Hantu Penunggu Pohon Jambu



Sosok jangkung mempercepat langkah. Dia tidak berani menengok ke belakang. Suasana sunyi menyergap rasa takut. Laki-laki bersarung berlari seolah ada yang mengikuti. Bila dia berhenti, yang mengikuti juga berhenti. Saat dirinya menambah frekuensi kecepatan, pada waktu itu pula yang mengikuti bertambah cepat. Derap langkahnya terdengar magis, suara tap-tap-tap dari sandal jepit bersaing dengan lolongan anjing liar dari arah ujung desa.
Dua lubang indra penciumannya membaui aroma menyengat kentang rebus atau umbi-umbian rebus. Kata orang-orang, bau ini khas berasal dari para makhluk astral yang sedang berpesta. Sontak bulu kuduknya berdiri. Embusan angin yang berlawanan arah dengan langkahnya menambah ketajaman bau. Laki-laki berpeci menutup hidung, dia memencet rapat dengan telunjuk dan ibu jarinya. Berharap tidak mencium aroma magis.
Sejauh mata memandang seluruh warna tampak hitam. Langit kelam, sebelah kanan laki-laki itu berbaris pohon-pohon kelapa yang bergerak tanpa bayangan. Sebelah kirinya rumah-rumah berjarak jauh satu dengan lain dan hanya berlampu temaram. Serangga malam pun sudah terlelap dalam dekapan malam. Beberapa ekor kunang-kunang terbang dengan kerlip di daun-daun yang terlihat hitam. Ingin rasanya dia memejam sambil berlari kencang, namun sekarang langkahnya menjadi terasa berat.
Ya Allah, jangan keluarkan makhluk anehMu di hadapan hamba, do’anya dalam hati. Tepat saat melintasi jembatan, Wori melihat ada sosok bayangan putih di ujung jalan, di hadapannya. Dia melihat ke samping kanan-kiri bayangan, berharap ada kendaraan atau apa saja yang menjadi sumber bayangan itu. Tidak ada! Laki-laki itu berusaha mengingat do’a yang dihafalkannya. Sia-sia! Bayangan putih itu kian besar dan bertambah dekat.
Wori berlari kencang, namun sayang hanya lari di tempat. Keringat mulai membasahi tubuhnya. Entah bisikan dari mana yang menuntunnya untuk memanjat pohon jambu yang menjulang di samping kiri jalan. Suara gemuruh bersamaan dengan membesarnya bayangan putih. Angin mengantar bau-bauan aneh bercampur rasa takut yang bertambah. Bibirnya mencoba mengeja do’a.


