Bulan Merah




Tuturnya santun. Parasnya anggun. Ada bekas luka bakar di ujung hidung. Satu-satunya keanehan yang menonjol  dari gadis yang sering dipanggil Lavia adalah badan yang membungkuk, waktu tertentu. Dia seperti gadis sakit punggung. Jalannya tanpa kendali. Pada saat hal itu terjadi, semua yang ada di depannya bisa ditabrak begitu saja. Nah, luka bakar itu satu sisa dari sikap ketergesaan.
Kebakara …an!
Lavia setengah berlari. Punggungnya membungkuk seperti kambing hendak menyeruduk. Orang-orang berlarian mengambil apa saja yang dianggap mampu membantu padamkan api. Air, goni basah, keset belel yang dicelup ke air bahkan bantal kumal setelah dilempar ke air selokan.
“Woi minggir. Kamu tidak boleh melewati gang itu. Bahaya!” Seseorang mencoba mengingatkan Lavia. Namun, telinganya seperti tak berfungsi. Beberapa orang mengejar, dia semakin cepat melangkah. Ketika tubuhnya menerjang api, penduduk  banyak yang mengutuk.
Ketika api dapat dipadamkan. Orang-orang sibuk mengais, terutama yang rumahnya terlahap api. Barangkali masih ada sisa barang atau apa saja yang bisa diambil. Seorang bapak berambut keriting mengangkat baju yang terbakar. Orang-orang memerhatikannya beberapa jenak. “Itu baju gadis yang tadi.”
***
“Aku tidak suka sayur, kau tahu itu, kan?” Lavia melotot pada Kanya, sahabatnya.
“Sekalii saja. Coba deh, ini bagus untuk kesehatanmu.” Bola mata Lavia siap melompat ke meja. Kanya mengangkat dua jari sambil memperlihatkan behel-nya.
“Mbak. Saya pesan steak satu porsi.” Gadis berseragam batik keris dan rok hitam selutut mengangguk.
“Dua porsi, Mbak.” Kanya menatap Lavia. Bukankah dirinya tidak doyan daging sapi. Apalagi bahan baku steak berasal dari luar negeri. Kanya paling anti dengan daging import. Dia bilang, “Sama saja kita mendukung politik sapi.” Entah apa maksudnya.
“Aku lapar. Tenang, tidak akan ada yang memaksamu makan daging malam ini.” Lavia seperti membaca tanya di hati Kanya.
“Wah, ada cara jitu membantu mengurangi sakit saat menstruasi.” Kanya menunjukkan halaman tabloid remaja yang baru saja dibelinya tadi pagi.
“Paling juga olah raga dan minum jamu. Dua hal yang paling aku benci.” Waitrees mengantar nampan pesanan. Lavia segera memegang pisau dan garpu. Caranya memegang pisau terlihat mengerikan.
“Kamu sudah tahu? Kenapa tidak mencobanya.” Kanya menyeruput cokelat hangat. Dia melirik sahabatnya.
“Kamu mau makan daging atau mau menikam penjahat?” Lavia buru-buru membetulkan cara memegang pisau.
“Eh, apa tadi? Cara oke mengurangi sakit saat datang bulan? Apa, ya?” Kanya meletakkan tabloid ke atas kursi di sampingnya. Lavia selalu tampak aneh bila sedang datang bulan.
“Eh, kita jangan lama-lama di sini. Usai makan, langsung pulang, ya? perutku mulas.” Kanya mengangguk. Lavia berkali-kali melihat jam tangannya.
***
            Auman serigala terdengar pilu. Seperti seekor anak herbivora yang merindukan suatu yang hilang. Dua petugas ronda berlari meminta pertolongan. Cahaya senter menyorot tubuh gadis yang terkapar di trotoar, bersimbah darah.
            “Masih hidup. Untung kita segera memergoki binatang itu. Kalau tidak …,” keluh petugas ronda berkumis.
            “Langsung antar ke rumah sakit. Mungkin gadis ini tinggal di kawasan perumaha elit itu.” Kali ini cahaya senter mengarah ke ujung jalan. Di bagian kanan sana ada perumahan baru yang dihuni para pendatang.
            Seekor serigala mengintai tingkah mereka. Matanya menyorotkan sesal. Dengan langkah tanpa suara, binatang itu berbelok ke perumahan elit. Menghilang di balik pintu pagar rumah nomor A. 5U.
            “Sepertinya nona kita mengalami kegagalan mala mini.” Tujuh  wanita tertawa. Menghina gadis di depan mereka. Setiap purnama, kecantikan mereka berlipat pesonanya.
            “Kalau kamu gagal sekali lagi. Sudah saatnya menjadi tumbal.” Gadis itu menunduk. Bulir bening menetes begitu pelan. Dia buru-buru mengusapnya.
            “Pengikut iblis menangis? Wuahahaha-haha.” Ketujuh orang itu mengelilingi Lavia.
***
             Lengan Kanya masih diperban. Luka cakar di leher mulai kering. Lavia memeluk erat sahabatnya.
            “Maafkan aku, Nya.” Kanya menggeleng. Cerita yang dituturkan sahabatnya memang mengejutkan. Sebagai sahabat, dia bertekad membantu Lavia.
            “Kamu serius ingin keluar dari ritual itu?” Lavia mengangguk yakin.
            “Apa tidak ada cara lain yang harus ditempuh? Secara agama mungkin?” Kanya mulai mencari alternative lain.
            “Tidak. Tolonglah, aku tidak mau melakukan kejahatan lebih sering. Lakukan apa yang aku minta, nanti.
            Tubuh Kanya menggigil. Bibirnya bergetar hebat. Tepat saat purnama dan Lavia telah menjadi serigala di hadapannya. Sebilah keris siap ditusukkan ke jantung binatang itu. Tidak ada cara lain.
            Auman panjang menghentikan langkah tujuh serigala yang baru saja membunuh mangsa, tumbal mereka. Suara itu dapat mereka kenali. Dasar bodoh! Tangan Kanya gemetar. dia mengelap darah sesuai perintah Lavia. Serigala di depannya berangsur menjadi sosok yang dikenalnya. Hanya Kanya yang bisa membantunya menyadarkan tujuh teman lain untuk kembali ke dunia normal mereka.
            “Cepat bawa aku ke UGD.” Kanya menyimpan kerisnya.
Menstruasi mereka telah disetel saat bulan merayap ke cakrawala. Pukul 00:00. Para pengikut siluman serigala yang mendamba kecantikan abadi murka. Bila purnama tiba, ketujuh serigala itu terancam bergantian  ditikam Kanya. Atau sebaliknya. Apakah Lavia akan membantunya?

Pondok Cahaya-Yk, 28. 01. 2015

Comments