Serpihan Tasbih Cinta




 
Buku yang memuat tulisan saya ini


“Aku sudah tak tahan, Bu. Dibius saja!”

“Ei, istighfar, Mbak. Pasti kuat.”

“Sudah sakit banget, a ... duuh!”

“Perjuangan, Mbak. Jadi ibu memang begitu. Nanti kalau sudah keluar, semua terbayar!”

“Kok lama banget, sih. Ya Allah ...”

“Minum dulu sedikit.” 

Aku minum air sari kurma sambil menahan rasa luar biasa. Sesekali kudengar ibu melahirkan di ruang sebelah. Ruang bersalin hanya bersekat kain hingga dapat kudengar dengan jelas, kapan mereka datang, kapan pula melahirkan. Aku iri pada mereka, baru masuk ruangan, kontraksi[1] kemudian terdengarlah tangis bayi. Cepat sekali. Sedangkan aku? Sudah dari jam dua belas malam berbaring di atas dipan bersalin tapi, pukul sembilan pagi janinku belum juga keluar.
“Sabar, Dik.” 
Sosok berwajah teduh tersenyum, bagian bawah matanya tampak hitam serta lebam, sebentar-sebentar ditahannya ketika hendak menguap. Ya! Dia suamiku.
“Anak keberapa, Mbak?”
“Kedua.”
“Berarti sudah pernah melahirkan?”
“Sudah doo...oong! Aduh-duh-duh, Kak! Sa ... kit.” 
Aku tersinggung dengan pertanyaan asisten bidan, sedikit menyudutkan.
“Kontraksi lagi, tambah sakit, hwaa ... a! Seperti mau buang air besar”
“Jangan ngejan dulu, tahan! Tarik nafas ... tahan lagi.”
“Hwaa! Air ketuban pecah!” 
Aku mengejan sekuat tenaga sebelumnya hingga menyebabkan air ketuban pecah. Semua tampak panik dalam do’a masing-masing.
 “Bagus sebentar lagi!” 
Suaranya terdengar semangat. Aku kerahkan kekuatan dan memanjatkan do’a tanpa suara.
“Oe!” 
Akhirnya lahir juga! Aku lemas, bertasbih dalam diam.
***
Tiga hari setelah melahirkan
Kucuran air hujan menyapa kaca jendela, debu-debu luruh setelah beningnya menyapa, tiga belas meter di luar sana ada masjid, bertasbih menerima sapaan hujan. Dari balik tirai putih yang sedikit  melambai, dapat kudengar suara kecipak kura-kura. Ah! kura-kura dalam nostalgia. Bening dan kejora, satu jantan satu betina.
Tiga tahun lalu seorang yang menggetarkan jiwa menitipkan padaku. Menjelang bulan puasa, ya! hampir mirip waktunya dengan sekarang. Hanya ada yang berbeda, dulu kunantikan hari bahagia dalam pinangan, sekarang meradang dalam ... ah! Entahlah! Aku masih sempat memandikannya, dengan rajin menyikat cangkang serta melepas di rumput jepang depan rumah memori.
Lamunan berkelana, mencari jawab kenapa semua ini begitu berat mendera. Kecipak kayuh kaki kura-kura tak lagi jelas terdengar, semakin sayu digantikan dengan deras suara hujan turun. Tirai putih agak terbuka. Anganku keluar menyelinap melewati celahnya, berharap agar semua ini segera berlalu.
Aku kurang suka keadaan ini, suamiku salah dan aku kalah. Setiap habis melahirkan, selalu saja ada kekosongan yang menyelinap dalam perasaan!
Tubuhku terasa menanggung beban berkarung-karung pasir, seperti kayu tak dapat di tekuk persendiannya. Bukan pegal atau nyeri  seperti orang habis bersalin pada umumnya. Berdiri dari kursi dibantu dua orang. Hal itulah penyebab kenapa aku duduk dari pukul delapan pagi hingga dua siang.

Bayiku terlelap di sebelah kanan, di atas sofa hijau yang mulai pudar warnanya. Pakaian ganti bayi, makanan dan semuanya berjejer juga mengelilingiku. Ketika bayiku menangis, mungkin pipis atau haus. Kutarik kain perlak agar dia mendekat, barulah dia kuangkat. Bagian sofa yang kududuki membuat cekungan dalam, punggungkupun terasa panas. sesekali kuselipkan kain katun yang adem untuk mengurangi kadar kepanasannya.
Selama duduk, aku menahan hajat ke kamar kecil, apapun bentuknya. Kakipun bengkak karena hanya pada satu posisi selama berjam-jam. Untuk mengangkat kaki, butuh bantuan dua orang. Mereka harus sangat hati-hati menaikannya, berhenti ketika aku bilang; “Atop!” lalu menggerakkan lagi begitu dengar aba-aba; “Lanjut!
"Kak, tolong, saya mau ke tempat tidur." 
Suamiku segera memanggil tiga anak perempuan di panti asuhan sebelah, mereka akan bekerja sama membantuku naik. Dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam hanya untuk naik hingga berbaring.
Kalau ke kamar mandi, aku butuh waktu dua setengah jam. Hanya tiga meter jauhnya dari tempat tidur.
***

