Gerimis turun menyapa tanah pemakaman. Tempiasnya
mengentarakan warna merah tanah liat. Aku berdiri, mengemasi do’a yang masih
terlantun. Subhanalloh! Hampir saja menabrak sosok laki-laki saat membalikkan
badan. Tiga detik debaran jantung bertambah frekuensi.
“Ma-af,” lirihku terbata sambil
geser tiga langkah ke kiri. Visual mengenali sepasang sandal hand made berpelat cokelat muda. Celana
warna senada itu? Ah mungkin aku keliru!
“Ni-fa?,” sapanya memancing
keberanianku untuk mendongak. Mas Wafa! Pekik dalam hati menyahutnya.
“Saya sudah enam bulan di rumah
Ummi, Jundi bertanya tentangmu kapan akan ke sana. Tentara kecilku menanyakanmu
seperti bertanya keadaan ibunya, sebelum pergi,” jelasnya seperti dapat membaca
tumpukan tanya di bilik jiwa.
“Insya Alloh, Jum’at sepulang ngajar
saya akan menemui Jundi,” jawabku lalu pamit pulang.
Gerimis masih melukis jalan aspal yang terkoyak.
Beberapa anak seusia Jundi, keponakanku, beriringan menuju Masjid. Ada bayangan
Jundi riang di tengah mereka menggelayut dalam lamun.
***
Satu minggu sebelumnya, dini hari usai qiyamullail
dan istikharah aku tak dapat menahan kantuk. Tiba-tiba diri ini telah berada di
tepi danau. Ada biduk kecil terdampar di bawah pohon gersang. Semua begitu
asing di mata ini kecuali satu, payung Kak Nida meneduhkanku. Bluk! Aku
terbangun dengan Mushaf di dada. Mukena lukis pita buatan Kak Nida belum
kulepas.
“Nduk? Apa si Ghani belum memberi kejelasan padamu?”
Tanya bunda tanpa kusadari kapan beliau masuk kamar.
“Dia … a-kan me-nikah dua bulan lagi dengan teman
kuliahnya, Bunda,” jelasku sambil berusaha menjaga perasaan orang yang
melahirkanku. Sebenarnya sudah sebulan laki-laki bermata sipit dengan senyum
dingin itu membatalkan niatnya, melamarku. Rasa dan logika berperang, bibir
memilih diam saat kecewa menabuh gendering.
“Sing sabar yo, Nduk? Omongan orang-orang desa tidak
perlu terlalu kamu pikirkan. Bunda akan terus berdo’a mudah-mudahan kamu
mendapatkan jodoh yang saleh, seperti kakakmu Nida.” Aku bergegas menghampiri
bunda. Setiap kali bibirnya mengucap nama Kak Nida, beliau menangis. Ah! Benar
sudah tebakanku, dua pipi berkerut lembut itu tersapu aliran bening, perlahan.
“Insya Alloh Kak Nida tenang di sisi-Nya bersama
bayinya, Bunda.” Kupeluk tubuh ringkih wanita setengah senja dengan erat.
Gemuruh do’a melangit dari bathin ini. Tiga puluh menjadi angka kepasrahan
penantian.
***
Hari jum’at yang kujanjikan. Jundi melonjak dari
ayunan lalu menghambur ke arahku. Hidung ini mencium wangi khas shampo beraroma
strawberry. Di depan pintu ada wedges berwarna tosca.
“Healah Nifa, tambah ayu saiki. Wah, kalau enggak
ada Jundi sepertinya belum sampai ke rumah Ummi.” Kehangatan ibu mertua kakakku
membuatku nyaman.
“Ammah Nifa, ada Tante Siska lo di sini. Dia baru
datang dari Semarang. Aku enggak mau punya ibu seperti dia. Soalnya … ,” Jundi
berhenti bicara, anak lima tahun itu menutup mulutnya ketika sosok wanita
anggun bergincu pink mendekat.
“Siska! Kamu? Adiknya Nida itu kan?” tanyanya
sedikit kaku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Jabatan tangan kami masih
menyatu ketika Mas Wafa menyembul dari balik pintu dapur.
