Daur Ulang Harapan Ren

Apakah selamanya cinta harus rela berkorban? Termasuk hal paling berharga dalam hidup? Seperti kisah Ismail yang rela mengorbankan nyawa karena cinta pada Tuhannya. Ren masih meneriakkan tanya. Delapan belas tahun bersama dalam cinta, sekarang dia akan dijual. Bila tidak mau tiga nyawa sebagai taruhan.
Bimbang menyergap. Ren merasa tak kuasa berpisah dengan Nurul. Dia mencintai gadis berhati lembut itu seperti cintanya pada pemilik tiga nyawa. Akan ke mana pemiliknya melabuhkan Ren? Terpampang bayang hitam, mengerikan. Tiada berkawan.
“Rul, aku tak mau berpisah denganmu! Coba cari jalan keluar. Kumohon.” Gadis manis itu tertunduk, matanya mengikuti garis kotak lantai tegel, warnanya mulai pudar. Pandangannya beralih ke kamar depan. Angin bertiup sungkan memainkan kain lusuh gorden pintu. Terlihat sosok di atas tempat tidur dalam kamar, pucat terbaring lemah. Stroke bersemayam lumpuhkan raga. Nurul memanggilnya Ayah.
“Ren. Maafkan aku. Terpaksa harus menjualmu.” Ren terperanjat  apakah Nurul menjawab kegundahannya? Ah! Entahlah! Kesedihan gadis berseragam abu-abu putih itu begitu lekat. Sorot mata penuh semangat berganti sayu. Sendu.
***
Ibu bertambah ringkih. Memegang pot pohon berdaun layu, tanpa bunga. Teras rumah terasa gersang, debu-debu leluasa mengendap setelah diterbangkan angin.
“Kamu yakin dengan keputusan itu Rul?” tanyanya masih memegang pot.
Tiga bulan keluarga kita belum membayar tagihan rentenir. Sudah tidak ada barang berharga lagi yang bisa kita jadikan jaminan,”jawab Nurul.  Perbincangan mereka membuat  pilu Ren tertahan.
“Sakit Ibu bertambah parah. Dik Ayu … dia lagi senang bermain dengan teman-temannya. Nurul tak ingin melihat penderitaan menghalau ceria di ronanya, Ibu.” Diam sebentar, mengusap air mata sambil menahan sesak di dada.
Harapan meronta meratapi kemalangan dalam perkiraan. Apa ada orang sebaik Nurul akan Ren temui di luar sana? Pertanyaan demi pertanyaan menyudutkan. Menyulap harapan jadi sampah. Suatu saat Ren berjanji akan mendaur ulang harapan hingga bernilai lebih. Atau mungkin hanya sebatas angan.
***
Ren ingin menahan Nurul lebih lama di kelas ini. Pada sekolah terbaik pilihannya. Satu tahun sebelum lulus SMP dia siapkan amunisi untuk tembus ke sekolah ini. SMA ternama di jantung kota.
Nurul duduk di kursi sambil memandang jendela. Mungkin dia ingin menitipkan himpitan coba pada awan di langit. Menerbangkan sesaat hingga semua masalah berlalu.
Tiga teman akrab Nurul mendekat, mereka saling berpandangan sambil menyedot es tebu di gelas transparan. Tanpa berucap gadis-gadis cantik itu mengerumuni Nurul. Mereka saling lempar isyarat mencari siapa yang akan bertanya padanya.
            “Tolonglah. Ren akan kujual. Siapapun yang berani membayar tujuh puluh juta, mereka berhak mendapatkannya.” Petir menyambar perasaan Ren. Nurul tak main-main. Antara angin, hujan dan kebakaran bergantian mempermainkan gelisahnya. Tanpa aturan.
“Jangan, Rul! Kamu gak boleh senekat itu. Pasti ada jalan lain untuk membantu pengobatan tiga anggota keluargamu. Bukan dengan menjual Ren!” tegas seorang di antara mereka. Ada oksigen menyejukkan Ren mendengar ucapannya.
“Aku minta tolong pada semua. Pilihan ini sudah mantap. Bantu sebarkan keinginanku ini melalui berbagai media sosial.” Senyap.
Empat sahabat Nurul kembali berisyarat. Tatap mata, anggukan, dan acungan jempol di antara mereka seperti akan merencanakan suatu hal.
***
Ruang komputer sekolah sepi. Hanya ada satu orang di depan komputer server. Dia begitu serius hingga kedatangan Nurul tak mampu mengalihkan perhatian. Gadis bermata sembab meletakkan tas punggungnya di lantai bawah kursi.
Beberapa detik kemudian—setelah membuka web, Nurul terlihat  lebih serius dari orang di depan komputer server. Senyumnya tiba-tiba mengembang setelah membaca pesan dalam inbox. Dia  Segera memutuskan koneksi dengan internet, men-shut down layar datar di hadapannya. Di sisi lain. Ren menghamburkan kesedihan, begitu dalam.
Ada pesan dalam inbox facebook Nurul. Seseorang berminat membeli Ren. Tujuh puluh juta memang harga yang terlalu murah tapi keluarga Nurul butuh uang. Jeritan Ren kian histeris. Nurul rela mengorbankannya, Ren tak rela mengorbankan diri sendiri. Dia bukan Ismail Alaihissalam di tangan Ibrahim Alaihissalam, siap disembelih ketika perintah-Nya difirmankan.
Ren ingin membujuk empat teman Nurul tapi mereka hanya diam. Entah apa yang akan menggerakkan pikiran para gadis agar peduli pada dukanya. Angin bimbang berubah jadi badai berontak mengguncang perasaan.
Sorenya—sepulang dari ruang computer, ruang  tamu rumah Nurul tampak  ramai. Seperti ada cahaya datang setelah gelap menggulung kebingungan. Senyum yang dulu terpenjara dalam sedih merona bahagia di dua ujung bibir Nurul. Empat sahabatnya telah mengirim surat ke pemerintah kota. Kenekatan Nurul tak pernah terwujud.
Ren merasa pantas berterima kasih pada dua orang beda seragam. Satu dari pemerintah kota. Lainnya dari Dinas Pendidikan. Mereka membatalkan penjualannya. Setelah ayah, Ibu, dan Ayu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah. Senang membuncah. Biaya pengobatan mereka ditanggung pemerintah. Perpisahan dengan Nurul tidak pernah terjadi. Bagaimana merayakan ini? Sedangkan dia hanyalah Ren[1]. Ginjal yang batal dijual.

Ren : Nama Ilmiah ginjal

Terinspirasi dari : berita ini

Cerpen ini adalah stage dua audisi Komunitas Bisa Menulis Award 2014 (pada audisi ini saya meraih juara ketiga)

Comments