Menu Nostalgia dari Desa Kenangan

Setiap daerah memiliki menu khas tersendiri yang di-klaim sebagai ciri khas, walau pada kenyataannya ada menu serupa yang juga menjadi ciri khas daerah lain. Bukan hal yang prinsip jika memiliki nama sama, namun bumbu dan cara mengolahnya berbeda. Misalnya sama-sama ketupat, tapi ada yang bungkus daun, atau bungkus janur kuning.

Saya lahir di desa Kawunganten, sebuah kecamatan terbesar di kabupaten Cilacap. Tepatnya di dusun Tegalsari yang pada tahun 90-an masuk kategori desa IDT (Inpres Desa Tertinggal--sebuah program pengentasan kemiskinan). Desa ini memiliki ketupat unik yang dinamakan Kupat Sumpil. Kupat sendiri merupakan bahasa Jawa dari ketupat.

Kupat Sumpil biasa dimakan bersama kering tempe. 
Apa uniknya Kupat Sumpil dan kering tempe di desa kelahiran saya?

Kupat Sumpil merupakan ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Ya. Daun bambu. Sebelum dijadikan pembungkus, daun bambu dipilih yang memiliki ruas lebar, tidak terlalu kecil, karena jika terlalu kecil akan menyulitkan pembungkusan, apalagi bagi pembuat kupat pemula. Jadi sebaiknya pilihlah yang lebarnya kira-kira 4 cm. Bagi yang sudah ahli, berapa pun lebarnya tidak menjadi persoalan, paling-paling jemari sedikit butuh ketelitian. Cuci daun-daun yang sudah dipilih, lalu keringkan memakai lap kain yang menyerap.

Untuk membentuk segi tiga, cukup dipelintir bagian pangkal daun bambu. Isilah dengan setengah beras yang sudah dicuci. Pengisian setengah ini sesuai resep dari mamah saya, menurut beliau kadar tersebut tidak akan membuat kupat terlalu lembek, pun keras. Dalam mengunci akhir lipatan, dibutuhkan lidi sebagaimana kita membuat lemper. 

Proses mematangkannya bisa dikukus, juga direbus. Yang biasa dilakukan mamah saya adalah direbus. Kira-kira satu jam, kupat berbungkus daun bambu sudah padat, dan siap dibuang lidinya. Pada saat merebus kupat, kita bisa menyiapkan kering tempe. Uniknya kering tempe desa kelahiran saya adalah tidak benar-benar kering. Ibu-ibu juga terbiasa membuat Cambah Ijo sendiri. Cambah Ijo juga sering disebut Cokolan di Yogyakarta, atau Taoge--jika ekornya sudah panjang.

Bagaimana membuat Cambah Ijo yang akan menjadi campuran kering tempe?
Pilihlah kacang hijau yang baik, bisa dengan cara diayak atau membeli kacang hijau yang berkualitas. Rendam selama sehari semalam. Tiriskan. Setiap tiga jam sekali siramlah tirisan kacang hijau itu dengan air dingin, boleh matang, atau mentah. Pada hari berikutnya Cambah Ijo sudah siap digoreng.

Tempe biasa diiris sesuai selera, ada yang panjang berbentuk segi panjang, atau kotak. Mamah saya menyukai model yang pertama. Tempe dan Cambah Ijo digoreng setengah kering, untuk mengurangi kadar minyak, bisa ditiriskan setelah diangkat dari penggorengan. 

Taste yang saya rindukan hingga saat ini adalah pedas gurihnya. Saya menyukai rasa khas lengkuas yang menjadi satu bumbu pelengkap. Adapun bumbu-bumbu resep mamah adalah : Bawang putih, bawang merah, garam, lengkuas, cabe rawit merah, gula merah, daun salam, dan kecap manis. Jika memang mau, bisa tambahkan penyedap sedikit. 

Keunikan selanjutnya ada pada cara memakannya. 
Saya dan adik-adik biasa membuka daun bambu hingga hampir sampai ke ujung ketupat. Letakkan sayur kering tadi di atas daun bambu, sebelumnya daun bambu ber-sumpil diletakkan di atas meja. Kami mencuil--memotongnya sedikit demi sedikit, memasukkannya ke dalam mulut disusul dengan beberapa pungut sayur kerng. Tanpa sendok. 

Menu ini sudah menjadi incaran saya dan adik-adik jika bersilaturahim ke rumah saudara atau tetangga. Jika diingat-ingat, masa itu sangat lucu, karena kami biasa memakan menu sama di rumah yang berbeda. Dan anehnya, kami akan menuju rumah yang biasa membuat menu itu terlebih dahulu sebagai hidangan Iedul Fitri hari pertama.

Tahun ini saya tidak ada rencana pulang, jadi menu ini cukup saya kenang.

Begitulah menu sederhana idaman saya yang memiliki rasa khas. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Khulatul Mubarokah
Ibu Rumah Tangga tinggal di Yogyakarta.


Comments