Mengail Tawa di Ulam Fajar

Byan dan pancingnya


Pagi yang hangat, cuaca bersahabat. Selasa, 2 Juni 2015 suami mengajak saya dan anak-anak ke pemancingan. Sebenarnya kami sudah berniat pergi sejak hari Minggu, tapi suami ada acara mendadak. Maisan (anak pertama saya : 4 tahun kurang sebulan) begitu bersemangat. Saat baru bangun tidur dia sudah berkali-kali mengingatkan, "Mi, ayo siap-siap ke pemancingan."

Sebelum pergi, saya sengaja membeli makan. Suami seolah mengisyaratkan, "Enggak juga gakpapa. Nanti habis mancing kan makan." Tapi, ini hanya penasfiran saya yang melihatnya. Bukan fakta. Oke, tiga porsi makan sudah terbeli. Perjalanan pun lanjut.

Lokasi pemancingan yang dimaksud ada di Jalan Parangtritis. Namanya Ulam Fajar. Setahu saya kata Ulam adalah bahasa Jawa yang artinya ikan, sedangkan kata Fajar, bisa berarti pagi saat fajar, atau mungkin nama orang/pemiliknya. Ah. Sudahlah. Kira-kira 40 menit dari arah Jalan Wonosari km. 10 perjalanan kami tempuh.

Begitu melambankan motor, kami disapa mobil BMW merah di depan pemancingan dengan tulisan, "Di Jual." Saya mulai melongok ke arah kolam pemancingan, "Kok sepi?" bahkan sangat. 

Setelah masuk, saya mendapati seorang bapak dengan anaknya yang kira-kira berusia 11 tahun. Mereka asyik memasang pancing, beberapa saat kemudian terdengar suara girang, "Dapet, Pak. Gede!" Saya ikut tersenyum. Maisan tak berkedip melihat ikan yang meronta-ronta di kail anak tersebut. Maklum, bagi Maisan ini adalah kegiatan memancing pertamanya. Byan--adiknya ikut memandang dengan heran. Oke anak-anak, silakan kalian mancing, saya mau sarapan. Wah, tega?

Sepetak kolam dengan air berwarna hijau lumut, tepian sebelah kanan berpagar tembok, sementara bagian kirinya berpagar bambu. Di belakanga ada bangunan yang digunakan untuk lesehan. Tikar-tikar yang digelar ikut menyambut kami. Dari pagar bambu bagian belakang tempat itu dapat melihat ... menerawang kolam di petak sebelah.


Maisan, Byan, dan abinya mulai memasang umpan. Saya yang tadinya mau kejam karena sarapan dulu, memilih menyuapi dua anak yang memegang kail, anak sendiri masa tega? Di sebelah mereka ada enam anak yang bergantian mendapatkan ikan, sedangkan Maisan belum juga ada yang menarik kailnya.

Mereka memilih berpindah tempat. Sekitar lima menit, ada seorang bapak yang belakangan kami tahu bahwa itu pemilik pemancingan. Beliau membantu Maisan, dan benar saja, langsung ada ikan yang memakan umpannya. "Pakai pelet yang ini lebih gampang," ucap beliau seraya menunjukkan pelet yang lebih mirip tanah liat.

Setelah Maisan dan Byan selesai sarapan. Saya akhirnya tertarik juga ikutan mendekat. Gantian abinya yang sarapan. Maisan terlihat mulai sabar menunggu kailnya bergerak. Wah, ternyata bisa untuk belajar sabar, tenang, dan menunggu. 

Ada yang menarik kail saya. Tarik, tarik ...! Saya menggulung tali pancing. Maisan bertambah ceria. Satu persatu ikan mulai masuk wadah. Hingga kira-kira jumlah ikan satu kilo lebih (kami membatasi, sebab rencana benar-benar untuk dibakar/goreng dan makan siang di sana). Namun rencana memang kadang melenceng. Alih-alih menyerahkan ikan untuk digoreng, Maisan malah memegang wadahnya erat-erat, "Dibawa pulang!" Rayuan yang saya luncurkan, beberapa kalimat yang ditawarkan abinya tidak mampu menggoyahkan keputusan Maisan.
Maisan dan abinya


"lalu kalau dibawa pulang yang masak siapa? Kakak mau masak?"

"Ya, Ummi lah."

Nah, lo.
Ini dia yang mengail tawa saya. Niat hati ke pemancingan agar dapat menikmati menu ala sana, eh, lah malah dibawa pulang. Ya! Kadang jadi ibu memang kudu siap untuk rempong kapan saja dibutuhkan.

kami pulang setelah membayar Rp. 36.000 ikan bawal segar. Dalam hati, sepanjang perjalanan saya bilang, "Selamat masak, Umi."



Comments