Cowok Type 21



 
Apa benar cinta itu seperti bayi, selalu ada alasan untuk tersenyum meski disakiti?
Langkahnya terlihat ringan. Gadis bernama Sekar memiliki senyum semanis madu. Posturnya aduhai  165 cm dengan berat badan 48 kg. Dia seorang atlet kelas kumite, pertarungan di bela diri karate. Sekar memiliki daya tarik tersendiri meski dia terkenal galak di antara atlet karate lain. Dua hari sepulang dari Pekan olah raga provinsi DIY dia berapi-api curhat sama sahabatnya, Diva.
“Kamu ingat enggak cowok berambut ikal, dia suka berdehem saat bertemu kita?” tanya Sekar pada Diva si Gadis berkulit langsat.
“Hmm, atlet anggar yang kamarnya di depan kamar kita saat di hotel dulu? Atlet sewaan dari Kabupaten Semarang, kan?” jabar Diva. Dia mulai menebak apa yang akan disampaikan sahabat satu teamnya.
“Sekarang aku jalan sama dia lo,” jelas Sekar tersipu. Kata jalan menunjukkan dia jadian, pacaran. Istilah anak zaman sekarang. Mata  Diva hampir melompat. Belum bisa percaya akan dua hal. Pertama, bagaimana Sekar gampang banget bisa jalan sama cowok. Sebelum bertemu Bayu, dia kan bilang mau fokus sekolah dan latihan karate. Bahkan dia juga bilang mau mengikuti jejak Diva yang enggak mau pacaran. Kedua, siapa sejatinya Bayu? cowok yang sedang mereka bicarakan.
 Sejak pengakuan itu, cewek berkulit buah peer bernama Sekar bak kupu-kupu,  diiringi bunga warna-warni ke mana ia pergi. Seluruh wajah yang ditemuinya beraura pink.
***
“Eh Div, temenin beli minum, yuk?” pinta Sekar usai latihan di Gelanggang.
 “Buruan, Div. aku haus banget nih,” ulangnya sambil memasukkan perlengkapan latihan ke dalam tas sport warna magenta.
“Kita mau minum apa, di mana, Nona Sekar?” tanya Diva sambil meledek.
“Di lesehan yang ada wifi-nya, ya?” jawabnya sambil mengerling.
Modus nih, paling-paling dia mau cek status FB atau chating-an sama si Bayu, lirih Diva.
Sekar menarik lengan kaos panjang sahabatnya yang bergambar karateka sedang melakukan tendangan atas. Mereka bersebelahan menuju tempat parkir.
“Buruan pakai helmmu, nih!” Ucap Sekar seraya terburu-buru. Diva hanya mendengus. Dua orang satpam mengangguk di pintu keluar dojo, tempat mereka latihan. Sekar memakai jaketnya terbalik, bagian punggung di dada dan sebaliknya. Sekar membiarkan rambut pirang hasil semiran tergerai acak-acakan.
***
Lesehan Rochma Sari masih sepi. Empat karyawan, semuanya cowok sepertinya sudah mengenal mereka. Dua sahabat itu memilih tempat di luar tenda. Sekar kentara sekali kesengsem akut sama si Bayu. Wajahnya bersemu merah tiap kali bercerita.
“Eh, lihat deh. Foto ini sama itu asyik kali ya kalau di cetak?” tanya Sekar pada sahabatnya. Mata sayu Sekar mendadak seperti lampu diskotik, kerlap-kerlip. Ada foto dirinya dan Bayu di kronologi FB.
“Lalu mau ditempel di kandang burung dara Mang Maman, supirmu, gitu?” ucap Diva meledek karibnya. Dia mencecap teh tawar panas diiringi tawa saat melihat muka Sekar mirip terpanggang bara. Menyadari sahabatnya demikian, Diva segera memberi isyarat dengan dua jari sambil berkata, “Peace.”
Malamnya, Diva melihat Kronologi FB Sekar. Dia memamerkan foto norak. Cewek berlesung pipit  sahabatnya itu mencetak dua foto lalu membentuknya bundar. Foto Bayu ada di satu sisi dan foto dirinya pada sisi lain. Direkatkan plus laminating. Mirip koin.
Kling.
Suara inbox masuk. Sekar sedang on line.
“Div, aku baru beli kemeja sama kaos buat Bayu, besok anterin ke JNE, ya?”
Jantung, mata dan lutut Diva gemetar bersamaan.
Ckckck, Sekar sudah kedanen, tergila-gila sama atlet anggar dari Semarang, batinnya bergumam.
“Boleh, kamu yang di depan, ya? Aku lagi belekan nih,” balas Diva sekenanya.
            “Sejak kapan kamu sakit mata, aku lihat tadi baik-baik saja,” tanya Sekar  penasaran
            “Sejak baca inboxmu,” Diva tergelak, seekor nyamuk masuk mulut hingga dia tersedak. Dia sangat senang meledek sahabatnya. Gadis tujuh belas tahun itu merasa berhasil saat melihat balasan emoticon bergambar teddy bear yang sedang geram. Chating pun terputus. Sekar off lebih dulu.
***
Gadis ayu sahabat Diva yang suka memelintir ujung rambutnya senyum-senyum bak baru menang undian mobil.  Dia tampak ingin memamerkan undian itu.
“Lihat deh, aku dapat kiriman gaun dari Bayu!” pekiknya penuh semangat. Diva mengerutkan kening, dia mengamati gaun itu … kayaknya sih enggak baru, bisik hatinya.
“Gila! Tajir juga si Bayu. Ini harganya empat ratus sembilan puluh sembilan ribu!” Sekar bersorak meniru gaya anak ibu kota. Dia membuang label harga. Diva mengambilnya. Sahabat sekar yang lebih rasional menyimpannya di box pulpen.
“Div, kemarin aku telepon sama Bayu. Dia cerita katanya tinggal di rumah besar. Ada aulanya untuk latihan anggar,” cerocos Sekar meniru gaya emak-emak saat kumpul arisan.
“Wah, dia lebih kaya dari kita dong?” tambahnya semakin enggak jelas.
“Nona Sekar, kalau dia kaya … Memangnya kenapa? Harta ayah bunda atau hartanya? Terus, kamu baru kenal seminggu kenapa juga gampang banget suka?” Diva menghujani sahabatnya dengan pendapat dan tanya.
 “Bilang saja kamu iri. Enggak senang ya lihat sobit bahagia? Atau mau mendoktrinku supaya mengikuti langkahmu, enggak pacaran?” tanya Sekar sambil memanyunkan bibir mungilnya. Kalau sudah begini, Diva memilih diam dan mendengarkan.
“Bayu juga bilang kalau ibunya ingin bertemu denganku, penasaran,” ucap Sekar dengan gaya genit.
“Ohya?” tanya Diva setengah hati. Dia ingin bicara pada Sekar tentang label price gaun yang disimpan, tapi bicara sahabatnya sedang mengereta api expres. Menghentikannya akan menimbulkan tumbukan.
***
Badai persoalan sepertinya sedang melanda Sekar. Pipi Barbie-nya mendadak ber-blush on angkara. Bibir Diva hampir meluncurkan pertanyaan namun sudah disambut hamburan bulir-bulir mutiara bening dari mata Sekar.
Diva diam, duduk sambil melihat suguhan pemandangan lampu merah dari samping lesehan Rochma Sari. Penglihatannya asyik memilah merek-merek dan bentuk kendaraan yang berhenti. Wajah-wajah lelah sayu ingin segera sampai rumah, mengistirahatkan badan atau bercengkrama dengan keluarga. Sesekali Diva melirik Sekar, belum juga membuka pembicaraan.
