Kristal Rasa



Kau dan aku bicara sendiri, dalam hati. Kadang menemui kesimpulan individual tak bertepi. Bukankah kita bisa komunikasikan semua ini? Aku tergugu membaca lembaran hatimu pada surat biru, tiada ingin kupelihara kekanakan, terbaca tanpa pinta, ingin sekali saja kau ucapkan maaf meski tak bersalah.
Sudah lama rasa cemburu ini kusimpan, tadinya akan kuabadikan dalam torehan di buku harian namun ternyata ketika tersulut lagi, rasa sudah tak tahan. Kalimat berhamburan menghujamnya tanpa sanggahan.
Kamar 3x4 semakin terasa sempit, aku benar-benar ingin pergi, tak melihatnya lagi
Aku tiada membatasi dalam kekang sempit, sebagai insan kudamba keterbukaan ke mana kau pergi, pada siapa berbagi.
Tak dapat kunikmati sendiri cinta ini, kepahitan jua yang kurasa tiap kali kau tak peduli sebab menangis.
"Terserah apa maumu ..."
Aku kurang yakin jika ini berlajut akan menyelesaian kebekuan di antara kita, semakin bertumpuk menyalju bersama masalah demi masalah, posisiku salah dan kau benar.
Pembenaran sepihak menyeret jiwa pada kubu berbeda, memberi kesempatan pada jurang pisah, menempelkan magnet resah tanpa arah.
Malam-malam kau nantikan kehangatan tepat ketika raga menanggung kelelahan, jenuh disandang, penyesuaian hidup bersama ini terasa panjang.
Cerita tentangmu pada sahabat, kau bilang aku mengarang? tolong jangan biarkan rasa bertambah tegang.
*
"Maaf, aku akan pergi"
Kau tak mencegah sama sekali. Kutahan kristal bening yang mulai menusuk mata, tidak!  tak boleh menangis.
Hampir empat tahun, menurutmu. Kau semakin tak mengenalku sedang aku berusaha memahami, dengan cara berganti. Kenapa pertanyakan kemana cinta putih dari sosok yang pantas disayang? Tanpa memberiku ruang apa sebabnya pilu ini meradang.
Setahun tiga bulan terakhir merupakan masa-masa terberat adaptasi ganti peran dari istri menjadi Ibu bayi lalu akan punya anak lagi, pada waktu begitu singkat. Uraian kesahmu kelabu. Kesabaran yang kau gelar memudar, masihkah tak sadar?
*
Bus kota membawa perih terlunta, kusamarkan rasa dalam senyum tanpa kata berharap mereka tak dapat membaca kecamuk dada. "Permisi, kosong mbak?"  Seorang Bapak menampar lamunanku.
"Ya, silakan duduk ..."
Senyum terberat kusunggingkan dalam penat.
Kharisma cerita disuguhkan si Bapak  seolah menghibur hati untuk memberi semangat. Ah, tak baik berprasangka bila hati belum tertata. Sanggahku ketika pikiran mulai bertanya motivasinya.
Kalimat bijak hanya kusambut dengan anggukan sambil mempertajam pendengaran yang beradu dengan deru angin memainkan balada lagu sembilu.  
"Semua keluarga memiliki tahapan untuk menjalani proses mengayuh biduk mereka, masalah selalu datang berganti menguji, sampai di mana keteguhan mengukuhkan mitsaqon ghalidza, ikatan yang kuat, dalam genggaman. Konflik rumah tangga terkadang hanya datang dari masalah sepel, penangguhan finis justeru membuat jadi masalah besar. Ego masing-masing muncul, apalagi ketika memberi namun tak mendapat balasan seimbang. Perjuangkan! Jangan sampai biduk tumbang."
Mungkin beliau sedang menasihati atau cerita tentang anaknya, bisa juga malah pengalaman pribadi. Percikan bunga hati memijar setelah sentak tersadar.
"Terminal habis ... Terminal habis." aku turun lalu melangkah ke arah Bus Jurusan Jakarta.
"Mbak, mau ke Jakarta juga?" Deg, Bapak ini lagi.
"Sepertinya iya" jawabku bimbang.
            Aduh, jangan-jangan dilanjut ni kalimat hikmahnya. Ternyata aku belum tepat menebak, Beliau memperlihatkan foto-foto dari galeri androidnya, tanpa banyak bicara, sekedar menjawab jika aku bertanya.
*
"Kiri! Pak, Saya turun di sini bisa, ya?" Seluruh pandangan menyajikan tanya pada keanehanku memaksa laju Bus berhenti bukan pada tempatnya. Biar saja.
