Permen-Permen di Meja Kasir

Sudah satu minggu Pritha membantu menunggu mini market milik papanya. Sebelumnya papa selalu menolak keinginan putrinya itu.

“Kamu belajar saja, nanti terganggu.”

Papa selalu memberi alasan sama. Karena keteguhan hati Pritha dalam memohon, sekarang dia bisa mengoperasikan mesin kasir. Menyenangkan.

“Kan Pritha bisa membawa buku. Kalau enggak ada pembeli, Pritha juga bisa sambil belajar.”

Demikian alasan yang terus diucapkan Pritha juga, tak mau kalah dengan papanya.

“Seratus ribu lima belas rupiah.”

Pritha menerima selembar uang ratusan ribu dan koin 200-an.

“Kembalinya permen, ya?”

Pritha menyodorkan sebutir permen ke depan ibu berbaju pink. Sesuai anjuran papa, kalau sisa uangnya 100 atau kurang dari 200, maka genapi saja dengan permen.

“Pa? Kenapa sih kok ngasih kembalian permen? Padahal kan Pritha enggak boleh tuh banyak-banyak makan permen?”

Anak kelas lima SD itu menggelayut manja di pangkuan papanya.

“Ini namanya bisnis, Sayang.”

Pritha belum paham. Dia menunggu kelanjutan jawaban papa.

“Harga permen sebenarnya tidak sampai 100 tiap butirnya. Kita bisa menjual hingga 200 perbutir. Mau tidak mau pembeli harus menerima, dari pada uangnya tidak ada kembalian?”
Pritha teringat akan nasihat guru agama di sekolah, “Kalau menjual barang sebaiknya tidak ada yang terpaksa dari pembeli atau penjualnya.”

Apa papa tidak melakukan pemaksaan?

Dua minggu sudah Pritha memikirkan apa yang dilakukan papa dengan permen-permen itu. Hingga pada suatu siang.

“Uangnya kurang dua ratus, Bu?”

Pritha tidak memperhatikan siapa pembelinya, dia adalah ibu yang dulu pakai baju pink. “Pakai ini saja, ya?” Pritha menatap wajah ibu itu.

“Kok permen?”

“Saya pun sering dapat kembalian permen dari sini. Sekarang saya kurang, bayarnya pakai permen saja, ya? masa enggak bisa, lagian kan hanya kurang 200?”

Pritha tidak mau ribut. Dia melirik ke dalam, papanya sedang sibuk membungkus snack untuk dijual.

“Ba-baiklah, Bu. Terima kasih.” Pritha melempar permen ke dalam toples. Ibu itu pun pergi.

“Pah! Kalau kita ngasih kembalian permen, kira-kira mau enggak Papa dibayar pakai permen juga?”

Papa berhenti membungkus. Beliau membetulkan kaca mata yang menceng.

“Lho? Di mana-mana bayar ya pakai uang. Itu kan alat syah pembayaran kita?”

Sekarang bibir Pritha mencucu.

“Papa enggak adil dong.”

Pritha melingkarkan tangannya di pergelangan papa.

“Enggak adil bagaimana? Kamu kok aneh-aneh saja.”

Pritha menarik-narik rambut di lengan papa. Papa mencubit hidung Pritha.

“Gini lho, Pa. Papa kan ngasih kembalian permen tuh. Jadinya Papa sama saja menjual dengan paksaan. Ih, Papa jahat dong?”

Papa menatap anak gadisnya yang ceria.

“Masa jahat sih? Kan permennya enggak kemahalan?”

Kali ini Pritha menepuk-nepuk tapak tangan kanan papanya.

“Kalau mereka pada sakit gigi gara-gara kebanyakan permen? Gimana, Pa?”

Papa terbahak. Dia merasa ada kebenaran dari apa yang diucapkan putrinya. Keesokan harinya Papa menyuruh Pritha ke Pom Bensin dekat Toko.

“Ngapain, Pa?”

Pritha merasa heran. Kalau beli bensin kan bukan urusannya. Lagian kan berat kalau bawa-bawa jiligen?

“Kamu bawa uang ini. Tukarkan dengan koin-koin ke Kakak-kakak penjaga Pom bensin, ya?”

Wah, kira-kira untuk apa yang koin-koin itu, ya?

“Ayo berangkat! Mulai hari ini Papa tidak akan memberi kembalian permen lagi sama pembeli.”

Pritha berbinar. Dia melompat girang.

“Wah, Papa keren. Gini ini baru namanya Papa Pritha.”

Papa menggeleng berkali-kali. Dalam hati dia bersyukur memiliki putri yang cerdas sekaligus peduli dengan sesama. Sekarang tidak ada toples bening berisi permen di meja kasir.

“Eh, Pritha sedang gambar apa?”

Papa penasaran karena Pritha menutupi gambarnya.

“Kejutan dong, Pa!” “Kasih bocoran dong … .”

Papa mencoba mengintip gambar Pritha.

“Taraa!” Pritha membuka gambarnya, Papa terbengong. Ada gambar seseorang mirip dirinya dan tulisan, “Di Sini Tidak Memberi Kembalian Permen.”

“Itu? Gambar Papa? Kok gendut sih?”

Papa meraba perutnya. Ups! Ternyata memang menonjol.

“Papa kan lama enggak joging. Iya, kan?” Papa mengangguk. Sekarang dia tahu putrinya sedang mengingatkan agar berolah raga. Hmm.

Penulis : Kayla Mubara--Ibu dengan dua balita tinggal di Yogyakarta
Cerita ini dimuat majalah Anak Cerdas Edisi : 13

 
IMG_3805

Comments