“Aku
sudah tak tahan, Bu. Dibius saja!”
“Ei,
istighfar, Mbak. Pasti kuat.”
“Sudah
sakit banget, a ... duuh!”
“Perjuangan,
Mbak. Jadi ibu memang begitu. Nanti kalau sudah keluar, semua terbayar!”
“Kok
lama banget, sih. Ya Allah ...”
“Minum
dulu sedikit.”
Aku
minum air sari kurma sambil menahan rasa luar biasa. Sesekali kudengar ibu
melahirkan di ruang sebelah. Ruang bersalin hanya bersekat kain hingga dapat kudengar
dengan jelas, kapan mereka datang, kapan pula melahirkan. Aku iri pada mereka,
baru masuk ruangan, kontraksi[1] kemudian terdengarlah tangis bayi. Cepat
sekali. Sedangkan aku? Sudah dari jam dua belas malam berbaring di atas dipan
bersalin tapi, pukul sembilan pagi janinku belum juga keluar.
“Sabar,
Dik.”
Sosok berwajah teduh tersenyum, bagian bawah matanya tampak hitam serta
lebam, sebentar-sebentar ditahannya ketika hendak menguap. Ya! Dia suamiku.
“Anak
keberapa, Mbak?”
“Kedua.”
“Berarti
sudah pernah melahirkan?”
“Sudah
doo...oong! Aduh-duh-duh, Kak! Sa ... kit.”
Aku tersinggung dengan pertanyaan
asisten bidan, sedikit menyudutkan.
“Kontraksi
lagi, tambah sakit, hwaa ... a! Seperti mau buang air besar”
“Jangan
ngejan dulu, tahan! Tarik nafas ... tahan lagi.”
“Hwaa!
Air ketuban pecah!”
Aku mengejan sekuat tenaga sebelumnya hingga menyebabkan
air ketuban pecah. Semua tampak panik dalam do’a masing-masing.
“Bagus sebentar lagi!”
Suaranya terdengar
semangat. Aku kerahkan kekuatan dan memanjatkan do’a tanpa suara.
“Oe!”
Akhirnya lahir juga! Aku lemas, bertasbih dalam diam.
***
Tiga
hari setelah melahirkan
Kucuran
air hujan menyapa kaca jendela, debu-debu luruh setelah beningnya menyapa, tiga
belas meter di luar sana ada masjid, bertasbih menerima sapaan hujan. Dari
balik tirai putih yang sedikit melambai,
dapat kudengar suara kecipak kura-kura. Ah! kura-kura dalam nostalgia. Bening
dan kejora, satu jantan satu betina.
Tiga
tahun lalu seorang yang menggetarkan jiwa menitipkan padaku. Menjelang bulan
puasa, ya! hampir mirip waktunya dengan sekarang. Hanya ada yang berbeda, dulu
kunantikan hari bahagia dalam pinangan, sekarang meradang dalam ... ah!
Entahlah! Aku masih sempat memandikannya, dengan rajin menyikat cangkang serta
melepas di rumput jepang depan rumah memori.
Lamunan
berkelana, mencari jawab kenapa semua ini begitu berat mendera. Kecipak kayuh
kaki kura-kura tak lagi jelas terdengar, semakin sayu digantikan dengan deras
suara hujan turun. Tirai putih agak terbuka. Anganku keluar menyelinap melewati
celahnya, berharap agar semua ini segera berlalu.
Aku
kurang suka keadaan ini, suamiku salah dan aku kalah. Setiap habis melahirkan,
selalu saja ada kekosongan yang menyelinap dalam perasaan!
Tubuhku
terasa menanggung beban berkarung-karung pasir, seperti kayu tak dapat di tekuk
persendiannya. Bukan pegal atau nyeri
seperti orang habis bersalin pada umumnya. Berdiri dari kursi dibantu
dua orang. Hal itulah penyebab kenapa aku duduk dari pukul delapan pagi hingga
dua siang.
Bayiku
terlelap di sebelah kanan, di atas sofa hijau yang mulai pudar warnanya.
Pakaian ganti bayi, makanan dan semuanya berjejer juga mengelilingiku. Ketika
bayiku menangis, mungkin pipis atau haus. Kutarik kain perlak agar dia
mendekat, barulah dia kuangkat. Bagian sofa yang kududuki membuat cekungan
dalam, punggungkupun terasa panas. sesekali kuselipkan kain katun yang adem
untuk mengurangi kadar kepanasannya.
Selama
duduk, aku menahan hajat ke kamar kecil, apapun bentuknya. Kakipun bengkak
karena hanya pada satu posisi selama berjam-jam. Untuk mengangkat kaki, butuh
bantuan dua orang. Mereka harus sangat hati-hati menaikannya, berhenti ketika
aku bilang; “Atop!” lalu menggerakkan lagi begitu dengar aba-aba; “Lanjut!
"Kak,
tolong, saya mau ke tempat tidur."
Suamiku segera memanggil tiga anak
perempuan di panti asuhan sebelah, mereka akan bekerja sama membantuku naik.
Dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam hanya untuk naik hingga berbaring.
Kalau
ke kamar mandi, aku butuh waktu dua setengah jam. Hanya tiga meter jauhnya dari
tempat tidur.
***
“Emang
enak jadi wanita? Sakit ... repot, belum lagi capek tiada ujung!” bathin buruk
mencibir.
