Elegi Burung Merpati



Kau teriak, hanya aku yang dapat mendengar.
Tiga gadis remaja berlari ke arahmu. Aku termangu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau terluka? Daun-daun pohon ketapang bergerak-gerak, padahal tidak ada angin.
Suara senapan angin membuatku berdiri.
Kutinggalkan setrika putih dalam keadaan panas. Visual mencari di mana kamu berada. Sungguh aku mengkhawatirkanmu. Tadi bukankah kau sudah sarapan?
Kali ini teriakanmu lebih nyaring. Aku berlari menuju laki-laki bersenapan. Wajahnya sangar, senyumnya terlihat puas.
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Tuan Sodo!” jawabnya tanpa menoleh ke arahku sedikit pun.
Aku mengutuki keputusan Tuan Sodo.
“Kotorannya mengganggu. Di mana-mana ada. Di dapur, teras, jendela, dan lainnya.”
Alasan Tuan Sodo memang masuk akal. Tapi cara menangkapmu membuat hatiku perih. Kau kan biasa hinggap di dekat jendela malam hari. Pada saat itu suamiku bisa menangkapmu tanpa kekerasan. Jika harus disembelih, kan bisa dilakukan secara baik.
Jdor!
“Kena lagi. Tepat di ulu hati. Sebentar lagi dia mati!”
Aku lemas. Dua anak balitaku kehilanganmu. Dan kau pergi dengan nasib yang naas.
Selamat jalan merpati tak bertuan….

Tulisan pernah di-publish di Grup Tarian Pena Anak Bangsa

Comments