“Ayo mari! Jus jambu biji untuk Dik Nifa dan Jundi.
Milk shake untuk Mbak Siska. Teh susu untuk Ummi.” Siska melepaskan jabtan
tangan kami. Aku membantu Mas Wafa meletakkan tiga macam minuman yang
dibawanya. Dari mana dia tahu aku suka jus jambu?
“Dulu Dik Nida bercerita pada Mas, katanya Dik Nifa
paling suk-ka jus jambu biji merah, kebetulan Jundi juga sama. Dari pada ke
luar, mending saya buatkan saja. Maaf kalau rasanya berbeda atau aneh. Aku
tersenyum mendengar penjelasannya. Apakah pertanyaan hatiku dapat didengarnya?
Entahlah.
***
Satu bulan setelah bertemu Mas Wafa di makam Kak
Nida. Siska meneleponku, dia akan minta
Mas Wafa menikahinya. Sarung bantal hand
made terlepas dari tanganku. Tasbih berpadu dengan bait-bait harapan yang
masih basah. Satu persatu gadis di sekelilingku menjadi istri seorang pria, tak
tersisa. Bahkan, Siska yang baru kukenal tiga minggu lalu juga akan menikah.
Menjadi kakakku. Oh.
Kubasuh muka dengan air wudu berulang. Membaurkan
Kristal berbulir hangat dan sengguk agar tak terdengar bunda. Sudahlah. Mungkin
ini takdir tapi tak boleh sedikitpun merasa tersingkir dari sindiran tanpa
pikir.
Istikharah kembali kulanjutkan. Kantuk merapatkan
bulu-bulu mata. Mimpi sama terulang, ada suara datang lalu menghilang.
“N lan W hand
made tidak akan berganti nama,” ucapnya. Ah! Lagi-lagi mukena Kak Nida
belum kulepas dan mushaf masih di dada. Rabbi … apa arti semua ini?
“Besok antar Bunda ke rumah Ummi Sa’adah ya, Nduk?
Rasanya kok kangen, padahal baru kemarin bertemu pas arisan di balai desa.” Aku
merasa aneh, tidak biasanya bunda minta ditemanin ke rumah besannya. Demi kata
patuh, aku mengangguk. Jawaban akan kuperoleh saat di jalan, biasanya.
***
Aku menunggu penjelasan bunda. Tidak ada satu pun
suara keluar dari bibirnya. Ketika langkah kuhentikan, menatapnya dibalas
senyuman. Wah, hari ini beda. Tidak ada kalimat keterangan meluncur deras
seperti biasanya. Diam. Menunggu, mungkin nanti jika di rumah Ummi akan kudapat
apa yang kucari.
Sunyi. Hanya sapa seperti biasa, cerita ala
kadarnya, tertawa tentang hal serupa. Aku menjadi patung yang menatap
kepiawaian Mas Wafa menyuguhkan minuman pesanan bunda. Susu plus jamu hebal
rasa mint, pengusir masuk angin.
Pulang dari rumah Ummi aku sudah berhenti mengharap
penjelasan dari bunda.
“Nduk? Menurutmu si Wafa itu
bagaimana dengan Siska?” aku hanya menggeleng. Sudah, bunda hanya tersenyum
sambil melenggang mempercepat langkah.
Kok
bunda jadi semangat? Apa orderan sarung bantalnya sedang banyak ya? Tanyaku
enggak nyambung.
Malam ke enam istikharohku begitu
syahdu. Desir angin dapat kudengar jelas. Tasbih daun-daun menyemangati pinta.
Kring. Ada telepon sepagi ini dari
Mas Wafa? Apa yang terjadi dengan Jundi?
“Maukah kamu menjadi ibu dari
Jundi?”
Kutatap kalender berangka besar.
Tiga puluh tahun kurang tiga bulan. Penantian pun butuh diperjuangkan. Allohu
Akbar.
Ini jejak saya belajar menulis cerpen. Tokohnya banyak banget, ya?
Beberapa teman berpendapat bahwa cerpen ini memiliki judul yang spoiler, tapi ada juga yang bilang ceritanya ngalir dan enak dinikmati. Anda menilai yang bagaimana?
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara