Baki, kelinci bulu putih sedang jalan-jalan bersama
Duwen. Mereka melihat suasana di alun-alun kerajaan yang ramai. Baki adalah
kelinci pemberani, dia tidak malu menyapa siapapun yang ditemuinya. Sedangkan
Duwen selalu bersembunyi di belakang Baki.
Baki bercita-cita menjadi perdana menteri, sedangkan
Duwen ingin menjadi penyanyi. Duwen memiliki suara yang merdu, tapi yang tahu
hanya beberapa teman yang tahu. Baki sudah sering memberi saran agar sahabatnya
ikut lomba yang diadakan kerajaan.
“Aku malu. Bagaimana kalau pas maju aku ditemani
kakak atau ibuku?”
Begitu alasan Duwen. Tak jarang hal itu membuat
teman-temannya tertawa. Hanya Baki lah yang sabar menemani Duwen. Teman lainnya
menganggap Duwen hanya merepotkan. Ke mana-mana minta ditemani. Padahal kan
Duwen sudah besar.
Ketika mereka duduk di bawah pohon rindang. Ada
suara yang mengalihkan perhatian. Kelinci yang jalannya tetpincang-pincang
mendekati mereka. Wajahnya bersemangat, senyumnya ramah, dan bersahabat.
Padahal mereka belum pernah bertemu.
“Hei! Kalian mau datang ke pesta di rumahku? Aku
punya adik baru, Papa mengadakan pesta untuk semua yang ada di alun-alun hari
ini. Tentu saja jika kalian tidak keberatan,” tanyanya sambil memberi
penjelasan.
Duwen merasa heran, kenapa kelinci itu sangat
percaya diri, meskipun jalannya tidak sempurna.
“Oke, kami akan datang, kapankah pesta itu akan
berlangsung?” tanya Baki sambil menerima undangan berpita emas.
Duwen membaca nama pengundangnya. Keluarga Panglima Artomeris. Ternyata kelinci
itu anak Pak Panglima Artomeris. Wah, pantas dia percaya diri.
“Pestanya berlangsung besok sore. tidak usah membawa
apa-apa ya? Cukup bawa doa saja. Hahaha,” jawab kelinci itu riang.
“Eh, kami belum tahu siapa namamu?” tanya Baki.
“Panggil saja aku Lotive. Oke? Aku pamit dulu ya …
mau bagi undangan ke teman-teman lain,” pamitnya sambil membungkuk.
Duwen masih mengamati kepergian Lotive. Kelinci itu
tidak sombong sama sekali, meski anak panglima.
***
Sore yang ditunggu tiba.
Duwen memakai kemeja putih dan celana putih. Dia
makin terlihat bersih.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Baki sambil
meluruskan dasinya. Duwen berdecak melihat pakaian Baki. Harganya pasti mahal.
Begitu pikirnya.
“Ayo! Jangan sampai terlambat. Kita akan melihat
pertunjukan yang katanya ada di sana,” jawab Duwen.
Dua kelinci itu melompat beriringan. Selama di jalan
Duwen selalu menunduk, padahal beberpa kelinci menyapanya. Setiap kali ada yang
memanggil namanya, Duwen hanya mengangguk dan pipinya memerah.
“Hei! Kalian datang juga akhirnya,” sapa Lotive yang
memakai jas hitam.
“Hello, Lotive. Senang bisa bertemu kembali,” jawab
Baki bergaya kelinci dewasa. Duwen memperhatikan tingkah dua temannya.
“Kalau kalian bisa tampil, nanti maju saja saat
pembawa acara mempersilakan, ya?” usul Lotive. Baki hanya diam. Dia kemudian
mengangguk dan melirik ke arah Duwen.
“Kami akan maju, In Sya Allah,” jawab Baki yakin.
Duwen heran, kenapa Baki bilang kami? Dia pun menarik lengan sahabatnya dan
menjauh dari Lotive.
“Maksudmu? Kok kami sih?” bisik Duwen ke telinga
Baki.
“Tenang saja,” jawab Baki santai. Sepanjang pesta,
Duwen hanya berdebar-debar. Dia tahu Baki menginginkan dirinya maju untuk
bernyanyi.
“Sekarang tiba saatnya siapa yang akan ikut mengisi
panggung ini?”
Suara pembawa acara terdengar seperti bom di telinga
Duwen. Beberapa kelinci maju. Duwen mengamati mereka. Betapa terkejutnya saat
ada beberapa kelinci yang tidak sempurna fisiknya, tapi mereka sangat percaya
diri. Ada yang tidak punya tangan kiri, hanya punya satu mata, dan ada juga
yang tidak memiliki kaki.
“Tepuk tangan untuk teman-teman kita yang luar biasa
ini,” sambut pembawa acara begitu kelinci-kelinci itu selesai mementaskan
drama.
Baki pun maju. Dia membacakan puisi. Kaki Duwen
gemetar. keringat dingin mulai keluar. Dia melihat wajah Lotive tersenyum ramah
padanya.
“Ayo! Kamu … iya kamu yang pakau kemeja dan celana
putih. Temanmu bilang kamu memiliki suara yang merdu. Kami semua ingin
mendengarnya,” pinta pembawa acara.
Duwen gugup. Dia maju dengan gemetar. Sesampainya di
atas panggung Duwen mengucapkan Bismillah. Dia melihat teman-temannya yang main
drama. Mereka sangat percaya diri, kenapa dirinya harus malu?
Selesai bernyanyi semua kelinci terdiam. Tak ada
satu pun yang tepuk tangan. Hingga sebuah aba-aba terdengar, “Kita beri tepuk
tangan yang meriah untuk Duwen. Dia akan menjadi penyanyi yang terkenal.
Suaranya sangat merdu. Silakan yang mau foto bersama.”
Ternyata suara itu berasal dari bawah panggung.
Seorang laki-laki tegap kemudian naik dan menyalami Duwen. Dia adalah Panglima
Artomeris. Duwen merasa tidak percaya dirinya dipeluk pak panglima. Air mata
Duwen menetes. Diam-diam dia berterima kasih pada Baki, sahabat yang selalu
memberinya semangat.
Tulisan baru dipublikasikan: 21 Juni 2015.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara