Sudah ratusan, bahkan ribuan tanya menyapa
kesendirian. Dari teman, saudara hingga penghuni kampung penantian. Sudah
kukatakan, “Aku tidak mau pacaran.” Kenapa masih juga berduyun-duyun tawaran.
Ada yang datang dengan sanjungan, pun senyum kaku sebagai sogokan.
“Umurmu sudah tidak muda lagi”
“Kenapa?”
“Baiknya jangan pilih-pilih tebu, nanti
bongleng!”
Diam.
Pertanyaan Mbokdhe begitu menyilet kalbu.
Di tengah meriah pesta perkawinan putri bungsunya. Aku dikemas dalam sindiran
yang membelenggu. Bila tak ingat ada berpasang mata di sekitarku. Ingin rasa
merontokkan bulir-bulir bening; tergugu.
“Mohon do’a untuk kebaikan saya, Mbokdhe”
“Tinggal usahamu. Kalau enggak mau pacaran,
bagaimana mau menikah?”
Kembali diam.
Kupasrahkan jawab ini pada-Nya.
Menyandarkan pelepah-pelepah harap pada Yang Esa. Sungguh, jawab lisan hanya
akan menambah dera. Mengoyak fitrah, menyinggung pendapat mereka. Dua bibir ini
menyunggingkan senyum sahaja. Semoga pesan arif akan terbaca.
***
Pulang dari hajatan berbunga hujatan. Wajah
Bapak dan Simbok ditekuk tiga bak benang
jahitan.
“Bagaimana, kapan kamu nyusul anak
Mbokdhe?”
Ini namanya lepas dari bahaya tikaman
pedang, masuk bahaya di runcing anak panah. Kutatap wajah mereka; lelah.
Menyusun aksara agar tutur tetap ramah.
“Mohon do'anya, bila banyak salah, mohon
maaf.” Sunyi. Hati menelusuri tasbih alam yang disampaikan bayu pada pelepah
rindu di kalbu. Menikah karena-Mu.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara