Bumerang Rasa di Hamparan Canola


google doc.


Dangsinege sangcheo jul su inneun yuilhan sarameun dangsin jasinida*

Hyda melipat sajadah tanpa gambar. Dari balik gorden pintu kamar yang terbuka, Chin Hae Goo tampak duduk menunggu sesuatu di samping vas besar berisi bunga-bunga Kristal.
“An-nyeong-ha-seo,” sapa selamat pagi keluar terbata dari mulut Hyda. 
“Tadi sedang apa?” tanya laki-laki bermata salju tanpa menunggu usai sapaan gadis semampai di tengah gawang pintu.
“Sa-lat su-buh,” jawabnya hati-hati.
Gomawoyo.
Ucapan terima kasih memupuskan harapan Hyda untuk bisa lebih lama bicara dengan laki-laki penggemar Jeonbokjuk, bubur abalon.
Cheonmaneyo.”[1]
Hyda mengangkat wajah setelah Chin Hae Goo berlalu. Ditatapnya punggung adik Ajuma[2] Da Hee dengan harapan aneh yang segera dipangkasnnya. Dia bergegas ke dapur untuk menyiapkan Jeonbokjuk.
***
Sejak bertemu dengan Chin Hae Goo, hati hyda memoles warna merah jambu. Mula-mula hanya sebatas sketsa. Sekarang biasnya pun terbaca melalui warna pipi yang berubah bila mereka berdekatan.
Jeonbokjuk-nya sudah siap.”
Hyda meletakkan menu hangat di meja. Chin Hae Goo masih membaca koran. Sedetik visual Hyda mengamati, laki-laki bermata salju itu hanya mengangguk. Kata terima kasih tersimpan rapi tanpa ekspresi secuil pun dari balik wajah maskulinnya. Apalagi ajakan makan bersama, Hyda tak mau melanjutkan khayal. Gadis itu pun melangkah meninggalkan laki-laki berbibir merah.
Dari balik jendela ruang keluarga, kuning bunga canola mendominasi warna bunga. Musim  semi yang indah, seindah harapan Hyda pada Chin Hae Goo. Apakah laki-laki itu sedikit pun tidak dapat membaca isyarat hatinya? Bagi Hyda mereka ibarat dua sisi koin. Bukan! Bukan tak terpisahkan tapi, bersama namun tak pernah bertemu.
“Saya pinjam buku tentang salat, jika ada.”
Chin Hae Goo meminta tanpa menurunkan koran dari hadapan wajahnya. Langkah Hyda tertahan tiga detik, berlalu setelah anggukan yang tak dilihat laki-laki pujaan mimpinya.
“Tidak usah dikembalikan. Saya memiliki dua buku sama.”
Hyda sedikit menjelaskan. Chin Hae Goo kembali mengangguk. Lagi-lagi keinginan Hyda tak tersampaikan. Kapan bisa berbincang tentang bunga canola, kupu-kupu atau semerbak pink blossom? Tanya Hyda pada bathinnya.
***
Usai salat magrib Hyda membuka Al-Qur’an. Hidungnya mencium harum khas minyak wangi yang dikenalnya. Visualnya berusaha menembus gorden pintu kamar. Mungkin dia bisa melihat seseorang di ruang keluarga.
Eotteoke jinaesseoyo?”
Hyda menahan loncatan mata bola pingpongnya ketika  Chin Hae Goo berdiri di samping pintu kamarnya dan menayakan kabarnya. Apakah ini nyata ? Tanya hati masih belum percaya.
“Mau kah kamu menemaniku ke festival canola? Ada hal yang ingin kusampaikan. Semoga bisa membantu.”
Sekali itulah kalimat panjang ke luar berbentuk suara dari sosok tegap tampan di hadapannya. Tanpa mereka sadari, Ajuma Da Hee, kakak perempuan Chin Hae Goo sudah berdiri di belakang laki-laki bermata salju.
  “Saya tidak suka jika kamu memanfaatkan keberadaan Hyda, bergaul lah dengan gadis Jeju lainnya.”
Kata-kata Ajuma Da Hee membuat kening Hyda berkerut. Sesempit itu kah pemikiran kakak Chin Hae Goo?
Chin Hae Goo berjalan mengikuti langkah sang kakak. Hyda menatap dua punggung kakak beradik itu. Hatinya kembali bersemu merah jambu. Lukisan rasa suka pada laki-laki Jeju ikut bersemi di musim semi tapi, bayangan Ajuma Da Hee menghapus lukisan itu. Yang tersisa justru jelaga dari kata-katanya tadi.
***
Pagi bulan april yang hangat.
Saat matahari menyapa kuning bunga canola. Beberapa ekor kupu-kupu bercanda memamerkan indah kepak sayap. Chin Hae Goo menatap keselarasan mereka dengan alam musim semi. Berkebalikan dengan dirinya. Dia masih mencari jawaban dari tanya hati tentang Tuhan. Dia merasa menjadi makhluk paling aneh, dua kali berganti agama dan saat ini melepaskan agama.
