Suatu saat nanti kita pasti akan
menuai segala perbuatan kita, baik atau tidak hasilnya tergantung apa yang kita
tabur selama kita hidup di dunia ini. -Doktrin Kehidupan-
Sudah satu
bulan Edoe tidak mendapatkan haknya sebagai suami. Tidak hanya persoalan
biologis, namun akhir-akhir ini Rose jadi sangat jarang memasak. Istri yang
dulunya penuh perhatian, kini menjadi sosok yang tidak stabil.
Sebentar-sebentar marah, teriak atau ngomel tanpa arah.
"Bisa
minta tolong pijit Papi, Mi?"
"Kan ada
tukang pijat belakang rumah."
"Hanya
sebentar,"
"Aku juga
capek."
"Nanti
gantian deh mijitnya,"
"Ngantuk
nih."
Rose
meninggalkan suaminya yang sudah membuka baju, menyodorkan punggungnya untuk
dipijat. Edoe melongo. Pintu kamar terdengar dibanting.
***
Edoe sedang
peregangan di teras. Seorang gadis cantik menekan bel pintu pagar. Tangan
kanannya sibuk mengelap keringat dengan handuk putih.
“Ada yang bisa
saya bantu, Mbak?” tanya Edoe. Matanya tak berkedip. Poni gadis itu seperti
pagar alami bercat hitam. Kulit wajahnya licin.
“Mbak Rose ada,
Mas?” Edoe belum menjawab. Visualnya begitu lekat berhenti di lekuk pinggang si
gadis. Singset.
“Lailla!” Suara
teriakan dari dalam rumah membuat Edoe tersadar. Istrinya menghambur ke pintu
pagar. Dua makhluk cantik berpelukan, lebih dari lima detik.
“Yuk masuk,”
ajak Rose. Edoe seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia
melanjutkan pemanasan. Kali ini tidak bisa konsentrasi. Ada gadis secantik
Barbie di ruang tamu. ‘Bisa curi pandang nih.’
Baru
saja masuk ke ruang tamu, Lailla sudah pamit pulang. Edoe merasa tidak beruntung.
“Kenapa?
Cantik?” tanya Rose. Edoe mengangguk.
“Em-em.”
Lho? Kok Rose tidak marah?
“Aku
boleh kenalan sama dia, Mi?”
“Tentu,
kenapa tidak?”
“Serius?”
“Banget.”
***
Kalau istri cuek. Boleh dong suami cari angin segar?
Edoe mulai menyusun khayalan dalam pikiran kotornya. Dia ingat dengan Lailla.
“Eh, Pi. Besok si Lailla mau ke sini, dia ngajak
Mami jalan-jalan ke mall. Boleh, kan?”
“Jangankan jalan-jalan. Nginap di sini saja boleh.”
“Papi naksir sama Lailla?”
“E-eng-enggak kok.”
HP Rose berdering.
“Ya, okei. Boleh kok. Daah.” Wanita berkulit putih
susu menghempaskan badan di samping suaminya. Tangan kanan Edoe meraih lengan
kiri Rose.
“AC-nya kurang dingin, Pi. Mami gerah nih”
“Alesan!” Edoe mengambil guling lalu melempar ke
tubuh istrinya. Rose masih belum bisa memenuhi hak suaminya. Fyuh.
***
Edoe ada dinas ke luar kota. Bisnis propertinya
mulai menanjak. Dia bilang pada Rose akan pulang setelah beberapa hari. Ketika mendengar
uraian izin suaminya. Rose berbinar. Wajahnya seperti anak kecil yang baru
mendapatkan permen.
Tanpa diduga. Edoe ternyata harus pulang sehari
lebih awal dari rencananya. Dia melihat ada mobil mungil warna hijau muda di
halaman rumah. Edoe tidak mengenali mobil itu. Hatinya berdesir, jangan-jangan
ini jawaban sikap Rose selama ini. Ah!
“Kok sandal perempuan?” Edoe mengamati sandal berhak
tinggi di ruang keluarga. Dia melangkah ke arah kamar. Pintu kayu jati kamar
terbuka sedikit. Ada canda tawa kecil terdengar dari kamar utama. Edoe
melangkah pelan menyerupai maling ayam. Dia mendadak ingin menceraikan Rose.
Dari celah pintu yang terbuka, dia melihat dua tubuh polos mencabik
kelelakiannya.
Naskah pemenang event di Komunitas Bisa Menulis, lupa juara berapa.
Huaaa Horror ini Mba -_-
ReplyDeletehehe ... ini genre entah ... terima kasih ya udah berkunjung ...
ReplyDeleteceritanya ada kaitannya dg LGBT ya mb Kayla?
ReplyDeletebagus ceritanya...