“A’uzu bi kalimatillaahi taammah min syarri maa khalaq!”[1] dia berhasil melafalkan do’a.Perlahan, bayangan itu mengecil kemudian lenyap. Semua kembali tampak hitam. Lolongan anjing liar semakin pilu terdengar. Sekarang, Wori justru bingung, bagaimana dirinya bisa turun dari pohon jambu itu. Sejak kecil, dia senang memanjat pohon tinggi, namun selalu turun dengan bantuan para tetangga.
***
            Sebelumnya.
Pokoknya nanti kalau pas maulud Nabi aku enggak boleh tidur, desah Wori dalam hati. Bujang dua puluh dua tahun yang membantu emaknya berjualan di pasar itu berjalan tergesa menuju meja setrika. Dia sudah menyiapkan satu setel pakaian berwarna krem serta sarung kotak-kotak warna senada. Satu paket dengan kostum itu adalah kaus dalam berwarna putih dan under wear warna kuning bergambar sponge bob.
Agan ganteng, ada SMS masuk nih. Kling-klong-klong kling-klong.
Dua ekor cicak yang sedang berkejaran di dinding berhenti karena kaget. Mungkin mereka merasa aneh dengan bunyi HP Wori. Pemilik HP menjetik jari tengah dan ibu jarinya. Dia melangkah mantap mengambil HP ber-casing kuning gambar sponge bob. Bibirnya menyunggingkan senyum saat membaca pengirimnya. Abud! Baru saja selesai membaca SMS yang berisi agar Wori siap-siap, HP kembali berbunyi.
A-gan gan-teng. Teroret-teroret. Angkat dong, Gan. Jangan tunggu inyong beruban.
Kali ini bunyi nada dering HP kembali mencuri perhatian dua ekor cicak. Satu di antaranya terjatuh, cicak lainnya bingung mencari temannya. Tangan kiri Wori mengantar HP ke telinga kiri. Seekor nyamuk terbang menyingkir begitu tahu calon mangsanya membuat gerakan pada area yang mau dihisap darahnya.
“Kita berangkat jalan kaki, ya, Wor? Biar pahala dihitung sesuai jumlah langkah,” ucap Cahyono. Wori manggut-manggut. Meski usul sohibnya terdengar menyebalkan, namun alasannya cukup masuk akal. Setelah khutbah Jum’at pekan lalu, Khotib memang bilang kalau pahala orang yang pergi beribadah akan dihitung sesuai jumlah langkah. Entah pendapat Cahyono benar atau keliru, yang jelas dia menyetujuinya. Demi satu kata : Kompak!
“Ohya, pokoknya nanti koe enggak boleh tidur di lapangan. Kalau sampai lupa, inyong sama Abud kompakan mau meninggalkan koe,” ucap Cahyono sungguh-sungguh. Wori dapat menangkap nada serius dari ucapan sohibnya. Hatinya sangat berharap bahwa pepatah ‘di mana langit membentang di situ dirinya bisa tidur’ tidak berlaku pada acara maulud Nabi nanti. Dia pun berencana akan menyiapkan enam ratus mili liter kopi yang akan diminum saat kantuk menyerang.
“Iya deh. Inyong janji ora bakal tidur. Kalau inyong sampai tidur berarti siap kalian tinggal,” jawab Wori sambil meratakan gel ke rambutnya dengan tangan kanan. Dia melangkah ke samping tempat tidur lalu tangan kurus Wori mengambil peci hitam dari gantungan paku di tembok. Dia mengusap-usap benda hitam berbahan beludru itu, memakainya dengan hati-hati.
Ah, sudah wangi dan rapi nih, ucap hatinya sambil menatap cermin.
Badannya berputar setengah lingkaran ke kiri lalu berbalik ke kanan. Dia memantas diri, seolah dirinya dai’ ternama dengan ribuan jama’ah. Senyum percaya diri lalu menjulurkan lidah. Bermimik serius, kemudian garuk-garuk peci. Sudah pas jadi Da’i nih, bisiknya. Iya! Da’i cilik, timpal hatinya lagi. Piss, ucapnya sambil mengangkat dua jari pada bayangan dirinya dalam cermin.
***
Wori dan dua sohibnya adalah bujang ajaib. Tiga sahabat itu memiliki keganjilan masing-masing. Satu hal yang menjadi persamaan di antara mereka hanya sama-sama suka membawa sarung ke mana pun pergi, kecuali ke kamar mandi. Mereka juga punya semboyan ‘jauh di mata dekat di HP’ alasannya sederhana, sebab dekat di hati adalah ungkapan khusus untuk Dia Sang Pencipta serta emak yang sudah melahirkan mereka.
Wori pernah tidur sambil berdiri saat upacara bendera hari senin sewaktu SMA. Kebetulan Abud dan Cahyono baris tepat di belakangnya. Dua sohib Wori saling lirik lalu Abud membisikkan sesuatu agar tidak terdengar yang lainnya. Cahyono mengeluarkan spidol merah dari saku celananya, dia membuka tutup serta mengeluarkan isinya. Abud menyambar gabus merah panjang itu lalu membubuhkannya pada bibir Wori. Usai upacara sontak seluruh siswa yang melihatnya terpingkal-pingkal sambil mengacungkan telunjuk ke arah Wori sementara dia hanya bingung.
Jangankan di tempat teduh, di atas kompor menyala saja Wori bisa tidur! Apa lagi di tempat empuk semisal kursi bus. Nah, dia paling sering naik bus gratis gara-gara langsung tidur begitu punggung menyentuh sandaran kursi. Kernet menduga dirinya masih lama turun, pas bangun ya saat kernet meneriakkan trayek tujuan. Pada waktu itu kernet tahunya hanya orang yang baru bangun tidur, artinya orang yang sudah lama berada di bus, berarti sudah bayar.
