Mencari Cahaya


Namaku Siti Fatimah, usia di Disdikpora kecamatan barat Cilacap ini paling banyak angkanya. Teman-teman sebagian besar baru lulus SMU. Bilangan umur belum genap di angka 20. Usiaku Sembilan tahun lebih di atas mereka.
Dua bulan mengabdi di perpustakaan kecil sekolah MTs Negeri membuatku merasa kurang ilmu. Terutama saat berbenturan dengan katalogisasi, pengorganisasian buku dan pelaporan. Angka-angka yang tertera di belakang punggung buku, ternyata bukan sebatas angka. Ada aturan main untuk menentukan angka berapa yang harus bertengger di sana. Dan aku butuh ilmunya.
Aku di sini bukan satu dari sekian pegawai yang ada. Hanya berstatus mahasiswi di Universitas Terbuka yang biasa tutorial di sekolah atau gedung-gedung. Dan tempat tutorialku di gedung Disdikpora. Tidak ada kesan megah di bangunan luas ini. Pada hari biasa ruangan digunakan untuk aula. Ada podium yang kadang digunakan Mayis, teman kuliahku yang paling enggak mbois, untuk pura-pura melakukan khutbah Jum’at di depan.
Dalam hal kegigihan belajar, aku paling sering berguru pada tekad Mayis. Dia bukanlah mahasiswa paling pintar, paling rajin atau hal lain. Dalam keterbatasan yang sering dijadikan olokan tutor dan teman-teman, diam-diam aku tak bisa menghitung lagi, berapa pelajaran yang didapat. Mayis berkulit gelap, dua matanya cekung dan badan melebihi kurus untuk dikatakan jangkung.
“Mbak Siti mau es?” Aku terhenyak mendengar tawarannya. Ada seplastik es teh di tangan kurus itu, tak ada yang lain. Beberapa saat setelah menawarkan, es teh di tangannya pun telah diminum. Lalu, mana yang ditawarkan untukku? Aku jawab saja, “Boleh.” Dia berdiri dan pergi meninggalkanku. Lalu kembali dengan seplastik es teh. Dari 38 nama, selain namaku yang berjejer di daftar presensi, hanya satu nama yang peduli, Mayis.
“Yis? Kamu kok mau sih kuliah di UT? Memangnya enggak kepingin tuh kuliah di kampus regular?” tanyaku saat istirahat menjelang dhuhur.
“Apa itu regular, Mbak?” Mayis terlihat serius bingungnya.
“Kamu kuliah biasa tuh, di Kampus IAIN atau UNSOED apa UMP, gitu?” Aku melihat Mayis menggaruk rambut kriwilnya. Dia juga menggulung lengan bajunya yang sebenarnya sudah pendek.
“Ya kepengin banget, Mbak. Tapi langka biayane. Terus ora bisa disambi ngrewangi mamake.” Mayis mendongak, seolah visualnya ingin menembus langit-langit aula. Dia bilang, betapa inginnya kuliah biasa, tapi terbentur biaya, juga menghalangi untuk membantu mamaknya.
“Kamu bantu kerja apa, Yis?” Kuletakkan modul. Uraian Mayis sangat menarik pikiran dan hati ini.
“Siki ya paling mbawon, Mbak.” Aku diam. Mayis membantu mamaknya memanen padi orang, lalu mengambil upahnya. Dalam hati ini berdentum motivasi-motivasi agar bisa mendapatkan nilai bagus, bukan untuk terkenal, tapi memaksimalkan potensi akal. Aku yakin bisa. Bi idznillah. Dengan seizing Allah.
“Rumahmu mana sih, Yis?” Aku mulai memelankan tanya. Setelah cerita barusan, mendadak ada haru yang menyetir nada suara ini.
“Kalau dari sini berhenti di belokan hutan. Setelah jalan satu jam, aku baru bisa mengambil sepeda. Mengayuh sepeda hingga ke rumah selama satu setengah jam. What? Kepalaku seperti disodori rumus kimia disilangkan dengan rumus phytagoras, enggak jelas. Tiga jam dia tempuh hanya untuk sampai sini. Itu pun bukan waktu yang mulus dengan hanya naik bus.