“Emang enak jadi wanita? Sakit ... repot, belum lagi capek tiada ujung!” bathin buruk mencibir.
“Gak papa, Ibadah itu sudah diukur kemampuannya sama Sang Maha,” bathin baik menghibur.
“Enak benar jadi laki-laki, gak sakit, eh, punya anak!”
“Semua diciptakan ada hikmah sendiri, bila bukan sekarang, mungkin nanti akan didapat.”
“Harusnya dia libur kerja dulu, urus anak istri yang gak bisa jalan!”
“Dia juga punya tanggung jawab dengan pekerjaannya.” Tatapanku masih menerawang.
***
            “Ma, mau pi ... pis,” Biyu, anak sulungku melakukan hal di luar kebiasaan. Setelah selesai bicara dia langsung pipis di tempat, tanpa melepas celana.
            “Kakak! Kamu kan sudah besar! Ya ampuun!” tiba-tiba saja nada teguranku meninggi. Aku masih duduk, dia menatapku dengan sorot agak takut. Kepala belakangku sedikit berdenyut.
            “Coba, celananya dilepas. Nah, gitu. Sekarang dilap sama ini.” Aku menunjuk kain yang dimaksud, tanganku tak dapat menggapainya.
            “Gini, Ma?”
            “Ya! Sekarang cebok dulu.” Dia melangkah ke kamar mandi, sebentar kemudian kudengar suara gayung beradu dengan ember.
            Kulihat anak dua tahun itu memakai celana sendiri. Ada yang menyelinap perih ke dalam dada, nafas sedikit sesak kutahan.
            Apakah setiap wanita mengalami apa yang kurasakan? Setidaknya ketika dia menjadi ibu?
***
            “Nah, suamimu mana? Jam segini belum pulang? Mana gak SMS, lagi!” bathin jahat bertanya menyulut udara bertambah panas.
“Mungkin banyak pekerjaan, gak usah negatif gitu, kamu!” jawab bathin baik
“Ah, dia tuh kurang perhatian sama kamu. Bukankah seharusnya ada prioritas disaat begini?” bathin jahat terus memoles kata dengan warna kelam.
“Iya. Memang benar, tapi, dia juga punya kewajiban di tempat kerjanya,” bathin baik mulai bijak menjawab.
“Ditunggu saja, aku istirahat dulu.” 
Pikiranku mulai melerai, sedikit mengiyakan bahwa seharusnya saat begini aku jadi prioritas.

"Woi! kamu mau nasi padang, kan? dari tadi gak mau makan!" 
Bathin buruk mencibir.

"Sabar, dulu juga biasa puasa." 
Kalimat bathin baik kabur, terngiang dengan gamblang ucapan bathin buruk, ada butiran bening mulai menarik isak. Gigiku gemeretak, tangan mengepal, otot menegang sebetar. Kepalaku sedikit pening.
Satu jam berlalu.
“Assalamu’alaikum, Sayang. Aku bawakan masakan padang kesukaanmu.”
          Laki-laki itu, suamiku. Ada setetes embun menyapa kesejukan kalbu ketika menatap dia dengan tatapan sukur. Bulir bening hangat menyeruak dari dua mataku. Ingin kusembunyikan tetes kristal ini namun, ketajaman hatinya telah melihat. Kutahan serentetan amarah yang tersusun sebelum dia pulang, aku hampir tersulut kalimat bathin jahat.
***
Satu bulan sesudahnya.
Aku mulai dapat menggerakkan sendi-sendi tubuh, setelah terapi menggunakan sinar ultra violet dan pemijatan ahli.
Kelenturan otot-otot mulai pulih. Tak mampu kuhitung nikmat jua kebaikan, semua datang karena Rahimnya Sang Pengasih.
Simpul bahagia kukenang, bayi laki-laki, berat empat kilo gram. Kulahirkan secara normal. Rasa sukur membumbung bersama do’a dan harapan. Ketika di luar sana, jauh dari gedung rumah sakit tempatku melahirkan, ada banyak pasangan menantikan saat-saat seperti kala itu.
Daun pohon ketapang jatuh tertiup angin. Menyapa kaca jendela yang kini jernih, aku mulai dapat melakukan aktifitas orang normal. Bayang-bayang kelabu yang kukhawatirkan akan menetap, ternyata berlalu seiring bergulirnya menahan rasa.
Ya Allah, karena-Mu lah semua ini kudapat. Juga karena derma kesabaran tak terhingga dari orang yang Kau anugerahkan padaku. Aku jatuh cinta dalam seribu rasa yang belum diterjemah ke dalam bahasa verbal. Rengkuh kami dalam naungan ridha-Mu illahi. Aamiin.

------------------------
[1] Keadaan ketika  berkontraksi, rahim meregang. Hal itu terjadi begitu saja, sama ketika perut Anda berkontraksi waktu Anda muntah, misalnya. Terasa ada remasan, pengencangan, dan penyusutan pada otot tersebut. Rahim memang meregang dan mengecil. Penyusutan itu menarik serviks sehingga terbuka, dan akhirnya mendorong bayi ke kanal kelahirannya (vagina).
           
Naskah ini ada di buku Rengkuh Aku Kekasih terbitan LRF Publishing House. Dulu masih memakai nama Kamubicha, sekarang ganti menjadi Kayla Mubara.

Comments