Lututku
seperti hilang kendali, sudah kukokohkan tetap saja lunglai. Takbir bergemuruh
dalam dada, tak kuasa lantunkan do’a pengampunan. Mata kutajamkan, kusangga
dengan istighfar, gejolak hati tetap memenangkan rasa, dua bulir bening pelan
jatuh bersama, menyapa pipi, hangat.
Sehelai
bunga mahoni jatuh, pusarannya mengincir lalu menyadarkan lamunan di tepi
jendela, pada helai terlepas dari satuan itulah ada biji pahit, sepahit kisahku
sebagai insan biasa.
***
“Kamu
mau buah apa, Tul?” tanya bapak dengan dandanan rapi. Sepeda kayuh telah siap
menanti.
“Apel
sama jeruk saja, Pak. Bapak mau ke mana?” tanyaku sambil terbatuk.
“Tak
belikan, ya? Bapak ke Kawunganten[1] dulu.” Senyumnya begitu dalam.
Mamak
menghentikan langkah bapak di depan pintu pagar. Beliau berhenti menyapu lalu
memperhatikan bapak dengan seksama.
“Rapi
amat, Pak. Hati-hati naik sepedanya enggak usah ngebut.” Pandanganku mengantar
keberangkatan bapak sampai tak terlihat.
***
Dua
hari aku demam, flu mencegah untuk berangkat ke sekolah. Pandangan
berkunang-kunang, mual tapi gak mau muntah. Bila bangun dari berbaring, atap
rumah seperti berlomba akan menjatuhkan diri di atas kepala.
Kutarik
kursi kayu tanpa cat, di samping jendela ini aku biasa melihat pohon kelapa
menari tertiup angin, burung melintas di atasnya serta daun atau bunga mahoni
ketika jatuh. Kembara jiwa dapat kutitipkan pada kepak burung-burung, angin
serta awan yang menggulung.
“Kapan
aku akan memberi kebahagiaan pada bapak?” selintas pertanyaan menyertai harapan
sunggingkan senyum bila aku di pelaminan.
“Prestasi
secuil padaku, apakah menyentuh sinyal bahagianya?” aku ragu, begitu berat
tanya pada diri sendiri.
“Allohku,
bahagiakanlah bapak dengan cara-Mu. Hamba berupaya dalam genggaman ketentuan-Mu.”
Selarik do’a mengantar tanganku tutup dua daun jendela biru.
***
“Tul!
Bapak ... Bapak! Ini kenapa?” tanya panik mamak membangunkan gontaiku. Loncatan
dari atas tempat tidur langsung mengusir keluh.
Tubuh
bapak tertelungkup di lantai dapur, dua kelopak matanya terpejam, masih ada
nafas tapi, seperti sudah tidak dapat mendengar kami.
Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Bapak
telah mendahului kami, dari-Nya semua bermula, pada-Nya semua kan kembali.
Gerimis turut berkabung. Temaram lampu melebur bersama sunyi. Satu dua orang
datang, tiga empat lain harus berpulang.
“Minta
tolong lah dengan cara bersabar dan
salat.” Kalimat bapak terngiang, kutipan ayat itu mengikat bathinku dengan
keyakinan bahwa di balik kesukaran senantiasa ada kemudahan.
Kisah ini sudah dibukukan (masuk dalam antologi indie)
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara