Saya akan posting cerpen yang menjadi juara 3 di Festival sastra bulan April 2015. Menurut yang sudah membaca, ada yang suka, dan ada juga yang pusing. Saya sengaja tidak mengeditnya, agar bila suatu saat harus diabadikan, biar saya edit di luar postingan ini. Naskah juga pernah diposting di Gramedia Writing Project.
Kebul-kebul perjaka
nguntut bekatul
Umahe nang pesisir
kidul
Tabage jaro pulutan
Tembang berbahasa Jawa, Banyumas itu mengalun, membuka acara Cowongan—ritual
pemanggil hujan. Seperti kelapa dengan tempurung. Tradisi leluhur ini masih
melekat erat di sanubari penduduk pinggir kali Plana[2]. Benda tak bernyawa—mirip
orang-orangan sawah itu pada saatnya akan bergerak-gerak. Konon … bidadari
sudah turun. Kalau ada lengkung pelangi,
itu pertanda Dewi Sri—Dewi kemakmuran, turun dari sana. Mungkin hujan akan
mengiringi sesudahnya. Jika belum? Akan ada bilangan hari ganjil yang
melanjutkan ritual ini. Hari ketiga, kelima … dan seterusnya.
Akhir mangsa
kapat—penanggalan Jawa, bertepatan dengan bulan
September dengan tanah retak. Kering. Serupa itulah cintaku pada Kang Parlan.
Berganti musim, berubah rasa, beriringan dengan mangsa. Apakah ada ritual
Cowongan untuk mengharapkan hujan cinta? Ada-ada saja pikiran ini. Jika
memang ada, aku orang pertama yang akan melakukannya.
Kulirik sembilan wanita lain yang menjadi pelaksana
ritual Cowongan. Mata ini memanas, menyorot satu lekuk tubuh indah milik
Gayatri—wanita yang suaminya terkenal mandul, tapi punya anak. Kubandingkan
tubuh gendutku dengan posturnya. Jauh, sejauh timur dan barat. Satu-satunya
yang sama adalah karena aku dan Gayatri sama-sama wanita.
Ah! Setiap kali aku melihat wajah belia anaknya itu,
aku seperti tak asing dengan rupanya. Seolah sudah betahun-tahun aku hapal
guratan alis tebalnya, tapi, anak itu belum genap dua jari tangan usianya.
Kulitnya bersih mirip Gayatri. Tiba-tiba pengandaian memiliki anak begitu
gemerincing mengguncang lonceng jiwa. Gemanya menyatroni pikiran ke mana pun
raga berlalu.
“Mbekayu Sulasih tidak usah khawatir
begitu. Kang Parlan orangnya anteng.
Mau bantu-bantu ngucek cucian. Coba lihat suamiku! Tiap hari minta makan enak,
tapi kerjaannya hanya menyabung ayam. Mau dapat uang dari mana coba? Tanah
warisannya satu persatu dijual, dibuat beli ayam jago, lalu diadu. Terus itu …
matanya suka lirak-lirik kalau melihat perawan cantik.”
Yu Darmi selalu berhasil membuatku sedikit tenang
ketika kuungkapkan keraguan cinta pada Kang Parlan. Laki-laki yang punggungnya
melengkung karena menderes nira itu juga tak mau memaduku. Ya! aku pernah
mengusulkannya untuk kawin lagi. Biar kami punya anak. Sebab setelah keguguran,
dan kista … rahimku diangkat.
“Istri satu saja repot ngurusnya. Bagaimana kalau
tambah?” goda Kang Parlan di malam saat kami menikmati purnama.
Aku tentu saja merasa bangga. Biar pun tak bisa
memberi keturunan, tapi bisa menjadi satu
tresna—cinta di hati Kang Parlan. Dulu. Jauh hari sebelum tanah retak, saat gerimis masih setia bernyanyi
menghibur lelah para penduduk kampung ini.
***
Cowongan belum bergerak.
