Saat Ladang Tetangga Terlihat Lebih Rimbun

Sumber dari sini

Aku mengenalnya memang belum lama. Bilangan tahun jika dihitung dengan jari belum habis satu tapak tangan. Kami jarang berkomunikasi, tepatnya karena aktivitas dan kebiasaan yang berbeda mendukung tak saling jumpa. 

Dia wanita yang anggun, ke mana-mana memakai Honda Jazz merah. Seulas keceriaan terpampang nyata dari wajahnya. Saat kami bertemu, aku belum memiliki pekerjaan, suamiku masih kerja serabutan.

"Dia kaya, dan menawan. Kurang apa lagi?"

Aku selalu bersemangat jika membicarakan dia. Suamiku hanya menjadi pendengar, menjawab pertanyaanku yang berapi-api dengan deheman dan tarikan napas panjang. Dia seolah menyimpan sesuatu. 

"Dia sudah lebih dari sembilan tahun menjadi motivator, Sayang. Banyak yang terbangkitkan semangatnya setelah kenal dengannya," cerita suami menambahkan rasa terpana dalam hati ini. Benar-benar wanita yang luar biasa.

Aku?

Bila disandingkan, aku dan dia mirip angka sepuluh. Rentetan kata yang kutuliskan mewakili angka mana di antara 1 atau 0 kah diriku? Ya! Kamu benar aku sebagai si angka 0. Itu baru satu. Belum jika dilihat dari penampilan. Pipinya tak pernah terlihat pucat, memang sih mungkin efek blush on, kulitnya cerah, bibirnya basah, berbicaranya penuh gairah. Ah.

Bilangan detik menggulung waktu. Jam berkejaran dengan hari. Aku makin mengagumi sosok itu. Sampai suatu siang, ada berita menyapa gendang telinga. Suamiku mengatakan tentang dia ... ada rasa bersalah bahwa aku selama ini begitu menginginkan keadaan si wanita itu.

"Dia ... belum berhasil membina rumah tangga. Satu kali menikah, cerai. Yang kemarin, dia kepergok selingkuh oleh suami keduanya."

Aku seperti mendapat tonjokan bertubi-tubi dalam detak nadi. Betapa banyak hal yang dinikmati, namun lalai disyukuri. Termasuk kesehatan, keluarga, dan teman-teman. Mereka ada untuk disyukuri bukan untuk dibanding-bandingkan layaknya saat aku membandingkan diri ini dengan dia ... wanita yang selalu membuatku iri dan berdecak.

85 % fakta
15 % fiksi

Comments

  1. Apa yang tampak memang berlainan betul dengan kenyataan. Love this note Mbak Kayla....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan yang paling mendramatisir keadaan sebenarnya pikiran sendiri.

      Terima kasih kunjungannya, Kak Idrus Dama :)

      Delete
  2. hhe itu kenapa di sebutin presentasenya mbak?
    tapi emang benar sih hidup kadang seperti itu. selalu saja ada kelebihan dan kurangan. setidaknya kita mensyukuri keadaan kita sendiri hhe

    ReplyDelete
  3. Biar enggak ada yang nyangka 100 nyata, Mas Ade Nurakhmat ... :)

    Jadi ingat istilah orang Jawa, "Sawang Sinawang." Maksudnya kita hidup saling melihat, kehidupan orang lain, apa yang kita nilai belum tentu benar. Tapi paham Sawang Sinawang lebih mengarah untuk introspeksi daripada tidak bersyukur.

    Terima kasih sudah berkunjung, Mas ...

    ReplyDelete
  4. Hihihii

    Presentase nya manteb, Mba.

    Kadang kita suka lupa bersyukur dengan apa yang kita miliki.

    Banyak-banyak istighfar dah

    ReplyDelete
  5. Mbak Ahliah Citra ...

    Hehe, itu memang bukan murni nyata :)

    Iya ... sedang belajar untuk terus bersyukur ... Terima kasih untuk kunjungannya ...

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Ow, aku bgt ini. Syukur ... syukur ... mudah (diucap ditulis) tapi susah (diimplementasikan). Kefiktifan 15% itu yg mana saja ya ... heheu

    ReplyDelete
  8. Yang 15 % ... mana ya?

    Tulisan ini juga mengingatkan diri sendiri

    ReplyDelete
  9. memang mbak...kadang kita memang kurang bersyukur dengan diri kita ya mbak...alias wang sinawang..

    ReplyDelete
  10. Yupz, Mbak Prana Ningrum ... semoga ke depan kita dapat lebih bersyukur ... Aamiin

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara