Rinduku Seumpama Angin Ekor Duyung

Aku menyerah dengan permainan rasa yang kucipta. Berharap PKL, Praktek Kerja Lapangan kuliahku bisa menjadi jeda kejenuhan jalani masa hamil muda, ternyata keliru. Tiga puluh enam purnama yang lalu,  diri ini menjalani petak asa penuh rindu.
“Titip calon anak kita ya, Sayang?” pinta suamiku.
Kenapa memanggil sayang hanya ketika jauh? Apa itu syaratnya? Aku berharap mendengar langsung ketika bersamanya, batin berkomentar.
Baru satu kilo meter meninggalkan Jogja, aku merasa jala cinta kami merenggang. Lubang penyekat bertambah lebar seiring laju bus yang kian jauh. Dinginnya AC dalam bus merapatkan hati pada seulas senyum kakak, suamiku.
            Pukul dua belas siang aku sampai di Cilacap. Rencana sih PKL satu bulan di desa sebelah barat kota tersebut.
Beep.
Turun dari bus ada SMS masukk dari kakak.
“Hati-hati kalau kedinginan mandi pakai air hangat saja,” demikian bunyi SMS-nya.
Nah kan? Perhatian begini kenapa pas jauhan? Dari kemarin-kemarin diumpetin ke mana? Aku gemas tapi, harus bergegas.
Sampai di lokasi PKL aku langsung menuju indekos. Kamar besar dengan tempat tidur cukup untuk tiga orang menyambut. Tempat tidur seakan menanyakan dengan aneh sambil melihat perutku yang mulai menonjol.
Kok sendirian? pikiran buruk bertanya. Sejenak bayangan menata aku-kakak-seorang anak di atasnya.
Beep.
SMS masuk lagi. Kali ini suamiku menganjurkan untuk segera istirahat.
 
***
Seratus enam puluh delapan jam kulewati. Rasa rindu menyergap kala pagi dan senja hari. Ternyata aku masuk kategori istri enggak mau jauh dari suami. Gundah begitu dahsyat, seperti angin ekor duyung, membuatku diam dalam bimbang.
Kuatkah hingga satu bulan penuh tanpanya?hati kembali bertanya.
Aku berjalan dengan langkah penuh kerinduan. Angin menyertai dendangkan kidung sunyi sajak cinta para hamba. Ah! Bibir pun turut lirih lantunkan nada pembias rasa.
Kenapa masih kikuk? bisik hati pada sekali lagi.
Mungkin karena kita masih pacaran. Jawab geli hati.
Aku sedikit terkenang dengan singkatnya proses menuju pernikahan. Wajah teduhnya kian membayang. Aku ingin pulang. Jika PKL tidak menahanku ... entahlah!
***
Aku tidak ingin melewati malam dengan tidur yang banyak. Kusampaikan rindu ini dengan munajat, memohon semua berlalu cepat. Esok harinya ketika dosen pembimbing datang, kutanyakan apakan PKL bisa selesai lebih awal? Kuberikan alasan agar bisa menjaga calon anakku dari kelelahan.
“Silakan saja, Mbak Uul. Untuk bimbingan laporan bisa melalui email dan media lain.” Jawaban sejuk itu mencairkan kebekuan rindu yang menghujam. Aku segera menghubungi kakak melalui telepon, barang-barang mengantri masuk ke dalam koper. Aku hanya memasukkan tanpa menatanya seperti ketika mau pergi.
Malamnya aku pamit pada ibu kos serta keluarganya. Begitu ringan kata terucap, seperti bulu halus diterbangkan angin.
Seorang teman PKL siap mengantarku sampai ke terminal. Jala cinta mulai menyusut penyekatnya, semakin lama laju bus menuju Jogja, jarak itu kian rapat.
Pemandangan di luar kaca bus menyiramkan bunga-bunga selamat datang, sepanjang jalan. Semerbak kangen bertambah tajam menggelayut pikiran.
Setelah lima jam perjalanan bus yang ku naiki sampai ke jogja. Diri ini berderet menunggu giliran untuk turun dari bus. Udara segar menyapa kusam debu-debu gelora. Visualku mencari sosok pemegang jala cinta, kakak.
Udara pukul lima sore membelai kebersamaan, kunikmati hembusan bayu di atas boncengan. Motor kakak melaju pelan, seolah membiarkan hati larut dalam sejumput kemesraan. Aku tak ingin lagi meniatkan jeda saat jenuh dengan cara pergi jauh. SELESAI.
-------------------
 [1] angin yang bertiup dari berbagai arah

Penulis adalah Ibu Rumah Tangga yang menyukai cahaya, embun, dan harapan
Naskah ini ada di buku Jarak Cinta terbitan LRF Publishing House


Comments