Kartu nama Bapak yang belum kubaca segera menemani kartu-kartu lain dalam dompet. Lambaian tangannya berlalu seiring roda bus mulai melaju.
Aku hanya ingat satu nomor taksi, cantik dan mudah dihafal. Setelah menelepon, taksi itu berhenti, sopirnya tersenyum merasa yakin akulah pemesannya.
Belum terlalu jauh meninggalkan Jogja, hatiku merasa di ujung dunia tanpa penghuni. Rasa bersalah beradu dengan rindu pada wajah tak kenal lelah, di rumah.
"Ke terminal, Pak" dia hanya tersenyum sambil mengangguk.
Sedikit ragu menyapa bila ingat sikap tak cintamu, menurutku. Tapi, demi Penggenggam ruh serta nadi, tak kuasa ayunkan langkah membuat jarak semakin terpisah.
Kugenggam HP, jika sms apakah kau akan menjemput? kalau sebaliknya, seberapa sahaja kusipakan malu, padamu, diri dan Tuhanku?
"Tolong, jika mau jemput aku di terminal, sekarang" tanpa membaca ulang langsung kupencet tombol kirim.
Turun dari taksi membatin, akankah kamu menjemput?, balas smspun belum ada.
Aku menunggu di Mushala. Duduk bersandar memandang langit sedikit bintang. Slide foto Bapak di Bus membentang diiringi irama degup jantung yang berdetak. Ada tulisan di atasnya yang mengungkapkan komitmen hidup berumah tangga.  Tanpa bicara, Beliau yakin aku menangkapnya, memang ya!
"Keluarga ibarat kristal" benar, sekali hancur kepayahan menyatukannya lagi.”
*
Hampir empat tahun berlalu, menurutku. Harus ada yang mengalah untuk mencairkan masalah. Sudah tiba saatnya ada kata bagaimana baiknya kita, bukan kamu saja yang benar, bukan aku yang kurag benar. Tak perlu malu!
Cemburu kekanakkan mulai kupilah melalui olahan emosi agar hati sedikit lebih cerah. Empat episode terkadang membuat gerah itu diantaranya:
1.   
                 Lamanya waktumu di Sekolah, selain mengajar, kau berbagi hati dengan lembur, cemas sedikit ekstrim hingga menyeret sibuk tanpa pesan, pulangmu kapan. Hati makin bermuhasabah, membayangkan wajah tulusmu, kesabaran terhampar selama ini memegang komitmen tanggung jawab tak ringan. Mungkin belum sempatnya kirim pesan yang kuharap, jadikan pemaksaan sedikit menekan.
                 Sosok sama, orang lama dan kenangan lalu senantiasa mendemo hati bila melihat menyapammu di FB. Harus kubesarkan jiwa! Sosokmu wibawa, wajar mereka gemar menyapa, mengalih rasa bahkan bisa juga sedikit menyesal tak bisa bersama. Jika mungkin haluan berbelok, pasrahku hanya pada Yang Kuasa.
                Gadis-gadis panti belia mengelilingimu, mengambil hatimu dalam kebersamaan tanpaku. Resiko! Hidup selain pilihan ternyata masing-masingnya mengandung resiko sendiri yang harus kupegang konsekuensinya. Mendahulukannya kamu pada selainku ketika hati sangat mendayu menanti belai hangat perhatian. Duh, ini layaknya jadi pemicu agarku bertambah memberimu makna, senantiasa berlandas dalam hidup untuk mendekat pada-Nya.
 *
              “Kamu? Kenapa dengan matamu? Menangis? Atau terkena samber nyawa, binatang mungil yang keluar setelah senja.” Tak ada jawaban. 
                "Ayuk pulang..." 
                Seperti kembang api hati, memercik warna-warni ketika ajakmu tanpa nada marah, dan senyum mirip ketika usai akad nikah kulihat lagi. Sedikit canggung, terlalu banyak arti menyusup dingin sanubari, berusaha menyentuh kebekuan agar membantu sedikit melumerkan.  
               Menyerupai gadis pengantin, pertama menggenggam tulus kokohnya jabatan, gemuruh tasbih memulas optimis piramida harapan. Aku tak ingin melepaskan kebersamaan ini begitu saja. Tanpa berucap, erat tangan melingkar pinggang, dekat rusuk asalku bermula. Duhai pria dalam dada, aku jatuh cinta. 

#Kisah Inspiratif 

Comments