“Gak
papa, Ibadah itu sudah diukur kemampuannya sama Sang Maha,” bathin baik menghibur.
“Enak
benar jadi laki-laki, gak sakit, eh, punya anak!”
“Semua
diciptakan ada hikmah sendiri, bila bukan sekarang, mungkin nanti akan
didapat.”
“Harusnya
dia libur kerja dulu, urus anak istri yang gak bisa jalan!”
“Dia
juga punya tanggung jawab dengan pekerjaannya.” Tatapanku masih menerawang.
***
“Ma, mau pi ... pis,” Biyu, anak
sulungku melakukan hal di luar kebiasaan. Setelah selesai bicara dia langsung
pipis di tempat, tanpa melepas celana.
“Kakak! Kamu kan sudah besar! Ya
ampuun!” tiba-tiba saja nada teguranku meninggi. Aku masih duduk, dia menatapku
dengan sorot agak takut. Kepala belakangku sedikit berdenyut.
“Coba, celananya dilepas. Nah, gitu.
Sekarang dilap sama ini.” Aku menunjuk kain yang dimaksud, tanganku tak dapat
menggapainya.
“Gini, Ma?”
“Ya! Sekarang cebok dulu.” Dia
melangkah ke kamar mandi, sebentar kemudian kudengar suara gayung beradu dengan
ember.
Kulihat anak dua tahun itu memakai
celana sendiri. Ada yang menyelinap perih ke dalam dada, nafas sedikit sesak
kutahan.
Apakah setiap wanita mengalami apa
yang kurasakan? Setidaknya ketika dia menjadi ibu?
***
“Nah, suamimu mana? Jam segini belum
pulang? Mana gak SMS, lagi!” bathin jahat bertanya menyulut udara bertambah
panas.
“Mungkin
banyak pekerjaan, gak usah negatif gitu, kamu!” jawab bathin baik
“Ah,
dia tuh kurang perhatian sama kamu. Bukankah seharusnya ada prioritas disaat
begini?” bathin jahat terus memoles kata dengan warna kelam.
“Iya.
Memang benar, tapi, dia juga punya kewajiban di tempat kerjanya,” bathin baik
mulai bijak menjawab.
“Ditunggu
saja, aku istirahat dulu.”
Pikiranku mulai melerai, sedikit mengiyakan bahwa
seharusnya saat begini aku jadi prioritas.
"Woi!
kamu mau nasi padang, kan? dari tadi gak mau makan!"
Bathin buruk
mencibir.
"Sabar,
dulu juga biasa puasa."
Kalimat bathin baik kabur, terngiang dengan
gamblang ucapan bathin buruk, ada butiran bening mulai menarik isak. Gigiku
gemeretak, tangan mengepal, otot menegang sebetar. Kepalaku sedikit pening.
Satu
jam berlalu.
“Assalamu’alaikum,
Sayang. Aku bawakan masakan padang kesukaanmu.”
Laki-laki
itu, suamiku. Ada setetes embun menyapa kesejukan kalbu ketika menatap dia
dengan tatapan sukur. Bulir bening hangat menyeruak dari dua mataku. Ingin
kusembunyikan tetes kristal ini namun, ketajaman hatinya telah melihat. Kutahan
serentetan amarah yang tersusun sebelum dia pulang, aku hampir tersulut kalimat
bathin jahat.
***
Satu
bulan sesudahnya.
Aku
mulai dapat menggerakkan sendi-sendi tubuh, setelah terapi menggunakan sinar
ultra violet dan pemijatan ahli.
Kelenturan
otot-otot mulai pulih. Tak mampu kuhitung nikmat jua kebaikan, semua datang
karena Rahimnya Sang Pengasih.
Simpul
bahagia kukenang, bayi laki-laki, berat empat kilo gram. Kulahirkan secara
normal. Rasa sukur membumbung bersama do’a dan harapan. Ketika di luar sana,
jauh dari gedung rumah sakit tempatku melahirkan, ada banyak pasangan
menantikan saat-saat seperti kala itu.
Daun
pohon ketapang jatuh tertiup angin. Menyapa kaca jendela yang kini jernih, aku
mulai dapat melakukan aktifitas orang normal. Bayang-bayang kelabu yang
kukhawatirkan akan menetap, ternyata berlalu seiring bergulirnya menahan rasa.
Ya
Allah, karena-Mu lah semua ini kudapat. Juga karena derma kesabaran tak
terhingga dari orang yang Kau anugerahkan padaku. Aku jatuh cinta dalam seribu
rasa yang belum diterjemah ke dalam bahasa verbal. Rengkuh kami dalam naungan
ridha-Mu illahi. Aamiin.
------------------------
[1]
Keadaan ketika berkontraksi, rahim
meregang. Hal itu terjadi begitu saja, sama ketika perut Anda berkontraksi
waktu Anda muntah, misalnya. Terasa ada remasan, pengencangan, dan penyusutan
pada otot tersebut. Rahim memang meregang dan mengecil. Penyusutan itu menarik
serviks sehingga terbuka, dan akhirnya mendorong bayi ke kanal kelahirannya
(vagina).
Naskah ini ada di buku Rengkuh Aku Kekasih terbitan LRF Publishing House. Dulu masih memakai nama Kamubicha, sekarang ganti menjadi Kayla Mubara.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara