Bila Terlalu Banyak Menuntut Pada Anak (3)

Maisan yang di Depan Anak Berambut Keriting 

"Bi, motornya kok bisa mati sendiri, ya?"

Saya mengadu sambil memijit kaki. Maisan dan adiknya sedang mencoret-coret kertas dengan krayon. Ternyata suami belum tahu jawaban tepatnya. Keesokan harinya saat suami saya sudah berangkat ngajar, saya mendorong motor matic itu dan mencoba menyalakan mesin. Alhmdulillaah, nyala.


Sambil memanasi, saya mendorongnya, untung deh enggak jadi berangkat ke sekolah anak sambil jalan. Angin datang membawa kesejukan. Saya naik ke atas motor dan juga kedua anak saya. Sayang ... entah berapa kali sayang, motor jalan dan kembali mogok. Dzig. Jarum jam bagian pendek sudah melewati angka tujuh, sedangkan bagian panjangnya lewat dari angka lima. Dan sekolah Maisan masuk setengah delapan.

"Kakak, diantar Mbak Novi, ya?"

Saya meminta anak saya dengan nada gugup. Saya sudah mematok diri mengajarkan anak disiplin dengan cara tidak terlambat datang ke sekolah. Kali itu sepertinya kami akan terlambat. 

"Aku maunya sama Ummi."

Tuh, kan ... 

"Iya, udah sana. Ummi nanti nyusul. Sekarang di antar embak dulu,"

"Emoh lah. Maunya sama Ummi."

Saya mulai berkeringat. Menuntun motor dan mengembalikan ke garasi.

"Mbak, diangkat saja," pinta saya tegas. 

Wajah Maisan memelas. Saya memilih tidak menatapnya, daripada dia susul tatapan itu dengan raungan tangis.

Di sekolah, Maisan terlihat belum ada kemajuan. Minta ditemani, pun minta dituliskan. Baginya guru paling pandai adalah umminya, jadi pada saat gurunya mendekat, Maisan langsung menolak begitu saja tawaran bantuan. Jadi lagi nih ... PR saya tambah satu. Bagiamana biar Maisan percaya pada orang lain, dan merasa aman? Tapi, bukan sekarang cara itu akan saya tuliskan.

Saya juga melihat, anak-anak perempuan sudah ditinggal orangtuanya. Hanya Maisan, Raka, Akbar, Boja, dan Fadil yang masih ditunggu. Dan mereka semua anak laki-laki. Jadi mikir, jangan-jangan memang anak perempuan lebih gampang mandiri. Mungkin.

Pulang dari hari yang melelahkan, saya langsung menghadap KRT (Komandan Rumah Tangga). 

"Motornya enggak bisa dipakai."

Ternyata itu motor akinya habis. Saya memang belum tahu banyak dunia permotoran, tapi kemacetannya membuat saya bertambah rasa dibarengi dengan menemani anak ke sekolah. Besok, gimana ya?

Biar adem, lihat bungan dulu 
Hari berikutnya saya putuskan untuk jalan kaki. Di samping tempat tinggal kami ada sawah, dan jalan ke sekolah Maisan lebih singkat melalui sana. 

"Kita lewat sawah, ya ... siap?"

Maisan mengngguk senang. Saat kakinya melompati irigasi kecil, ada yang tertinggal satu; kaki kirinya nyebur, jadilah dua kakinya nyebur. Oh, Allah. 

"Gimana sih, Kak? Kok bisa jatuh?"

Pertanyaan saya mulai aneh, lawong melihat sendiri kok tanya. Saya tahan-tahankan untuk tidak bicara apa-apa lagi. Tahu kan kalau ibu-ibu stok kata-katanya enggak habis-habis? 

"Ganti celana aja, ya, Kak ... terus berangkat lagi."

Maisan memakai atasan  baju kaus oranye, dengan bawahan jins di bawah lutut. Sayang saya tidak mengabadikannya (mana sempat).

Dan apa yang terjadi saat jarak antara kami berjalan dengan sekolah TK Kuncup Melati begitu dekat?
Miasan jatuh duduk di atas air yang mengalir di pinggir sawah.

"Udah gakpapa. Kita berangkat aja, nanti malah terlambat. Oke?"

Kali itu saya langsung mengubah gejolak nestapa di dada dengan kalimat motivasi. Walau pun pengen teriak dan panggil suami, tapi itu hanya menyiksa diri. 

Di saat saya merasa lelah, antara motor yang terpaksa ke bengkel dengan nasib entah, pada waktu itu pula Maisan belum beradaptasi. Saya pasrah dan mengadu pada-Nya.

"Berilah hamba kekuatan, ketabahan, kesabaran, serta tambahkan semua itu seiring dengan bertambahnya ujian yang Kau berikan."

Paginya ada sesuatu yang mengibur.

"Mi, aku mau naik sepeda. Ummi juga, ya?"

Seolah saya tak percaya, anak yang masih malu-malu di sekolah berani bicara dan merencanakan hal yang berani. Tidak lewat sawah tentunya, melainkan melewati jalan raya. Dan artinya saya akan menjadi lebih cerewet dari petugas parkir. Bedanya .. tukang parkir yang cerewet peluitnya, sedangkan saya mulutnya, "Kiri-kiri-kiri! Ayo jalannya enggak ke tengah-tengah!"

Oh, tenyata ...
Saat saya terlalu banyak menginginkan sesuatu pada anak saya, akan ada jawaban yang menguji kesabaran. Namun, saat hati melonggar dan melibatkan-Nya dalam do'a, tidak sia-sia. Air bening tak sabar menitik dari netra. 

Kamu sebenarnya berani, Maisan .... hanya belum waktunya menunjukkan itu. Ummi percaya. Bismillah.

Tulisan sebelumnya klik saja ini 

Alhasil ...
Bila saya terlalu menuntut pada anak hanya akan mendapatkan 6 hal  :
  • Anak akan merasa tidak nyaman dengan kita
  • Mereka akan tertekan
  • Saya menjadi kurang tenang, karena merasa target belum tercapai
  • Melukai hati anak
  • Saya jadi kurang bersyukur
  • Saya menyalahkan keadaan
In Sya Allah judul selanjutnya Saat Anak yang dilupakan Memberi Kejutan

Comments

  1. betul sekali mba. anak ke2 saya juga 3 bln ditemani terus di kelasnya saya sudah pasrah aja kalo dia ga ada kemajuan terrus. eh tapi sekarang alhamdulillah udah mau ditinggal

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah. Tiap anak berbeda masa tunggunya. Hehe. Semangat, Bunda. Pada saat yang begitu lelah, biasanya ada kejutan manis yang menghapus gundah ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara