Wish Me Luck


Aku tidak punya aturan. Aku hanya berusaha selalu melakukan yang terbaik setiap saat dan setiap hari -Abraham Lincoln-

Bunda Dhani masih tersenyum saat menatapku sore hari Kamis. Dua matanya terlihat segaris ketika dua sisi bibirnya tertarik simetris. Melihatnya setelah ke luar dari kamar mandi menjadi pemandangan yang manis. Meski dia memang jauh dari kata modis. Satu yang menjadi catatanku, dia jarang sekali menangis. 
Wanita berkulit putih itu meraih HP, handuk putih masih menggulung rambutnya. Dia membaca SMS yang masuk, baru saja. Bibir mengerucut, dahinya berkerut tiga. Tangan kiri membuka gulungan handuk, lalu melemparnya ke tepi meja. Belum sampai hitungan ketiga, dia sudah menghempaskan badan di atas kasur bersulam bunga.
“Iya, Pa. Aku mau menjualnya. Lagian sudah jarang Mama pakai, paling kalau mood saja,” suaranya lembut menjawab telepon suami yang di luar kota. Kaki kanan menyilang di atas kaki kiri, lalu mengayun-ayun dengan pelan seperti gaya remaja. Sebentar bergerak-berhenti-menggoyang-goyangnya.
“Belum sih, Pa. Nanti Mama coba tawarkan ke teman deh. Siapa tahu ada yang mau,” lanjutnya tanpa ragu. Gaya bicaranya dibuat merajuk sedikit merayu. Mungkin begini serangan yang datang pada ibu-ibu kalau sedang ada mau. Kalau boleh aku berpendapat, tingkah itulah yang paling terlihat lucu.
Bunda Dhani menekan tombol off, lalu melirikku beberapa detik. Memalingkan visual ke gorden jendela, menatap ke satu titik. Gerimis mulai turun rintik-rintik. Aku kecewa karena hanya dilirik. Beberapa saat dia menghadap ke kiri, lalu berbalik. Menatapku lagi sambil senyum-senyum, Ah, usia tetap memelihara parasnya, cantik!
***
Hari minggu yang kutunggu.
Wanita bernama lengkap Nazmah Armadhani, SE itu belum juga mendekat. Aku sudah mengharapkan dia menaikiku meski sesaat. Bahkan bila di luar hujan, sepertinya dia lebih asyik dengan segelas cokelat.
“Memangnya mau dijual berapa, Ma?”
“Lima juta saja!”
“Kalau Mama yakin ya silakan”
“Daripada enggak dipakai?”
“Sudah menawarkan pada siapa dan ke mana?”
“Kemarin sih Mama posting di wall grup jual-beli barang bekas!”
Kya…a! Betapa tega Sosok berkerudung itu. Aku ditawarkan ke grup barang bekas? Bisa jadi memang itu hal yang pantas. Percuma, dia tak mendengar meski aku memelas. Rasanya ingin memanggil namanya dengan jelas, atau sekedar berteriak keras agar bebas.
***
Detik jam dinding seolah meneror, mengingatkan bahwa aku akan pergi dari sini. Bukan sekarang, tapi nanti bila Dhani sudah bertemu dengan orang yang pas. Sosok yang mau menerimaku dengan suatu akad, suka sama suka. Rasanya ingin mengubah diri menjadi angin, agar bisa terbang melalui celah jendela yang terbuka.
Ohya, Dhani semakin sibuk dengan usahanya. Sepatu-sepatu polos disulapnya sesuai selera pembeli. Sayang, aku tak memakai sepatu jadi tidak bisa ikut menikmati karyanya. Cukup ikut senang bila melihatnya riang. Meski pintaku tak lagi dihiraukan. Sekalii saja naik di atasku agar ada rasa dihargai. Seperti saat baru dulu.
“Ma Nia boleh pinjam ini, ya?” pinta gadisnya sambil menunjuk ke arahku. Hampir saja aku melonjak penuh haru. Ketika tiba-tiba HP Nia berdering. Dia menepuk keningnya yang langsat.
“O My God. Aku ada janji sama teman, Ma.” Kalimat putri pasangan Adam dan Dhani itu meninggalkanku begitu saja. Harapan yang membuncah langsung menyusut. Aku memang tak dibutuhkan lagi. Padahal, aku bisa membantu Dhani berkeringat lebih sehat. Bisa juga mengecilkan pinggang bila ia mau.
Sebentar lagi usahanya berulang tahun. Aku bahagia melihatnya sukses, tapi sengsara meratapi diri sendiri. Dhani, andai boleh jujur, aku masih ingin di sini. Dia tak mendengarku. Sibuk dengan jadwal ini-itu. Wish Me Luck, bila memang akhirnya aku harus dijual. Nasib seonggok alat olah raga yang biasa menghiasi gym atau fitness centre terkungkung, terkatung-katung. Lima juta! Ada yang mau membeliku?

Pondok Cahaya-Yk-22122014

Cerpen ini meraih juara kedua dalam event miladnya Pengusaha Sepatu Lukis; Bunda Dhani-Surabaya

Comments