Menggalah Cinta



Sore, pukul lima lewat setengah galau. Usai kuliah sore.
Kamar bercat kombinasi hijau muda dan hijau setengah tua tertata rapi. Buku dalam rak kayu berjajar damai. Bantal di atas seprei pun tidak berebut keluar dari areanya. Semua asri. Satu-satunya yang tampak kurang sedap dipandang hanyalah penghuninya, Naidra. Dia mondar-mandir mirip suami menunggu di luar ruang dan istrinya hendak melahirkan. Tepatnya lebih menyerupai ayam mencari tempat yang pas untuk mengeluarkan telurnya, ketika mau bertelur. Ya iya lah masa mau piknik.

Model apa lagi sebaiknya bila gue mau memangkas rambut ini? tanya Naidra pada dirinya sendiri, tangannya masih memegang cermin buluk warisan engkong.

Terserah elu lah, Naidra. Kalau menurut gue, itu rambut sudah cukup pendek. Model paling pas yang belum elu coba tuh ala rambutan rafia, jawab hati usilnya asal.

Sebentar-sebentar, maksudnya plontos mirip bola golf, tapi ada rambutnya sedikit? Tega benar ya ngajakin berantem sama gue? ucap hati baiknya agak sewot.

Ya ampun, Elu minta saran eh giliran gue kasih, elu marah. Cepet tua entar bisa dibawa ke rumah jompo. Bukannya mau dititipkan, tapi mau disalurkan sebagai juru bersih-bersih. Hati usil meledeknya.  Naidra meletakkan cermin tunggalnya di atas bantal, belum lima menit dia mengambilnya lalu menggantungkan pada paku samping pintu kamar indekos.

***

Selain kebiasaan mondar-mandir, ternyata Naidra hobi juga menahan pipis. Seperti saat ini, dia sudah menahannya selama lima menit gara-gara asyik mencetin komedo di hidungnya yang tanggung, mancung enggak pesek pun iya. Tapi Naidra senantiasa bersyukur atas karunia dari-Nya berupa indra penciuman ini. Dia masih normal dengan keterbatasannya, semerbak Laras dapat diingat dengan baik olehnya. Wangi rerempahan yang segar!

“Naidra! Buka pintu dong, ngapain sih pakai dikunci? Gue ada perlu nih,” pinta suara dari balik pintu kamarnya. Naidra memegangi bawah pusarnya, antara ke toilet atau membuka pintu, dia masih ragu.

“Ah paling juga elu mau minjam uang lagi,” jawab Naidra sambil membuka pintu bercat hijau. Radit sudah memasang muka sok innocent-nya di depan pintu.

“Masuk dulu gih, enggak bagus tamu hanya berdiri di depan pintu,” ucap Naidra sambil bergoyang-goyang, dua tangannya memegangi bawah pusar. Melihat kebiasaan sahabat satu indekosnya, Radit meledakkan tawa hingga mukanya memerah tomat.

“Sudah hampir satu semester jadi mahasiswa, tapi elu masih demen juga begitu! Pipis dulu sana, entar malah ngompol!” saran Radit, perutnya jadi seperti telur dalam mangkuk, diaduk-aduk siap didadar.

“Naidra, tolongin gue, ya? Gue minjem doku lagi. Hari ini gue mau mengantar Sri periksa ke dokter,” ucap Radit, matanya membaca tanda dan tulisan di kalender berangka sebesar badak di samping kasur Naidra, menempel persis di angka 13 bulan September kemarin. CEK TRANSFER DARI KAKAK DI AMERIKA.

“Elu boleh pinjam uang, tapi ada syaratnya,” ucap Naidra dengan wajah iseng. Sebenarnya dia kesal, tapi bagi Radit, Sri sama halnya dengan Laras menurut Naidra. Gadis idaman yang sedang memanah mereka menjadi jomblo PHP, pagi hari puitis, ini singkatan maksa.

“Elu kudu jalan sambil jongkok! Bantuin gue ngepel ruang tamu, kan sekarang jadwal gue bersih-bersih,” lanjut Naidra. Radit hanya pasrah.

***

Setelah berdebat dengan hatinya, Naidra memutuskan untuk tidak lagi memangkas rambut. Dia cukup menyisir rambutnya lalu semprot sana-sini. Saking semangatnya cowok blasteran Jakarta-Tegal itu pernah menyemprotkan Baugun, obat nyamuk, alhasil kepalanya mengeluarkan bintang tujuh yang berputar-putar. Setelah dicek ternyata spary rambut ada di bawah rak kayu. Pantes saja semalam nyamuknya genit-genit, la yang disemprotin bukan obat nyamuk!

Beep.
Suara SMS masuk di HP Naidra. Mimiknya mirip pesepak bola yang gagal mencetak gol pada detik terakhir pertandingan seri. Sebenarnya lebih persis orang menahan Be A Be, buang air besar. Laras sakit, demikian isi SMS-nya. Naidra menggelongsor di kasurnya. Mereka batal bertemu di Perpustakaan kota.

Dua setengah jenak, suara pukulan mangkuk tukang bubur ayam berubah jadi lagu pilu di telinga Naidra. Dia berdiri, melangkah ke pintu kamar dan keluar. Diliriknya kamar Radit yang tertutup. Dia pergi mengantar Sri ke dokter. Jadi lah Naidra sebagai penunggu indekos tunggal pada hari Minggu kuturut ayah ke kota, ups! Buang empat kata setelah kata Minggu, ya?