Malam merangkak pelan. Bulu kuduk berbaris sama
tinggi. Arak-arakan awan ditelan kelam. Sebelumnya, hampir saja sorak hati-hati
yang kerontang akan hujan menyuara. Sayang! Bukan hujan yang turun. Sebatas
hiasan alam yang segera berlalu bersama embusan bayu.
Benda itu adalah irus—tempurung
kelapa yang dijadikan media. Tembang pemanggil hujan masih berlangsung.
Pikiranku tertuju pada satu peristiwa. Saat itu aku bersembunyi di balik rumpun
pohon pisang Kepok. Dada ini bergemuruh, badan terasa panas, dan otak
sepertinya mendidih. Kaki mulai kaku, gigi pun mulai gemeretak. Di kebun milik
Yu Darmi aku melihat Kang Parlan siap beradu jotos dengan suami Yu Darmi.
“Berhenti!”
Aku datang bak wasit yang meniup peluit saat
pertandingan tinju. Kang Parlan menatapku dengan wajah pasi. Sejak itu kami
lupa … mengabaikan menikmati purnama. “Malas ah.” Begitu alasan Kang Parlan
saat kuajak ke tanggul kali untuk mandi cahaya bulan. Atau, “Sendiri saja ya?
Aku ngantuk.” Sebal.
“Kang … ada apa sih. Sampeyan—kamu, kok jadi mendadak aneh. Apa ada masalah denganku?”
Kugeser letak duduk dan mendekati Kang Parlan yang
sedang mengoles balsem di pundak. “Sini aku yang gosok,” pintaku sambil
mengambil balsem dari tangannya. Hanya
beberapa detik Kang Parlan menoleh, lalu kembali asyik dengan dirinya sendiri.
Aku mengurai huruf-huruf dalam cerita. Berpindah tentang ladang hingga dapur, dari ngrasani—membicarakan
tetangga ujung barat hingga tepi timur. Kang Parlan malah meluruskan badan. Sebentar kemudian sudah mendengkur.
Aku mencubit lengan kirinya yang keling. Kutanyakan sebuah pendapat atau
tanggapan tentang celotehku yang lebih mirip tukang jamu. Kang parlan justru
begitu enak memindah pembicaraan. Tanpa aba-aba.
“Kamu sudah dengar kan apa yang kami ributkan di
kebun pisang?”
Aku tidak menjawab. Benar-benar aku tak tahu.
“Terus sekarang kamu gimana? Mau nuntut apa dariku?”
lanjut Kang Parlan.
Aku semakin tidak tahu ke mana arah pembicaraannya.
***
Tiga wanita pemegang Cowongan mulai berkeringat.
Suara anjing hutan bersahut-sahutan di gendang
telingaku. Ingin kutanyakan apakah yang lain mendengar? Mereka masih sibuk nembang. Seharusnya aku pun ikut
komat-kamit nyuwun—meminta Gusti
Agung menurunkan rahmat-Nya berupa hujan. Kemakmuran. Persetan!
Aku tak lagi melantunkan syair-syair ritual
Cowongan. Hanya enam temanku yang masih begitu bersemangat nembang. Di ujung sebelah kiri tempat ini kulihat anak Gayatri
sedang duduk dengan seorang laki-laki. Siapa dia? Bukankah suami Gayatri sedang ngode—bekerja di luar kota?
Aku mengenali kaus yang dipakai laki-laki itu.
Posturnya juga mirip … Kang Parlan. Hmm, mungkin saja suamiku memang sangat
menginginkan anak. Lihat saja mereka tampak begitu akrab. Apa karena kita kere—miskin, Kang? Kamu sebenarnya ingin
punya anak, atau mungkin jauh di lubuk jiwamu pun ingin berganti istri, tapi
hanya bisa diam. Mungkinkah karena terikat janji pada mamakku sebelum meninggal
agar menjadikanku istri, dan hanya mati yang bisa memisahkan?
