum saya berurai air mata, eh, aksara maksudnya. Akan saya tuliskan tentang sesuatu yang populer di kalangan orang Jawa (saya kelahiran Cilacap). Namanya ... unggah-ungguh. 

What the meaning is unggah-ungguh?

Bahasa mudahnya adalah tata cara atau etika.
Arti kata ungguh adalah bagaimana kita bersikap kepada orang lain saat berinteraksi,  berdasarkan pada strata/tingkatan/kasta/level-nya.

Saat saya memanggil Mas, bukan berarti ini hanya berlaku untuk yang lebih banyak bilangan umur. Contoh nyata pertama adalah jika anak Pakdhe saya lebih muda, dan dia perempuan. Saya tetap memanggil Mbakyu ... bukan Dik. Kenapa? Karena secara hierarkri memang dia adalah kakak saya, tidak peduli apakah badannya lebih mungil, atau usianya jauh di bawah saya.

Dan ... 
Sebagai contoh kedua .... Di tempat saya lahir, sudah biasa memanggil anak kecil, baik TK atau SD dengan panggilan Mas, atau Mbak. Pemanggil bukan sama-sama anak kecil, tapi mereka adalah para orang tua. Kok bisa? Soalnya para orang tua memanggil demikian untuk mengajari anaknya yang masih orok. Repot amat sih orok aja diajarin? Ya ampuuun. Bukankah pelajaran mereka sudah lama dimulai? Sejak sebelum lahi, lahir, dan dalam gendongan ... bahkan sejak bapak ibunya belum bertemu. Etdaah. Ini bukan mau membahas pendidikan, tapi hanya nyerempet sedikit. Sah?

Seperti kisah kedua, saya sering menerapkan ini dalam pergaulan dunia maya. Saya memanggil semua teman laki-laki yang belum terlalu lama kenal dengan panggilan Mas, atau Pak. Karena saya belajar mengajari anak-anak saya yang masih balita. Lho? Memangnya anak-anak sudah punya chanel medsos? Ya belum sih, tapi kan pembiasaan itu membentuk karakter, kalau saya terbiasa memanggil nama saja, nanti dalam dunia nyata takut kebawa. Bisa berabe kalau anak saya yang 4 tahun panggil abinya denga HAMDAN saja. Atau saya dengan UUL saja.

Memang ...
Kalau di luar negeri, ala-ala Amrik dan tetangganya sana, semua memanggil orang dengan namanya. Anak-anak yang memiliki bapak bernama Mike, dia bisa memanggil Mike saja, selain Dad. Yang ibunya bernama Caterine, juga hanya panggil Caterine, selain Mom. 

Apa jadinya kalau yang memanggil nama saja diterapkan di Jawa? Namanya tidak sopan ... sembrono luar biasa. Bisa memicu kemarahan. Gawat banget, kan?

Intinya, memang saya tetap bisa mengubah panggilan, sesuai keinginan Anda. Tapi, dalam tahap awal saya masih memakai unggah-ungguh seperti di atas. Meminta atau bicarakan secara baik tentang panggilan pada teman akan lebih nyaman. Toh dengan tahu yang seperti ini, wawasan bertambah, jadi tahu muatan lokal ... bisa jadi pacuan cinta pada budaya sendiri.

Ini persepsi saya. Kalau ada yang berpendapat panggilan secara islam bagaimana? Ya boleh share di sini. Atau mungkin, saya akan menuliskannya suatu saat nanti. 

Comments