Chin Hae Goo melangkah ke arah jendela. Dilihatnya para pesepeda mulai beriringan, mereka menuju Seongsan, kota Seogwipo pulau Jeju. Beberapa kilo dari rumah kakaknya ini. Visualnya berpindah ke kamera DLSR di meja kecil, samping jendela. Diambilnya kamera hitam itu lalu tangannya lincah menekan tombol slide show. Dia mengamati satu foto tanpa berkedip. Hyda, pembantu kakaknya.
***
Gadis berpipi semu merah membersihkan debu dari buku dan rak di perpustakaan rumah besar. Tangannya berhenti aktifitas ketika menyentuh album foto keluarga Ajuma Da Hee. Dua bibir tertarik ke kanan-kiri satu senti lebih. Chin Hae Goo ada di sana. Dia mengernyitkan dahi saat menyadari bahwa mata saljunya belum lama melekat di raga gagah itu. Apakah dia kehilangan gadisnya hingga binar hangat matanya menyalju? Bisik penasaran hati Hyda.
 Dia buru-buru menutup album saat Ajuma Da Hee sudah di sampingnya. Entah kepiawaian Ajuma atau kelalaian indera Hyda hingga berulang kejadian serupa, satu datang dan lainnya tak menyadari. Hyda mengangkat wajah. Tatapan Ajuma Da Hee menyilet kalbunya. Ada kobaran curiga membakar kornea. Hyda belum mengetahui satu alasan pun apa sebab wanita setengah baya tanpa anak itu menentang gelora hatinya? Tanpa mengucapkan kata sosok nyonya yang dulu anggun, sekarang berubah menjadi kayu. Kaku.    
Hyda ingat hari ini Chin Hae Goo menghendaki dirinya menemani ke canola flower festival. Hyda menggigit bibir bawah. Sakit. Semoga kebaikan berpihak padaku, bisik hatinya.
***
“Hyda, bisa menemani saya ke festival?”
Hyda menoleh ke samping kiri. Dari balik pintu perpustakaan menyembul sosok berambut lurus legam dengan kamera DLSR dikalungkan.
“Kakak Da Hee sudah diamankan suaminya.”
Mata bola pingpong Hyda hampir meloncat. Kata diamankan yang didengarnya terasa kurang nyaman. Seolah laki-laki berjakun nyata dan dirinya perlu perlindungan.
“Saya tunggu di mobil, sekarang.”
Jantung gadis manis itu hendak meloncat. Persendiannya seakan terpencar. Pergi berdua dengan Chin Hae Goo? Bukan mimpi. Gelombang merah jambu berbentuk hati berresonansi di hatinya.
***
Hyda berada di hamparan kuning area festival bunga canola. Harum musim semi menenangkan. Kesegaran udara menyapa mata, hidung serta jiwa. Dari ujung jalan di tepi bukit. Kelokan bergelombang untaian canola seperti selendang bidadari. Pesepeda menikmati alam. Sebagian menuntun kendaraan bebas polusi itu sambil berbincang dengan rekan.
Diliriknya laki-laki pengguncang adrenalin Hyda. Semoga Chin Hae Goo akan mengungkapkan perasaan yang sama dengan dirinya. Khayal gadis beralis tipis legam kian melambung.
“Hyda, maukah membantu saya meredam gejolak hati? Mengobati gelisah sejak pertama melihatmu?”
Kalimat Chin Hae Goo menambah frekwensi debaran jantung Hyda. Kiranya benar ungkapan yang dinanti akan segera meluncur dari bibir adik Ajuma Da Hee. Dia menajamkan dua indera pendengaran sedemikian rupa menghhitung napas, bak pernapasan olah raga. Dua pertiga hatinya siap menampung gulana laki-laki bermata salju.
“Semoga kamu orang tepat yang saya pilih.”
Chin Hae Goo mengatur napas, Menyimpan segerbong malu dan gengsi di dasar hati. Ditatapnya gadis berparas melayu, lima detik.
“Bantu saya agar dapat masuk  Islam.”
Hening.
Kupu-kupu aneka warna menyuguhkan tarian hati. Memuji Sang Maha dengan cara mereka. Hyda mengangkat wajah. Merasa rendah di hadapan-Nya. Cinta Chin Hae Goo pada jalan selamat mempermalukannya di haribaan Illahi. –SEKIAN- 

*Satu-satunya orang yang dapat menyakiti hatimu adalah dirimu sendiri
[1] Kembali. Kata balasan bila ada yang mengucapkan terima kasih.
[2] Nyonya. 

Cerpen dimuat Islampos, 27 Maret 2015

Comments