Gayatri memegang tangan kanan Cowongan. Keringat
membanjiri wajahnya. Kulihat dua teman lain normal-normal saja. Beberapa kali
tatapan kami beradu. Aku seperti melihat ada kecurigaan di matanya—melebihi
rasa iriku pada kemolekan tubuhnya.
Cowongan itu bergerak.
Dua orang kehilangan kendali memeganginya. Gayatri
berlari, dan Cowongan itu mengikutinya. Aku mengikuti mereka. Antara Gayatri,
Cowongan dan aku berlari. Kejar-kejaran. Kami seperti pelari yang memperebutkan
garis finish.
Mata Gayatri terbalik. Hanya terlihat putihnya. Dia
terus berlari menuju pinggir kali. Begitu sampai di dekat Kang Parlan dia menari.
Aneh. Apakah Gayatri kerasukan? Bingung.
“Mas … aku
mau terbang. Jaga anak kita ya?”
Ucapan itu meluncur jelas dari bibir Gayatri.
Antara percaya dan menebak-nebak. Aku amati wajah
anak Gayatri dengan wajah Kang Parlan. Ya! Mereka mirip, dan satu-satunya yang
berbeda hanyalah warna kulitnya. Anak kecil itu memiliki warna kulit sama
dengan Gayatri.
Petir menyambar.
Harimau yang lama mendekam dalam tubuhku mengaum. Cowongan
itu berhenti, namun Gayatri tetap berlari. Tembang-tembang terdengar sayup
serupa volume radio yang diputar ke kiri. Kian lama makin tak terdengar. Aku
melepas selendangku, menyabetkannya ke pinggang Kang Parlan. Dan entah apa saja
yang kusabetkan selanjutnya. Hujan deras turun. Tak ada bidadari. Yang ada
hanya malaikat kematian menyibak derasnya amarah.
“Sekarang Sulasih yang kesurupan,” ucap
seseorang—entah siapa.
“Iya. Lihat! Dia terus memukuli suaminya. Kepriwen kie?—bagaimana ini.”
“Nembang.
Nembang lagi,” usul sebuah suara.
Bersamaan dengan lantunan lagu, aku bebas
bersembunyi dalam prasangka mereka. Bebas mengamuk. Bebas melampiaskan amarah
di balik kata Kesurupan. Bajingan.
Malam Jum’at Kliwon yang tak pernah kupercayai
sebagai malam angker. Saat ini benar-benar terasa angker. Sangat! Kilauan air
hujan di rumput, daun pisang, dan pohon-pohon menyorot tubuh Kang Parlan. Sekarang
aku tahu apa yang diperebutkan Kang Parlan dan suami Yu Darmi; Gayatri.
Malam ini ritual pemanggil hujan telah berhasil.
Mengundang hujan untuk tanah retak nan gersang, juga hujan duka cinta yang
menyelimuti ragaku. Duh Gusti. Bagaimana
caraku berbakti pada suami, jika dia begitu gampang mengkhianati? Dan aku telah
memisahkan nyawa dari raganya?
Sekian. PC-Yk,
21.05.2015
[1]
Maksud/terjemah bebas : Kondisi memprihatinkan, yaitu kisah pinggiran dari
rumah berdinding bilah bambu. Seorang perjaka makan bekatul—dedak. Sebuah
ketiadaan dengan pembanding Surga yang berlimpah pepohonan.
[2]
Plana : Nama desa di Kabupaten Banyumas.
Sumber artikel tentang
Cowongan : Berbagai sumber.
bagus mbak .. :D blognya juga bagus. Ini pas saya lihat di komputer kantor. Kalau dari hape suka susah lihat blog.
ReplyDeleteCeritanya menarik :D
Terima kasih sudah berkunjung, Mbak Rosi Ochiemuh ... Waduh, jadi terharu, mana nyempetin buka pas di kantor lagi. Makasiiih.
ReplyDeleteMasih belajar merawat blog. Semoga bisa jadi lebih baik.
Salam sukses selalu