“Buburnya setengah porsi, Bang,” ucap Naidra datar. Tukang bubur ayam bingung, tapi memilih diam. Dia melihat wajah pelanggannya bak pulang dari makam. Padahal biasanya sih pesan satu mangkuk penuh di makan langsung dan satu dibungkus untuk makan siang. Diam-diam abang tukang bubur salut pada anak muda di dekatnya. Menurut cerita teman-temannya, Naidra anak orang paling kaya di indekos, tapi tetap bersahaja.

***

Wajah dua sahabat itu ibarat Tom and Jerry, satu bersemangat lainnya sedang kualat. Jangan ditiru! Ini istilah rekaan. Mereka biasa saling curhat di teras indekos. Begitu pula saat ini.

“Eh, ngomong-ngomong, gue penasaran nih sama cewek yang elu incar, Mm … si Lar … Lar siapa?” tanya Radit, cowok indo trayek Jakarta-Semarang.

“Lari di tempat!” jawab Naidra ketus.

“Wah, elu perlu lihat langit sekarang. Noh ada tulisan, JOMBLO YANG DOYAN MARAH JAUH DARI HONGKONG.” Godaan Radit cukup membuat Naidra tersenyum.

“Laras itu … suka warna biru telur asin. Makanya dia sering banget pakai kerudung warna itu. Dia jinak-jinak pus meong, tapi entah lah!” jawab Naidra serius campur ngaco.

“Sri tuh … kulitnya putih, bibirnya merah meski enggak pakai gincu. Sudah gue tembak sih pakai senapan mainan, tapi gue belum berani mengutarakan isi hati ini. Dia demen juga noh sama warna biru telur bebek,” ucap Radit, wajahnya berbinar mirip anak kecil berhasil keluar melalui jendela saat nyokapnya terlelap pas mau menidurkannya.

Curhat berbalas di teras usai pas azan asar. Mereka melangkah dengan iringan lagu berbeda. Radit ber-soundtrack I Believe I Can Fly, Naidra diiringi nyanyian I beliye you hutang.

***

Kalau ada hari jingkrak sedunia, Minggu tanggal 28 September lah waktunya. Dua jomblo bersebelahan kamar sibuk menyiapkan diri untuk balap karung, loh? Maaf, maksudnya untuk bertemu dengan gadis pujaan mereka. Bedanya, Radit sering lirik HP sedang Naidra memegang peta di kertas warna biru telur asin. Ya, sama-sama mengingat rute menuju tempat bertemu, rumah seorang yang telah membuat hati mereka berasa gado-gado bumbu rujak. Asal jangan bumbu tongseng, entar sulit menamakannya.

Radit memakai kemeja putih bergaris biru kombinasi warna kesukaan Sri. Naidra berkaus biru warna favoritnya Laras. Keduanya kompakan memakai celana jins hitam semu abu-abu. Mungkin sudah lama dipakai dan KW jadi warnanya luntur.

“Elu mau naik apa?” tanya Radit sambil menggulung lengan kiri kemejanya

“Jalur 13, elu?” Naidra balik bertanya.

“Gue naik taksi saja deh, elu berangkat dulu ye?” ucap Radit sesekali mengecek HP-nya kalau-kalau ada SMS masuk.

“Gaya banget sih elu pakai naik taksi segala, buat bayar hutang dulu sini tuh doku,” ledek Naidra pada sahabatnya. Radit memasang muka memelas ala anak balita minta permen.

Naidra pun keluar dari indekos menuju jalan raya. Dia menunggu angkutan jalur 13. Sementara Radit yang parfumnya enggak mau bercampur bau knalpot, lebih memilih naik taksi.

***

“Terminal habis … Terminal habis!” suara kernet memberi kode. Penumpang berhamburan berebut keluar. Naidra berdiri, suara rem mengiringi benturan keningnya dengan pintu. Dia mengusap kening nonongnya serta meraba rambut, semoga enggak jadi acak-acakan gara-gara angin, lirihnya.

Naidra sampai di depan rumah bercat biru telur asin. Dia melihat dengan teliti kertas peta dari Laras. Telinganya mendengar suara mobil berhenti di belakangnya. Ternyata Radit yang turun dari taksi. Mereka saling tatap. Pandangan beradu bak Tom and Jerry. Satu mau makan keju, satunya mau ngambil kejunya.

“Dit, jangan-jangan Sri sama Laras kakak beradik, ya?” tanya Naidra mau tahu banget.

“Wah, bisa seru nih persahabatan kita di indekos dan di Kampus Universitas Indah Nian, UIN,” jawab Naidra sambil membuat istilah untuk kampusnya.

 Seorang cewek melangkah ke pintu gerbang. Tangan putihnya membuka gerendel pagar.

“Hei, Radit … Hello Naidra?” sapa si gadis pada dua tamunya

“Hei Sri” sahut Radit.

“Hello Laras” jawab Naidra.

PC-Yk, 02 Oktober 2014

Naskah KBM Academy Award stage 6, 2014--Sebuah audisi menulis tahunan di Komunitas Bisa Menulis

Comments