Tepat saat lampu hijau menggantikan lampu merah dan kendaraan di jalan menderu. Sekar berhenti menangis.
“Bayu tiba-tiba menghilang. SMS enggak apalagi telepon. FB pun tidak aktif,” ceritanya. Berhenti dua jenak saat seorang cowok berseragam lesehan mendekat. Mencatat pesanan mereka. Mengangguk kemudian berlalu.
“Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, ada cewek telepon ke HP dan nomornya di hiden. Dia ngaku pacarnya Bayu. Dan … ,” Sekar tercekat, dia menahan gemuruh dalam dada. Cowok berseragam datang memberikan dua gelas jus jeruk. Diva mengambilnya dari baki. Meletakkan satu gelas di depan Sekar, satu lagi langsung diseruputnya.
“Gaun itu ternyata pernah dikasihkan sama dia!” sengguknya bertambah.
“Terus?” tanya Diva sambil meletakkan sedotan ke dalam cairan oranye dingin di gelas.
“Besok Minggu, kamu mau enggak nemenin aku ke Semarang?” tanyanya membuat Diva tersedak. Jarak Jogja-Semarang memang enggak jauh, tapi kalau harus ke sana sekedar acara mencari Bayu, bagaimana, ya? Diva bimbang.
“I-ya, ok, Nona. Kita absen latihan dan kabur mencari Bayu, si angin-angin,” jawab Diva kemudian menyedot cepat minumannya hingga habis.
***
Dua sahabat itu menunggu di gang kecil samping sebuah Mall di Semarang. Mencari rumah cowok bernama Bayu. Diva merasa sebal karena Bayu sudah sukses menyeretnya sampai ke tempat panas menyengat ini.
Sekar membuka peta hasil contekan sana-sini untuk mencari rumah Bayu. Berdasar informasi yang tidak Sekar tulis sumbernya, rumah atlet anggar itu masuk gang di seberang sana. Gang tidak bisa untuk lewat taksi. Beberapa kali Diva mengeluh.
Mereka berdua menyusuri jalan kecil, gang-gang perumahan yang padat. Empat puluh menit setelah menyetrika jalan gang dengan sepatu kets. Akhirnya langkah berhenti di satu rumah kecil bercat hijau pudar. Sekar mencocokkan alamat dengan nomor di dinding tembok depan.
Ini rumah type 21 tempo dulu. Sekarang sudah tidak ada type beginian. Diva merasa tahu banget, papanya kan bisnis properti. Walah! Begini kok mewah. Diva membatin.
Sesosok cowok kusut keluar dari dalam rumah. Diva menutup mulut yang melongo. Ba-yu kah itu? Tanya hatinya. Atlet anggar itu bak tersengat tawon, mukanya memerah, dia membelalak saat membalikkan punggung dan mendapati dua cewek di hadapannya.
Sekar membuka tas punggungnya. Mengambil gaun bermotif bunga dan melempar persis di wajah Bayu. Diva merasa sudah terlambat jika memberitahu bahwa label harga sepatu yang ditempelkan ke gaun itu adalah palsu. Diva ingin melerai mereka tapi dia mengurungkan diri. Cowok itu pantas mendapat kemarahan dari Sekar. 
Sah-sah saja sih punya rumah sederhana, tapi kenapa harus berbohong? Tanya Diva dalam hati. Bayu memang cowok type 21. Memiliki ruang kejujuran terbatas dalam hatinya sebagai mana terbatasnya ruang pada rumah type 21.
Diva memeluk erat sahabatnya yang sesenggukan. Dia membiarkan gadis manis itu menumpahkan segala rasa. Mencoba melonggarkan hati untuk meredam amarah Sekar. 

Karena ini rekam jejak, maka cerpen saya posting apa adanya, tidak diedit. Ini rekam perjalanan saya di Audisi KBM-Academy Award 2014--sebuah audisi menulis tahunan di Grup Komutitas Bisa Menulis.

Comments