Sepulang kuliah kedua itu aku membeli kertas karton dan satu pak spidol. Berbekal kesukaan menulis dan menggambar aku membuat poster berisi motivasi, “Al Ilmu Nuurun, Ilmu itu Cahaya.” Di bawahnya kutempel foto yang terlihat segar, ya foto sendiri, bukan foto yang diedit. Ada satu ayat yang paling kuingat. Sayang, nama surat dan halaman dalam alQur’an tidak kuingat. Ada yang mau membantu?
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan yang menuntut ilmu, beberapa derajat.”
Namaku Siti Fatimah. Satu tahun setelah perbincangan dengan Mayis nilaiku bisa untuk syarat mendapatkan beasiswa. Tiga juta! Tiga kali lipat dari biaya kuliah persemester, enam kali lipat dari honor bekerja. Aku juga bisa membantu teman lain dengan cara memberitahu arsip dokumen agar mendapatkan beasiswa. Lima nama penerima beasiswa terpampang di papan UPBJJ, namaku ada di urutan pertama.
Bagaimana dengan Mayis? Guruku dalam empati itu justru sedang murung. Dua semester mendapatkan IPK 2, 2. Dua ngkanya itu ada di urutan terbawah dari 39 nama di Disdikpor. Aku ikut berpikir. Bagaimana ya seorang Mayis yang membaca satu halaman modul bisa bolak-balik seperempat jam agar dapat IP setidaknya 2,5?
Gayung bersambut. Mayis mendekatiku dan mulai terbuka bertanya bagaimana biar mendapatkan nilai. Dia bilan sudah ada perpustakaan di balai desa dan dia mulai mengabdi di sana. Semangatku naik 130 derajat. Mayis mulai berbinar.
“Coba deh setiap pulang tutorial kamu langsung saja praktek. Tidak usah pedulikan berapa nilaimu nanti. Usulku untuk mengaplikasikan mata kuliah Pengolahan Bahan Pustaka. Mayis paham. Sepekan sesudahnya dia bilang, “Aku bawa semua modul ke balai desa, Mbak.” Senyumku tertahan.
Esoknya Mayis tidak merasa bahwa aku sedang jahat, mengguruinya agar mendapat nilai maksimal. Satu UPBJJ kalau bisa nilainya bagus semua. Dia juga menemukan sendiri cara belajar untuk mata kuliah lain yang tidak bisa dipraktekkan di balai desa. Aku tinggal memberi dorongan saja. Sambil bicara sebenarnya aku memotvasi diri sendiri.
“Mbak, IP-ku 2,75!” teriak Mayis itu tak pernah kulupakan. Beberapa saat setelah hari bahagia itu aku menikah. Aku pindah UPBJJ ke Yogyakarta. Cerita yang tersisa hanya senyum Mayis yang begitu bersemangat menuntut Ilmu. SMS terakhirku padanya berbunyi, “Yis. Jere pelajaran agama ilmu kuwe cahaya.” Kata pelajaran agama ilmu adalah cahaya. Mayis membalas dengan singkat, “Oke!”
Belum lama aku pindah, aku mendengar khabar bahwa Mayis sudah meluluskan D2 nya. Meski tidak bisa bersamaan dengan teman-teman lain. Saat ini deretan nama-nama yang membersamainya telah meluluskan S1. Sedangkan aku sudah menapaki beberapa hal lain yang tak pernah kuceritakan pada mereka. Aku mulai menulis, ingin rasanya menularkan apa yang kumiliki melaui tulisan persis seperti ketika menularkan virus semangat pada Mayis.
Satu do’a yang terus menjadi harapan. Mudah-mudahan Dia memudahkan aku menulis, membuka jalan menuju kebaikan serta dikukuhkan dalam istiqamah yang penuh barokah. Allohumma Yassirlana. Bagiku kalimat motivasi “Al Ilmu Nuurun” seperti pondasi untuk menekuni sesuatu. Bila kelak alfa dan mengingatnya, bukan tidak mungkin yang tadinya tersesat akan kembali lurus.

Pondok Cahaya-Yk, 28.02.2015
Jumlah kata : 977 kata beserta judul dan lainnya

Kisah nyata yang dikemas dalam fiksi.
#Kisah Inspiratif
  

Comments