Keajaiban Wori tambah satu lagi, dia itu penakut! Hal itu lah yang menjadikanya paling suka menghafal do’a saat mau bepergian di malam hari. Sayangnya saat ketakutan menyerbu, huruf-huruf dalam do’a yang dihafalnya kabur ditelan lupa. Dia pun tidak sungkan minta emaknya menunggu di kamarnya hingga bisa tidur baru lah  si Emak boleh keluar.
Beda Wori, lain pula Abud. Sosok gembul usia dua puluh tiga tahun itu memiliki keanehan yang belum jelas keunikannya. Kalau dia melihat Cahyono maka dirinya menganggap pasti ada Wori. Mungkin karena mereka sudah menganggap bahwa persahabatan mereka begitu kental.
Sedangkan Cahyono memiliki kebiasaan latah. Dia mau melakukan apa saja yang diintruksikan Wori dan Abud. Seminggu lalu Wori menyuruhnya lompat saat terkantuk di gubug sawah. “Lompaat!” teriak Wori. “Ada kodok!” lanjutnya. Demi mendengar nama binatang yang tidak disukainya, Cahyono segera melompat, tanpa aba-aba dirinya pun tercebur ke lumpur sawah.
***
Usai maulud Nabi.
Kok sudah sepi?tanya hati Wori. Dia mencari dua sohibnya di antara kursi-kursi lipat berwarna merah. Yang ada hanya pemilik persewaan tenda dan sound system. Mereka sedang beres-beres. Mungkin mereka sengaja ngerjani inyong. Atau si Cahyono kumat latahnya, dia hanya mengikuti ajakan Abud yang melihat Cahyono sedang mengantuk dan mereka pulang bareng. Huh dasar orang-orang aneh! Imbuh  hatinya beropini.
Terpaksa deh, inyong pulang sendiri,  hatinya kembali berucap. Wori membuka lipatan sarung, dia menyelubungi bagian pundak ke bawah dengan kain kotak-kotak itu. Pemuda desa itu menarik nafas lalu mengembuskannya berulang kali. Tangan kanannya menepuk-nepuk dada bagian kiri. Dia menyemangati diri sendiri untuk membelah malam.
“Bismillah!” teriaknya sambil meninjukan kepalan tangan kanan ke udara. Dia harus melewati jembatan yang terkenal angker, tepat setelah perjalanan satu kilo meter. Satu kilo meter lagi baru lah sampai ke halaman rumah. Baru hitungan enam setengah, Wori mengulang teriakan basmalah dengan gaya sama. Dia melakukan hal  itu berulang-ulang demi menuju pulang.
***
Sementara itu …
“Waduh, Kang senter inyong mulai redup, baterainya mau habis,” ucap seorang petugas ronda pada rekannya. Mereka berjalan berdampingan mau membeli wedang jahe di seberang jembatan.
“Kang, koe lihat itu, pohon jambu kok gerak-gerak, ya? Padahal tidak ada angin,” bisik seorang laki-laki berkumis pada rekannya. Mereka memperlambat langkah sambil menajamkan segenap indra.
Hidung mereka membaui bau khas tanah kosong. Suara anjing terdengar menyayat seperti lolongan buas setelah puas memangsa korbannya. Pucuk pohon jambu bergoyang-goyang seperti ada yang menggerakkan.
“Miaong.” Suara kucing mengejutkan. Mereka melihat binatang berwarna hitam dengan sorot mata tajam berjalan menjauh dari pohon jambu. Debaran jantung dua petugas ronda sedikit berkurang sebab duga menerka bahwa kucing itu lah sumber gerakan dari pohon jambu.
“Pak! Pak Kumis! Tolong inyong, Pak!” teriak sebuah suara dari pohon jambu. Langkah mereka tertahan tepat di bawah pohon itu. Mereka menajamkan pendengaran, namun tidak mendengar suara lagi, tapi ada suara seperti desiran diiringi air yang menetes.
“Eh, lho-lho. Ini apa, Kang? Kok ada air mengalir dari pohon jambu?” tanya Pak Kumis pada rekannya yang gundul. Beliau mengusap rambutnya, mengendus-enduskan hidung pada tangan yang basah.
“Kok bau pesing, sih?” tanya Pak Kumis pada dirinya. Dia menjulurkan tangan ke arah Pak Gundul, tapi beliau mundur teratur sambil mengangkat Senter ke atas.
“Maaf, Pak Kumis. Saya sudah enggak tahan,” pinta suara yang mereka kenal.
“Oh, jadi ini hantu pohon jambunya?” tanya Pak Gundul sambil menyorot muka Wori dengan senter. Pemuda itu menutupi matanya dengan lengan tangan kiri.
“Kita biarkan saja dia di atas sana, bagaimana, Pak Kumis?” tanya Pak Gundul dengan nada meledek.
“Ampun, Pak. Tolong bantu saya turun dari sini,” ucap Wori memelas.
“Mari kita pinjam tangga, Pak Kumis. Biarkan si Wori menunggu dulu di atas sana,” pinta Pak Gundul.
Dengan lemas, Wori harus siap bertengger di atas pohon jambu sampai dua petugas ronda itu datang membawakannya tangga. Mulutnya komat-kamit, matanya memejam. Dia menutup telinga, berharap tidak mendengar suara lolongan anjing. Sia-sia! Sekian.

Yogyakarta-11 Oktober 2014
-------------------------------------
[1] Artinya : Aku berlindung dengan kalimat-Mu yang sempurna dari seburuk-buruk ciptaan/makhluk.

Rekam jejak KBM Academy Award 2014

Comments